TUGAS – II
“PERKENALAN
ADAT-ISTIADAT
DAN PENGARUHNYA
ATAS INJIL”
Mangokkal Holi (Penggalian
Tulang-Belulang)
Di Tanah Batak
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Kelulusan Mata Kuliah
MISI
LINTAS BUDAYA
Yang Dibina Oleh :
Debora Y.S. Kim, M.A
Nama : Roy Damanik
NIM : 2012.86208.04
Prodi : PAK
SEKOLAH
TINGGI THEOLOGIA BASOM
Komp. Jodoh Park No. 17 Sei Jodoh Batam
TRADISI
MANGOKKAL HOLI
Orang
Batak Toba di Sumatra Utara dianggap sampai pada taraf hidup yang ideal
jika telah memenuhi tiga hal. Tiga hal tersebut adalah : Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hamoraon, berarti kekayaan material, seorang Batak dianggap telah sukses hidupnya jika
mempunyai kekayaan material yang berlimpah atau paling tidak cukup untuk
menghidupi dirinya dan keluarganya. Hasangapon, berarti kehormatan
marga, keturunan dan status sosial, ketiga hal ini sangat
erat hubungannya dengan pekerjaan atau peran-peran strategis yang dimiliki
sehingga bisa dianggap sebagai orang yang terhormat. Hagabeon, berarti memiliki keturunan yang banyak, anak dalam masyarakat Batak Toba adalah
tolak ukur kesuksesan dan salah satu bentuk penghargaan tersendiri. Ketika seorang
Batak telah dianggap sampai kepada tiga hal ini, orang Batak mempunyai kewajiban
untuk mengangkat martabat keluarganya atau marganya dengan menghormati orangtua
dan para leluhur. Salah satunya dengan melaksanakan ritual mangokkal
holi.
MANGOKKAL HOLI
Mangokkal
Holi adalah sebuah tradisi unik yang dimiliki suku Batak Toba. Tradisi
membongkar kembali dan memindahkan tulang belulang ketempat yang dianggap
lebih layak ini telah berlangsung sejak zaman nenek moyang suku bangsa Batak.
Tradisi ini adalah tradisi langka yang harus dilestarikan. Mangokkal Holi diselenggarakan
dengan ritual atau upacara. Vano Manalu mengatakan bahwa seorang Batak wajib mengadakan ritual
atau upacara mangokkal
holi jika
salah seorang anggota keluarga yang masih hidup “dikunjungi” (lewat
mimpi atau pengalaman indrawi lainnya) oleh salah seorang anggota
keluarga yang telah meninggal. Jagad spiritual Batak Toba mempunyai pandangan bahwa
dunia terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
banua ginjang, banua tonga dan banua
toru.
Banua ginjang, adalah
tempat bernaungnya dewa/debata. Banua
tonga, adalah
tempat tinggal manusia dan binatang. Lalu Banua Toru adalah tempat bersemayamnya makhluk
halus, jin dan naga. Selain pembagian dunia, roh-roh dalam masyarakat Batak Toba juga
terbagi menjadi tiga yaitu, tondi, sahala dan begu. Tondi, adalah roh atau nyawa yang menyatu dalam tubuh manusia. Setiap tondi pada
individu mempunyai nasibnya masing-masing. Sahala, adalah kekuatan atau daya yang dimiliki tondi, terkait dengan nasib yang dipilih tondi. Begu, adalah istilah yang dipakai untuk menyebut “arwah” atau
makhluk halus.
Penghormatan
nenek moyang dalam masyarakat Batak Toba juga dibagi menjadi tiga yaitu, mangalaptondi,
mengupa tondi dan mangokkal tondi. Konsep ini berpengaruh pada kehidupan
sehari-hari masyarakat Batak toba. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa
kematian bukan akhir perjalanan hidup, namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan.
Kepercayaan tersebut diwujudkan dalam tradisi mangokkal
holi ini. Salah satu tujuan tradisi ini adalah untuk mencapai hasangapon.
PROSESI MANGOKKAL HOLI
Kerangka
dikeluarkan dan dibersihkan oleh adik perempuan mendiang dengan menggunakan
jeruk purut. Sinar matahari yang mengenai kerangka dianggap
sebagai interaksi terakhir mendiang dengan banua
tonga. Lalu
kerangka dikuburkan kembali ditempat termulia bagi jiwanya.
Penguburan kedua ini ditempatkan
ditempat yang istimewa biasanya berupa tugu atau prasasti. Tugu atau
prasasti adalah bentuk penghormatan kepada tondi mendiang. Lalu ritual dilanjutkan dengan
mencari borotan atau kayu penambat kerbau persembahan dari “kayu sari marnaek” yang berasal dari pohon lalas. “Kayu sari marnaek”
dipilih karena dipercaya melambangkan seluruh rejeki
dari tanah akan naik, sehingga memberikan kemakmuran. Kayu ini berfungsi sebagai tiang borotan yang ditanam di depan
rumah leluhur. Tiang borotan ini juga berfungsi sebagai tiang hewan yang akan
dikurbankan. Kain putih dikibarkan atau dipasang di pucuk tiang borotan sebagai lambang
kesucian. Selain kain putih, juga ada ulos pengiring dengan
maksudnya berkah yang tanpa putus akan terus mengiringi setiap keturunan
mendiang. Selain kain putih dan ulos pengiring, “daun silinjuang”
juga dipasang sebagai doa agar setiap generasi akan menang
melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan. Setelah kayu borotan ditancapkan, kerbau
atau hewan persembahan ditambat ke tiang borotan. Sebelum kerbau dipersembahkan
untuk pesta, ada ritual “mangkarihiri
horbo”.
Ritual ini hanya ritual kecil memasang “sungil-sungil” (memasang sejenis besi berbentuk gelang) di hidung kerbau agar kerbau mudah ditarik dan tidak
mengamuk. Walaupun hanya ritual kecil, ritual ini penting karena
bila kerbau persembahan dapat digiring dengan mudah, tandanya kemakmuran bagi
keluarga akan datang. Kerbau yang disembelih akan dihidangkan sebagai santapan
bersama. Saat bersantap bersama, tari Tor-Tor dihadirkan sebagai ajang
ekspresi suka cita seluruh anggota keluarga. Menurut kepercayaan, jika hujan turun
ketika mangokkal holi, berarti berkah
akan turun melimpah bagi kehidupan.
KEKERABATAN DALAM MANGOKKAL HOLI
Mangokkal holi, selain
sebagai tradisi juga merupakan salah satu pesta adat pada masyarakat
Batak Toba. Pesta adat yang berhubungan dengan leluhur bagi masyarakat Batak Toba
adalah tolak ukur meninggal dengan ”sukses” atau tidak. Maka tidak
heran jika mangokkal
holi diadakan
secara besar-besaran. Indikator suatu pesta adat baik atau tidak
dapat dinilai dari jumlah orang yang hadir, jumlah hewan yang
disembelih dan tatacara upacara terkait dengan pembagian daging dan
pembagian pidato. Orang Batak Toba menyebut pesta adat sebagai horja atau
kerja. Horja atau pesta adat dipandang selalu
membutuhkan kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga atau marga. Oleh
karena itu hubungan kekerabatan termanifestasikan dalam horja. Hubungan kekerabatan
dalam masyarakat Batak bisa dibilang cukup kuat. Hubungan ini tidak hanya
terjadi karena adanya garis keturunan, namun juga karena relasi perkawinan. Penentuan
posisi seseorang dalam sebuah marga, mengharuskan tiap orang saling menyayangi
dan menghormati. Dalam kerangka pemikiran itulah, orang Batak
Toba setia menjalankan tradisi mangokkal
holi sebagai pesta
adat atau horja. Selain menunjukkan bakti pada leluhur, tali silaturahmi keluarga
atau marga dapat terjalin dengan baik.
Horja adalah
manifestasi dari sistem sosial dan sistem nilai yang
dianut suku-bangsa Batak Toba. Holong yang berarti kasih menjadi pengikat yang
mempersatukan. Hal ini amat terasa ketika seluruh keluarga menari
Tor-Tor bersama, saling memberikan salam, dan memegang pipi. Mangokkal holi menjadi sarana belajar adat karena mangokkal holi menjadi tempat berkumpul semua generasi marga sehingga memungkinkan
untuk mengajarkan adat Batak dan menunjukkan asal muasal, silsilah
keluarga besar mereka kepada generasi muda keluarga atau marga. Bagi orang
Batak Toba, mengangkat martabat sebuah marga adalah sebuah kewajiban
sebagai bentuk penghormatan untuk marga dan leluhur. Lewat ritual mangokkal holi, hasangapon dapat tercapai sebagai bukti sah bahwa
seorang telah menjadi Batak tulen yang mendatangkan kemuliaan bagi
marga sebuah kebanggaan yang timbul karena rasa hormat.
“DASAR ALKITAB”
UNTUK PENGGALIAN TULANG-BELULANG DAN PENDIRIAN TUGU
“Dasar Alkitab” yang menurut
mereka paling berotoritas bagi pendirian tugu (tempat baru untuk tulang belulang yang digali) dan penggalian tulang-belulang
ialah Keluaran 20:12, hukum kelima dari dasa titah, “Ingkon pasangapanmu do natorasmu
asa . . .” (Haruslah engkau memuliakan/meninggikan orang tuamu supaya . .
.). Nats lain adalah Kejadian 49:29-32, kisah Yakub yang menyuruh keturunannya
supaya menguburkan jenazahnya di sisi nenek moyangnya. Selanjutnya, Kejadian
50:24-25 yaitu perkataan Yusuf yang meminta supaya tulang-belulangnya dibawa
apabila orang Israel akhirnya keluar dari Mesir dan kembali ke Kanaan. Memang
ketika mereka keluar dari Mesir, tulang-belulang Yusuf dibawa serta (Kel.
13:19). Bagian lainnya adalah 1 Samuel 28:1-25, peristiwa Saul memanggil arwah Samuel
melalui seorang petenung. Mereka menyimpulkan bahwa orang mati bisa berbincang
dengan orang hidup dan memberi petunjuk untuk kehidupan ini, bahkan mereka
menyimpulkan bahwa orang mati bisa berbincang dengan orang hidup dan memberi
petunjuk untuk kehidupan ini. Bahkan, orang mati lebih mengetahui masa depan
orang yang masih hidup.
PENGARUH PENGGALIAN TULANG-BELULANG DAN PENDIRIAN TUGU
Dampak penggalian tulang-belulang
ini sangat banyak, terutama adalah makin lunturnya pemahaman orang Batak Toba
terhadap injil. Injil bukan lagi sesuatu yang mengubahkan dan menyinari, tetapi
menjadi injil yang jinak dan lemah. Padahal Kitab Suci mengatakan bahwa di mana
ada terang di sana tidak ada kegelapan. Dampak negatif dari penggaliaan
tulang-belulang di Tapanuli Utara ini akan diurai lebih jauh : pertama, bangkitnya
animisme lama dan pemujaan roh nenek moyang. Menurut Heine-Gelden, antara tahun
1870-1930 jumlah dan arti tugu-tugu nenek moyang telah berkurang dibandingkan
dengan tunggal panaluan dan “bentuk-bentuk magis” lainnya. Tetapi Lothar
Schreiner pada 1972 mengatakan, “Orang dapat berkata bahwa pemujaan nenek moyang
datang kembali. Dalam pergaulan, orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan
bapak-bapak leluhur . . . pendorong adat. Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan
itu terus-menerus malahan menjadi persoalan inti buat gereja-gereja.”
Pemujaan roh nenek moyang dalam
gereja-gereja suku di Indonesia belum berhenti seluruhnya. Salah satu contoh
adalah adanya pemujaan roh nenek moyang dalam upacara peresmian tugu leluhur di
Tapanuli Utara. Menurut sebuah penelitian pada 1997 yang dilakukan melalui
edaran dan analisa angket serta wawancara, disimpulkan ada 62% yang masih
melakukan upacara-upacara penyembahan nenek moyang, misalnya penggalian
tulang-belulang. Memang ada dari antara mereka yang mengaku melakukannya hanya
sebagai tradisi dan sebagian lagi bermotifkan
berkat dari leluhur. Namun cukup banyak yang memberikan sesajen kepada
nenek moyang secara diam-diam karena takut kepada larangan gereja. Dari proses mangongkal
holi (menggali tulang-belulang orang mati) berikut ini akan terlihat bahwa penyembahan
kepada nenek moyang jauh dari kata menghilang.
Sebelum penggalian
tulang-belulang orang mati dilaksanakan, lebih dahulu harus didirikan tempat
pemindahannya, yaitu tugu atau kuburan baru yang dibuat dari semen. Pembangunan
tugu itu sendiri didahului dengan upacara khusus bagi sumangot (roh leluhur
yang dianggap berkuasa), dengan menyajikan makanan yang khusus sebagai sesajian
yang diletakkan di atas pangombari (semacam altar di kanan/kiri bagian
dalam dari rumah adat Batak sebagai penutup tiang bagian atas). Kemudian
seseorang yang tertua di antara mereka mulai berdoa kepada sumangot leluhurnya.
Setelah semua anggota keluarga sepakat membangun tugu maka mereka mulai
membahas hal-hal yang akan dilakukan, yaitu tulang-belulang siapa saja yang
akan digali, uraian bentuk atau ukuran tugu, dan anggaran biaya pembuatan tugu.
Setelah pembangunan tugu ini selesai acara selanjutnya barulah menggali
tulang-belulang.
PENDAPAT
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal :
1.
Pertama, walaupun penggalian tulang-belulang memakai ayat-ayat Alkitab
sebagai dukungan tetapi Alkitab belum pernah memberi dukungan secara langsung.
2.
Kedua, penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu telah memiskinkan
kehidupan ekonomi orang Batak secara umum dan rakyat di Tanah Batak khususnya.
3.
Ketiga, penyembahan kepada roh nenek moyang dalam upacara
penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu di Tanah Batak sangat
bertentangan dengan pandangan Perjanjian Lama yang tidak boleh menduakan Tuhan,
baik secara iman maupun dalam kehidupan praktis. Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya
adalah mati.
4.
Keempat, pada penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu juga
ada acara meminta atau bertanya kepada orang mati dan hal ini tidak diperkenankan
oleh Alkitab. Jadi, Alkitab sama sekali tidak memberi tempat pada penyembahan berhala
dan meminta/bertanya kepada roh yang sudah mati, siapa pun orang itu.
Iman Kristen yang sinkretis akan
membuat iman tidak berdaya guna, bahkan bisa mematikan iman Kristen pada
akhirnya. Hal ini telah terjadi pada banyak orang Batak Toba Kristen yang lebih
takut disebut so maradat (tidak beradat) daripada so margareja (tidak
beragama). Dari paparan di atas ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan
dan lakukan :
1.
Pertama, setiap orang percaya perlu memiliki pemahaman yang
kokoh dan Alkitabiah mengenai apa itu budaya dan nilai absolut dari firman
Tuhan.
2.
Kedua, semua pihak, baik pendeta, mahasiswa teologi dan jemaat,
perlu bahu-membahu melakukan kajian terhadap budaya Batak dan bagaimana
menerapkan injil dengan benar dalam budaya tersebut.
3.
Ketiga, para hamba Tuhan perlu memberikan penjelasan yang benar
dan praktis dalam menyikapi acara penggalian tulang-belulang, juga melakukan pendekatan
yang persuasif daripada memaksakan kehendak gereja kepada jemaat, yang pada akhirnya
dapat membuat jemaat menjauhi gereja atau malah melakukannya dengan diam-diam sehingga
gereja tidak dapat mengamati dengan mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar