TUGAS
PRESENTASE
KONTRIBUSI TOKOH
PENDIDIKAN
Horace Bushnell
BAGI PENDIDIKAN
Nama Kelompok 4:
Cahniari
Purba
Derman
Ndruru
Rikawati
Sinaga
Roy Damanik
Simeon
Bofe
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena atas kemurahan-Nya tugas makalah dan presentase ini dapat kelompok
selesaikan dengan tepat waktu. Tugas ini kelompok serahkan kepada pembina mata
kuliah Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Agama Kristen, Ibu Susi Tampubolon,
S.Pd.K., M.Pd.K©, sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut.
Tidak lupa kelompok mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen yang telah
berjasa mencurahkan ilmu kepada seluruh mahasiswa.
Kelompok memohon kepada ibu dosen khususnya, umumnya para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam tugas makalah dan
presentase ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kelompok mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih baiknya karya tulis yang
akan datang.
Batam,
November 2015
Hormat
Kami
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Horace Bushnell adalah seorang teolog
Amerika yang menyumbangkan pemikirannya bagi teori dan praktik pendidikan agama
Kristen dan juga mengarang buku Christian Nurture. Buku ini merupakan hasil
refleksi Bushnell mengenai anugerah Allah yang dirasakan dalam setiap kehidupan
keluarga Kristen. Berdasarkan pengalamannya sebagai pendeta jemaat
Kongregasional, Bushnell menyatakan bahwa teologi mengorbankan kemauan manusia
demi penekanan atas kedaulatan Allah sehingga manusia sama sekali tidak berdaya
untuk bertobat dan menerima Kristus sebagai juru selamat.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan makalah kelompok dan presentasi ini, antara lain:
1.
Siapa
itu Horace Bushnell?
2.
Bagaimana
dasar filosofis dan teologis Horace Bushnell?
3.
Bagaimana
konsep pendidikan Horace Bushnell?
4.
Apa
saja yang menjadi komponen pendidikan menurut Horace Bushnell?
5.
Bagaimana
strategi dan pemahaman pendidikan menurut Horace Bushnell?
6.
Apa
saja yang menjadi kontribusi Horace Bushnell bagi pendidikan masa kini?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan
dalam makalah kelompok dan presentasi ini antara lain:
1.
Mengetahui
dengan baik tentang Horace Bushnell.
2.
Memahami
tentang dasar filosofis dan teologis Horace Bushnell.
3.
Memahami
tentang konsep pendidikan Horace Bushnell.
4.
Mengetahui
komponen pendidikan menurut Horace Bushnell.
5.
Memahami
strategi dan pemahaman pendidikan menurut Horace Bushnell.
6.
Mengetahui
tentang kontribusi Horace Bushnell bagi pendidikan masa kini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP HORACE BUSHNELL
Bushnell lahir pada tanggal 14 April
1802, sebagai anak sulung keluarga petani yang tinggal di dekat Desa Litchfield,
Negara Bagian Connecticut. Ketika usia Bushnell mencapai 20 tahun, ia pun
melanjutkan pendidikannya ke Universitas Yale pada tahun 1823. Tahun 1827 ia
menyelesaikan studinya lalu mencoba menjadi guru, namun profesi guru ternyata
tidak sesuai dengan minatnya. Setelah lima bulan menjadi guru ia berhenti
mengajar dan menjadi redaktur surat kabar New York Journal of Commerce.
Meskipun dunia jurnalistik cukup menarik, namun ia merasa belum menemukan
panggilan hidupnya yang sesungguhnya. Karena itu ia kembali lagi ke kampus
untuk menempuh studi di Fakultas Hukum. Kehadirannya kembali di kampus ternyata
menarik perhatian Rektor pada saat itu yang kemudian menawarinya menjadi tutor.
Lewat pergumulan serta atas dorongan ibunya, Bushnell akhirnya menerima tawaran
tersebut. Jabatan sebagai tutor ia laksanakan dengan baik sehingga ia sangat
dihargai oleh mahasiswa. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik pada
tahun 1831 dan mendapat izin untuk melakukan praktik sebagai pengacara,
meskipun ia sendiri tidak pernah mengajukan permohonan untuk membuka praktik
pengacara. Panggilan hidupnya akhirnya ia temukan bersamaan dengan maraknya
kegiatan kebangunan rohani yang melanda kampus Yale saat itu. Ia kemudian
mengambil keputusan penting yakni melupakan cita-citanya menjadi pengacara dan
membulatkan tekad untuk menjadi pendeta. Khotbahnya di kapel Yale seolah-olah
menjelaskan pergumulan batinnya ketika memutuskan menjadi pendeta. Tanggal 22
Mei 1833, Horace Bushnell ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North
Church, Hartford, di negara bagian Connecticut, satu-satunya jemaat yang ia
layani sepanjang masa hidupnya. Lima bulan setelah itu ia menikah dengan Mary
Aptorph. Tahun 1845, ketika berusia 43 tahun, saat ia berada di puncak
keberhasilan pelayannya, Bushnell terpaksa harus menjalani liburan selama satu
tahun karena menderita sakit paru-paru, sejak itu kesehatannya mulai merosot.
Setelah masa liburnya berakhir ia terus melayani dan menulis buku, bahkan
melibatkan diri dalam urusan perkotaan dengan mengusulkan pembangunan taman
kota di pusat kota, tempat yang sebelumnya dijadikan lokasi pembuangan sampah,
kandang babi, gudang-gudang, bengkel kereta api, dan rumah susun bermutu
rendah. Melalui kegigihannya, taman tersebut akhirnya berhasil dibangun dan
diberi nama Bushnell Park, sebagai penghargaan dan terima kasih kepada
penggagasnya. Kesehatannya yang terus menurun mengakibatkan Bushnell tidak mampu
menyelesaikan penulisan buku mengenai Roh Kudus yang ia mulai tahun 1875 sampai
akhirnya meninggal dunia pada 17 Februari 1876.[2]
B. DASAR FILOSOFIS DAN TEOLOGIS
Bushnell merancang filsafat asuhan
Kristennya sebagai reaksi terhadap Revivalisme pada masanya dan lebih jauh
sebagai reaksi terhadap tekanan “pertobatan” dari Puritanisme tradisional. Pada
tahun 1840-an Revivalisme kembali melanda negerinya: pada pertengahan abad
ke-19 Charles Finney melakukan apa yang Jonathan Edwards dan George Whitefiled
telah lakukan bag Amerika pada abad ke-18. Mirip dengan para pendahulunya,
Revivalisme abad ke-19 menekankan keadaan manusia yang rusak total dan mendesak
orang-orang untuk mengalami pertobatan yang radikal agar beriman kepada Yesus
Kristus.[3]
1.
DASAR FILOSOFIS
Dasar
filosofis Bushnell, sekaligus merupakan refleksi dari hasil pergumulan hidupnya
dituangkan dalam enam asas yang menjadi sokoguru dalam kehidupannya, yaitu:[4]
(a) jangan takut akan keragu-raguan anda; (b) sebaiknya anda takut akan setiap
perdebatan yang walaupun cerdik namun kosong isinya. Ya, sebaiknya anda takut
akan setiap muslihat, dan pertentangan yang dihasilkan oleh argumentasi yang
tidak jujur; (c) kalau anda menghina orang lain, maka tindakan itu akan
berdampak fatal atas diri anda sendiri; (d) jangan menganggap sesuatu benar hanya
karena kalau memegangnya anda lebih aman ketimbang sebaliknya, yakni untuk
menarik kesimpulan yang tidak diterima secara umum; (e) terimalah hal ini
sebagai hukum, yakni jangan memaksakan nalar menarik kesimpulan tertentu ataupun
untuk percaya akan sesuatu; (f) jangan memaksakan diri lekas percaya; jangan
berusaha menang atas keragu-raguan anda menurut batas waktu tertentu.
2.
DASAR TEOLOGIS
Konsep
Teologis Bushnell terlihat dari gaya berteologi dan Teologi bahasa
keagamaannya.[5]
a.
Gaya Berteologi, Bushnell
menganut gaya berteologi yang menolak setiap usaha orang untuk membekukan iman
Kristen dalam pokok ajaran teologi yang ia warisi tanpa berefleksi atas artinya
dalam konteks yang berbeda, dan cara ia menjelaskan pokok iman Kristen
berdasarkan pembahasan bahasa keagamaan yang bersifat khas. Dalam pandangan
Bushnell gaya berteologi yang tertutup dan tidak konstekstual akan mudah
menimbulkan perselisihan di kalangan umat Kristen.
b.
Teologi Bahasa Keagamaan, Bushnell
berpendapat bahwa pembicaraan yang tidak berkaitan langsung dengan benda/objek
tertentu selalu menuntut penggunaan bahasa simbolis dan figuratif, karena itu
anggapan yang mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan dalam mengungkapkan
sebuah gagasan tertentu telah mencakup seluruh arti dalam gagasan tersebut
adalah sebuah kekeliruan. Bahasa keagamaan hanya mendekati arti yang
sebenarnya, karena itu mustahil menggambarkan kenyataan rohani secara lengkap.
Untuk memperkuat argumentasinya Bushnell
merumuskan lima asas pemahaman dasariah penggunaan bahasa di kalangan orang
beriman sebagai berikut: (a) Pengalaman
pribadi menentukan arti, Dalam memberi makna terhadap kata tertentu setiap
orang dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan pengumulannya; (b) Kenyataan rohani hanya diungkapkan melalui
kiasan saja, Setiap bahasa keagamaan hanya dapat diucapkan dengan ibarat
yang tidak sama dengan kenyataan yang ditunjukkan atau dilambangkan oleh ibarat
tersebut; (c) Peristilahan keagamaan
bersifat paradoks, Melalui paradoks kita ditolong lebih dekat kepada
kebenaran dari pada melalui penalaran; (d) Peristilahan
keagamaan lebih menunjuk kepada kebenaran dari pada menyampaikan kebenaran,
Istilah keagamaan tidak menyampaikan kebenaran secara langsung, tetapi
membangkitkan kesadaran pendengar atau pembaca tentang kebenaran yang
dilambangkan atau ditunjukkannya; (e) Bahasa
keagamaan membangkitkan iman, Bushnell melihat bahasa keagamaan sebagai
sarana insani yang lebih kuat daripada argumentasi logis untuk membangkitkan
iman.
C. KONSEP-KONSEP PENDIDIKAN
Konsep pendidikan Bushnell membahas
tentang apa itu pendidikan agama Kristen dan apa yang menjadi tujuan pendidikan
agama Kristen.[6]
1.
Pendidikan Agama
Kristen
Bushnell
mengemukakan bahwa ada asuhan Kristen yang berasal dari Tuhan yang akan menjadi
cara Tuhan mendidik. Dimana anak akan dibesarkan sebagai seorang Kristen. Menurut
Bushnell, Pendidikan Aagama Kristen adalah pelayanan dari pihak orang tua
Kristen dan gereja yang secara khusus melibatkan anak-anak dengan cara yang
wajar dalam pengalaman keluarga dan kehidupan jemaat tanpa mengharuskan
anak-anak itu lebih dulu mengalami pertobatan yang hebat pada umur tertentu.
Kedua, PAK adalah pelayanan kegerejaan yang membimbing orang tua untuk memenuhi
panggilannya sebagai orang tua Kristen dan sekaligus pula memperlengkapi warga
jemaat untuk hidup sebagai anggota persekutuan yang beribadah, bersaksi,
mengajar, belajar, dan melayani atas nama Yesus Kristus. Dalil Bushnell tersebut
hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Kristen.
2.
Tujuan
Pendidikan Agama Kristen
Tujuan
Pendidikan Agama Kristen menurut Bushnell ada tiga. Pertama, tujuan PAK bagi
kelompok pelajar anak-anak adalah agar mereka menerima kepercayaan dan
nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya, belajar bertindak baik serta
bertumbuh secara wajar dalam iman Kristen sebagai anggota jemaat. Kedua, tujuan
PAK bagi bagi kelompok pelajar orang tua adalah menyediakan pengalaman belajar
yang menolong orang tua mempertimbangkan sejumlah cara mengurus rumah tangga
dan dampaknya secara khusus terhadap pertumbuhan anak, melibatkan mereka dalam
penelaahan sumber iman Kristen kepada anak baik melalui perkataan maupun
perbuatan. Ketiga, tujuan PAK bagi kelompok pelajar warga jemaat adalah
menyediaakan pengalaman belajar secara teratur melalui seluruh liturgi
kebaktian khususnya melalui khotbah agar mereka diperlengkapi bukan hanya
menjadi jemaat Kristen yang mampu mengatasi masalah hidup mereka melainkan juga
menjadi warga Negara yang baik yang setia kepada Tuhan.
D. PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Keluarga, yang beribadah bersama di
dalam gereja, bersaksi tentang kegiatan Allah dalam menciptakan dan
mempertahankan keluarga itu dan dalam menebus hubungan-hubungan keluarga hari
demi hari. Si anak yang berpartisipasi dengan keluarganya menjadi sadar tentang
bagaimana hubungan-hubungan ini saling berinteraksi. Ini bukanlah masalah
tentang usia berapa si anak harus mengikuti ibadah atau panjangnya ibadah itu.
Keprihatinannya disini ialah bagaimana keluarga yang beribadah bersama ini
dapat menjadi saluran kasih karunia Allah agar kasih karunia itu berlaku dalam kelompok
masyarakat. Kehadiran anak-anak di banyak gereja saat ini begitu luar biasa
sehingga orangtua seringkali terkejut ketika anak lebih suka beribadah dengan
keluarganya ketimbang menghadiri sekolah minggu gereja. Budaya kelas menengah
Amerika telah cenderung memisahkan orang tua dan anak-anak, dan jarang sekali
keluarga dapat berpartisipasi bersama dalam hal apapun.[7]
E. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN
Bagi Bushnell, ada dua konteks utama
pendidikan agama Kristen, yakni rumah tangga dan jemaat itu sendiri.[8]
1.
Rumah Tangga
Bushnell
mengatakan “segala hubungan dalam keluarga, termasuk iman, menghasilkan mutu kehidupan
yang khas dari keluarga itu”. Artinya, anak akan cenderung menyerap kekuatan
dan kelemahan keluarganya, karena di dalam rumah tangga anak menerima
pendidikan secara langsung. Pendidikan di dalam keluarga membutuhkan wibawa
dari orang, terutama ayah, dan pendekatan yang proporsional, tidak merampas
kemerdekaan anak, tetapi memiliki standar yang jelas dan tegas.
2.
Jemaat
Jemaat
perlu menyambut anak ke dalam persekutuan dan menyediakan pengalaman belajar
yang teratur, dan bekerja sama dengan orang tua untuk melibatkan anak-anak yang
sudah dibaptis dalam PAK.
3.
Pengajar
Bushnell
membagi pengajar dalam beberapa golongan. Golongan pengajar yang pertama adalah
orang tua. Orang tua sebagai pengajar perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
(1) Orang tua wajib mengendalikan diri, sabar, tidak mudah tersinggung, dan
tidak mudah marah. (2) Janganlah orang tua senantiasa melarang anak berbuat
sesuatu. (3) Hendaklah orang tua menjauhkan diri dari segala macam kekerasan,
kekejaman, dan absolutism yang bersifat menguasai terhadap anaknya. (4)
Hendaklah orang tua mengembangkan kesalehan dalam diri anak dengan jalan
memperlihatkan kegembiraan, memuji, dan menghargai setiap prestasi yang ia
capai. Golongan pengajar yang kedua adalah jemaat. Dalam pemikiran Bushnell
istilah jemaat itu mencakup orang-orang dari segala golongan umur. Jemaat
hendaknya melaksanakan dua pelayanan pedagogis berikut ini. Pertama, jemaat
perlu membaptis anak karena Allah menjadikan anak itu ahli waris dari segala
janji-Nya melalui iman orang tuanya. Kedua, jemaat wajib melibatkan anak-anak
yang sudah dibaptis ke dalam rencana PAK. Para pendeta sebagai pengajar
hendaknya menyediakan bahan pemikiran yang dapat diolah kembali oleh para warga
jemaat untuk memperlengkapi hidup mereka sebagai murid Yesus Kristus didalam
lingkungan rumah tangga, gereja, masyarakat dan Negara. Golongan pengajar yang
keempat adalah anak-anak. Anak-anak adalah pengajar meskipun jati diri
anak-anak acapkali lebih berkaitan dengan peranannya sebagai pelajar. Bushnell
menyatakan bahwa apa yang orang tua pelajari dari anak-anak adalah sama
pentingnya dengan apa yang mereka ajarkan kepada anak-anak, bahkan bimbingannya
berfaedah justru karena mereka terus belajar dari anaknya.
F. KOMPONEN PENDIDIKAN
Bushnell membahas komponen pendidikan
melalui dua konteks, yakni pelajar dan kurikulum.
1.
Pelajar
Bushnell
membagi pelajar ke dalam tiga golongan. Golongan pelajar yang pertama adalah
anak-anak. Anak-anak sebagai pelajar memiliki lima jati diri. Pertama, anak
merupakan anak Allah. Kedua, anak seorang yang dibesarkan secara organis dalam
kelompok khususnya keluarga. Ketiga, anak adalah anggota jemaat yang sekaligus
pelajar dikalangan jemaat. Keempat, anak sama seperti orang tuanya adalah
makhluk yang diperlemah oleh daya tarik dosa. Kelima, anak memiliki kemampuan
untuk berkembang. Golongan pelajar yang kedua adalah orang tua. Orang tua
sebagai pelajar memiliki dua jati diri yang khas. Pertama, orang tua merupakan
orang yang terbelenggu oleh dosa dan tidak selayaknya menjadi orang tua. Kedua,
mereka dapat dipersiapkan menjadi orang tua yang lebih mampu guna memenuhi
panggilan yang mulia sebagai orang tua Kristen. Golongan pelajar yang ketiga
adalah warga jemaat, jemaat adalah pengajar dan sekaligus pula pelajar yang
membuka diri terhadap pengalaman belajar.[9]
2.
Kurikulum
Sama
halnya seperti pelajar, Bushnell juga membagi kurikulum dalam tiga hal, yakni
kurikulum bagi anak-anak, orangtua dan warga jemaat.[10]
a.
Kurikulum bagi anak-anak
Kurikulum bagi anak-anak meliputi: (1) mengendalikan tubuh, yakni berkaitan
dengan penanaman dasar-dasar pola hidup yang teratur melalui pembiasaan untuk
membentuk perilaku-perilaku positif yang memiliki dimensi rohani; (2) perkembangan kesalehan, berkaitan dengan
keteladanan dan model yang dilihat langsung oleh anak, antara lain: (a) orang
tua harus mampu mengendalikan diri ketika mengajar anak-anak, (b) jangan
terlalu banyak melarang, (c) jauhkan diri dari kekerasan terhadap anak, (d) hargai
prestasi anak dan perlihatkan kegembiraan seperti yang dirasakan anak, (e) jika
harus menghukum anak lakukanlah secara proporsional, (f) sebelum mengatakan
anak bersalah orang tua harus berusaha lebih dahulu memperoleh informasi yang benar,
(f) jangan menunjukkan perasaan khawatir yang berlebihan terhadap anak, (g) perlakukan
anak sesuai dengan usianya; (3) keanggotaan
dalam jemaat, meliputi pengembangan liturgi khusus, kesempatan untuk
mengambil bagian dalam kebaktian pagi, penyediaan bahan cetak yang berisi
panduan untuk orang tua dan jemaat guna mendidik anak dalam iman Kristen. Untuk
anak-anak muda kurikulum mencakup cerita-cerita dari Alkitab, nyanyian rohani
yang sederhana, doa-doa, Dasa Titah, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, arti
Sakramen, Hari Minggu, dan hari raya lainnya yang disesuaikan dengan minat dan
kemampuan anak
b.
Kurikulum bagi orang tua
Kurikulum bagi orang tua meliputi “pengetahuan,
pengertian, dan keterampilan tentang tiga pokok utama, yakni dampak kelakuan
mereka atas perkembangan rohani anaknya, cara mengembangkan rumah tangga yang
sehat, saleh dan berbahagia, dan pokok-pokok iman Kristen itu sendiri.”
c.
Kurikulum bagi warga jemaat
Kurikulum bagi jemaat meliputi “bahan-bahan
yang menolong orang dewasa untuk menelaah peristilahan yang orang-orang Kristen
cenderung pakai dalam mengkomunikasikan iman.”
G. STRATEGI DAN PEMAHAMAN PENDIDIKAN
Sebagian pengajaran dilakukan oleh
anggota-anggota tertentu yang dipilih gereja. Pribadi-pribadi dalam masyarakat
melaksanakan pengajaran, dan dengan demikian mereka mewakili gereja dan
berbicara atas nama gereja. Seorang guru tidak bebas mengajarkan pandangan
pribadinya, melainkan memperantarai pengalaman yang berlanjut dari iman
Kristen, yang dilihat melalui norma kerygma.
Hal ini bukan merupakan ikatan yang sengaja diberikan kepada guru, namun karena
sudah sewajarnya gereja memilih guru-guru bagi para anggota muda yang sudah
menjadi saksi bagi kasih Allah yang menebus. Guru mengaharapkan agar anak pun
akan ikut serta memperoleh pengalaman ini, yakni menyambut kasih karunia Allah
dan dengan sukarela menyerahkan dirinya ke dalam kehidupan Kristen. Guru
mewakili gereja diberi tugas untuk menjadikan masa lalu menjadi relevan bagi
hidup masa kini serta menghubungkan anak kepada Kristus yang hidup. Dengan
mewakili gereja, tubuh Kristus yang hidup, si guru mengemban tanggung jawab
yang besar. Guru akan mampu menerima tanggungjawab ini bila dia sendiri
berserah kepada injil. Pengajarannya menjadi suatu bentuk kesaksian, dan
kesaksian itu adalah karya Roh Kudus melalui orang percaya. Hanya orang
Kristen, melalui kasih karunia Allah, yang dapat menjadikan orang lain menjadi
Kristen. Seorang guru dalam mengajar, misalnya menggunakan sumber Alkitab, maka
guru perlu memperantarainya kepada anak-anak sebagaimana makna Alkitab itu
sendiri baginya secara pribadi. Bila dia memandang Alkitab sebagai sebuah
catatan tentang sejarah kebudayaan, ia pun akan menyajikannya demikian kepada
kepada anak-anak didiknya. Bila ia percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah
yang diilhami secara harfiah, ia dengan segala ketulusannya akan mengajar
demikian. Bila Alkitab dipandang olehnya sebagai catatan kegiatan Allah yang
menebus di dalam sejarah, demikian jugalah anak-anak akan memahami Alkitab
melalui dirinya. Orientasi kehidupan seorang guru dan praduga-praduga yang
muncul daripadanya adalah unsur-unsur penting dalam pengajaran. Guru adalah
pelaksana yang memperantarai Injil. Tugas ini tak dapat dicapai dengan paksaan,
melainkan hanya dengan kasih.[11]
H. KONTRIBUSI BAGI PENDIDIKAN MASA KINI
Horace Bushnell memberikan definisi
pendidikan sebagai berikut: “PAK adalah pelayanan kegerejaan yang membimbing
orangtua untuk memenuhi panggilannya sebagai orangtua Kristen, dan sekaligus
memperlengkapi warga jemaat untuk hidup sebagai anggota persekutuan yang
beribadah, bersaksi, mengajar, belajar dan melayani atas nama Yesus Kristus”. Tentu
saja Bushnell memberikan definisi demikian karena ia adalah seorang yang
menekankan PAK dalam keluarga yang menuntut tanggung jawab orangtua di dalam
mendidik anak. Horace Bushnell menyebutkan orang tua, jemaat sendiri, pendeta
dan anak-anak sebagai pengajar sedangkan pelajarnya yaitu kaum muda, orang tua
dan warga jemaat. Kontribusi Horace Bushnell bagi pendidikan masa kini dapat
terlihat dari hal tersebut, yakni:[12]
1.
Gereja
melakukan pembimbingan kepada jemaatnya sebelum menikah, dan dipersiapkan untuk
menjadi orangtua yang diharapkan mampu mengajar anak-anaknya kelak.
2.
Orangtua
memiliki pemahaman yang lebih baik, dan memiliki kesadaran bahwa pendidikan
dimulai dari keluarga masing-masing.
3.
Gereja
melakukan pembimbingan kepada anak-anak, melalui persekutuan sekolah minggu.
4.
Gereja
melakukan pembimbingan kepada remaja dan pemuda melalui persekutuan
masing-masing, agar siap dari sisi mental dan iman untuk memasuki dunia dewasa.
5.
Memberikan
pemahaman bahwa pendidikan merupakan proses regenerasi tugas dan tanggungjawab
dari orang dewasa ke anak-anak yang dilakukan berkesinambungan.
BAB III
KESIMPULAN
Horace Bushnell adalah seorang pendeta,
teolog, pengarang, pendidik, dan pemikir yang memiliki pandangan jauh ke depan,
sehingga warisan pemikirannya masih relevan hingga sekarang. Kepekaan dan
kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial membuktikan bahwa ia seorang yang
berpandangan holistik yang tidak hanya memikirkan jemaatnya sebagai warga
gereja, tetapi juga sebagai warga masyarakat. Rasa tanggung jawabnya terhadap
perkembangan gereja di masa yang akan datang nampak dari keseriusannya
memikirkan PAK yang ia tuangkan dalam buku Christian Nurture. Namun demikian,
ia tidak hanya memikirkan pendidikan anak-anak, tetapi juga orang tua, dan
warga jemaat. Dapat dikatakan Bushnell adalah seorang penganjur life-long
learning. Buku Christian Nurture ditulis dengan sangat cermat dan sistematis
dengan pembahasan yang sangat mendasar sehingga menjadi buku PAK yang paling
berpengaruh pada abad ke-19 di Amerika. Bushnell sangat menyadari bahwa untuk
membangun kehidupan jemaat yang kokoh, pendidikan di dalam keluarga harus
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena itu orang tua harus mendapat
bimbingan dan pelatihan yang memadai agar dapat menjadi pengajar yang handal
bagi anak-anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Boehlke
R. Boehlke: Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen:
Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009)
Bushnel,
Horace: Views Of Christian Nurture (Bedford: Applewood Books, Publishers of
America`s Living Past, 1847)
Cully,
Iris: Dinamika Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Groome,
Thomas H.: Christian Religious
Education: Pendidikan Agama Kristen, Berbagi Cerita & Visi Kita (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010)
[1] Horace Bushnel, Views Of Christian Nurture (Bedford:
Applewood Books, Publishers of America`s Living Past, 1847) hal. 9-10.
[2] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hal. 439-443.
[3] Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Pendidikan
Agama Kristen, Berbagi Cerita & Visi Kita (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010) hal. 170-171.
[4] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hal. 442.
[5]
Ibid, hal. 449-503.
[6]
Ibid, hal. 466-475.
[7] Iris Cully, Dinamika Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hal.
100.
[8] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hal. 475-483.
[9] Ibid, hal. 484-488.
[10] Ibid, hal. 488-498.
[11] Iris Cully, Dinamika Pendidikan Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 2009) hal.
100-101.
[12] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Sampai Perkembangan PAK di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009) hal. 501.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar