TUGAS
MAKALAH
FILSAFAT
PRAGMATISME
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena atas kemurahan-Nya tugas makalah ini dapat penulis selesaikan dengan
tepat waktu. Tugas ini penulis serahkan kepada pembina mata kuliah Filsafat
Umum, Bapak Dr. Martomo Wahyudianto, MACE., M.Th, sebagai salah satu syarat
kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada bapak dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada seluruh
mahasiswa.
Penulis memohon kepada bapak dosen khususnya, umumnya para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam tugas makalah ini,
baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi lebih baiknya karya tulis yang akan datang.
Batam,
14 April 2015
Hormat
Saya
Roy Damanik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut banyak ilmuwan, filsafat merupakan
induk dari segala ilmu pengetahuan yang kemudian berkembang menjadi begitu
banyak cabang. Salah satu cabangnya yang berkembang begitu pesat ialah filsafat
ilmu pengetahuan. Di abad-17, wacana filsafat menjadi topik utama, ditandai
dengan munculnya pertanyaan epistemologi tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan
dan apa sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta
apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologi ini, maka muncullah dua aliran
filsafat yang memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Aliran filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Empirisme sendiri
pada abad ke-19 dan 20 berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang
berbeda, yaitu positivisme, materialisme, pragmatisme. Dalam penulisan makalah
ini, akan dibahas lebih luas tentang aliran pragmatisme.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Apa
yang menjadi latar belakang serta defenisi pragmatisme?
2.
Siapa
saja tokoh-tokoh filsafat pragmatisme?
3.
Bagaimana
kritik terhadap pragmatisme?
4.
Apa
yang menjadi kekuatan dan kelemahan pragmatisme?
C. TUJUAN
Adapun
yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Memahami
latar belakang dan pengertian pragmatisme.
2.
Mengetahui
siapa saja tokoh-tokoh filsafat pragmatisme.
3.
Memahami
dengan baik kritik-kritik terhadap pragmatisme.
4.
Mengerti
dan memahami kekuatan dan kelemahan pragmatisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PRAGMATISME
1.
PENGERTIAN
PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Aliran ini bersedia menerima
segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman
pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai benar dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
yang pragtis serta bermanfaat. Dengan demikian patokan pragmatisme adalah
“manfaat bagi hidup praktis”. Kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang.
Orang-orang menyebut kata ini biasanya
dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rencana ini kurang
pragmatis, maka maksudnya adalah rencana ini kurang praktis. Pengertian seperti
itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tapi belum
menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.[1]
Menurut Kamus Ilmiah Populer,
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan
dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai
akibat-akibat yang memuaskan. Sedangkan, defenisi pragmatisme lainnya adalah
hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.[2]
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (Yunani)
yang berarti tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat
yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa
substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi
kehidupan.[3]
2.
LATAR BELAKANG
PRAGMATISME
Istilah Pragmatisme sebenarnya diambil
oleh C.S Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan
hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu
kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki
keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka,
sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan
penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis
akan dapat diterapkan misalnya dalam penggunaan obat dan semacamnya. Ia belum
menyadari bahwa keyakinan seperti itu cocok untuk filsafat. Karena Peirce
sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau
eksperimen, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu
filsafat yang mau berpaling kepada konsekuensi praktis atau hasil eksperimental
sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya. Filsafat tradisional, meurut
Peirce sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide
filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan
memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru.
Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup
dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta. Pendeknya, filsafat
tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup
tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk
diadakannya penyelidikan dan bukan membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Dalam rangka itulah Peirce mencoba
merintis suatu pemikiran filosofis yang baru yang agak lain dari pemikiran
filosofis tradisional. Pemikiran baru inilah yang diberi nama Pragmatisme.
Pragmatis lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis
suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki diatas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral
dari usaha filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh
pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk merubahnya
diperlukan revisi logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat. Dengan
demikian, pragmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis
mengenai kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di amerika
sebagai suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap
kehidupan Amerika. Oleh karena itu, ada satu alasan yang kuat untuk meyakini
bahwa pragmatisme mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan
dunia. Atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa pragmatisme
mengkristalisasikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang telah menentukan
perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai aspek kehidupannya,
misalnya dalam penerapan tekhnologi, kebijakan-kebijakan politik, pemerintah
dan sebagainya.[4]
B. TOKOH FILSAFAT PRAGMATISME
Filsuf yang terkenal sebagai tokoh
filsafat pragmatisme adalah Charles Sanders Peirce, William James dan John
Dewey.
1.
Charles Sanders
Peirce
Charles mempunyai gagasan bahwa
hipotesis (dugaan sementara/pegangan dasar) itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan
menurut tujuan kita. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul
Backgroud of American Literary Thought (1974) menjelaskan bahwa Peirce
memformulasikan tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme
sebagai berikut:[5]
i.
Bahwa
kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini
manusia.
ii.
Bahwa
apa yang kita namakan “universal” adalah yang pada akhirnya setuju dan menerima
keyakinan dari “community of knowers”.
iii.
Bahwa
filsafat dan matematika harus dibuat lebih praktis dengan membuktikan bahwa
problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika
merupakan hal yang nyata bagi masyarakat (komunitas).
2.
William James
(1842-1910 M)
William James lahir di New York pada
tahun 1842 M, anak dari Hery James, Sr. Ayahnya adalah orang yang terkenal,
berkedudukan yang tinggi, pemikir yang kreatif, selain kaya keluarganya memang
dibekali kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan
humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari
manusia dan agama. Kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi
usaha yang kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan
kehidupan. Karya-karyanya antara lain, The Principles Of Psychology (1890), Thee
Will To Belive (1897), The Varietes Of Religious Exsperience (1902), dan
Pragmatism (1970).[6]
Dalam bukunya The Meaning Of The Truth,
James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal,
melainkan yang ada hanya kebenaran-kebanaran plural. Yang dimaksud dengan
kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. James
mengemukakan dua hal pokok dalam filsafat, yakni Tough Minded (mencari
kebenaran lewat pendekatan empiris) dan Tender Minded (mengakui kebenaran yang
bersifat rasional). William James juga mengajukan prinsip-prinsip dasar
terhadap pragmatisme:[7]
i.
Bahwa
dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat diprediksi
tetapi dunia benar adanya.
ii.
Bahwa
kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide tetapi sesuatu yang terjadi pada
ide-ide dalam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
iii.
Bahwa
manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya pada
dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisnya
maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
iv.
Bahwa
nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang abslout, tetapi
semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada
kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia tempat kita tinggal didalamnya.
3.
John Dewey (1859
M)
Menurut John Dewey, tugas filsafat
adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut
dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
kritis. Menurut Dewey, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak
dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi
kesulitan itu.[8]
Menurut Dewey, kita hidup dalam dunia
yang belum selesai penciptaanya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan
sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme.[9]
i.
Pertama,
kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
ii.
Kedua,
kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari
kemarin.
iii.
Ketiga,
milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dari tenaga kita.
Pandangan ini juga dianut oleh William James.
C. KRITIK TERHADAP PRAGMATISME
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan
dalam tiga tataran pemikiran sebagai berikut:[10]
1.
Kritik
Dari Segi Landasan Ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran
dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari
perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme
berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
2.
Kritik
Dari Segi Metode Pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari
Empirisme nampak jelas menggunakan metode ilmiah, yang dijadikan sebagai asas
berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan
teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
3.
Kritik
Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur
kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
i.
Pertama,
Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya.
Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal
lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas,
atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide
untuk memenuhi keinginan manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide
itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis
ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta
terpuaskannya kebutuhan manusia.
ii.
Kedua,
pragmatisme menolak peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah
aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang
penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran
kepuasan manusia, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka,
pragmatisme berarti telah menolak aktivitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
iii.
Ketiga,
pragmatisme menimbulkan relativitas kebenaran sesuai dengan perubahan subjek
penilai ide (baik individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan konteks
waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat
dibuktikan setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu
dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti
telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menolak dirinya
sendiri.
D. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PRAGMATISME
1.
KEKUATAN
PRAGMATISME
Ada bebarapa hal yang dianggap merupakan
kekuatan dari filsafat pragmatisme, yakni:[11]
i.
Kemunculan
pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di
Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuan yang pesat bagi ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat
dari corak sifat yang Tender Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis,
abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas
kenyataan, metrialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia. Dengan demikian,
filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar
mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang memanfaatkannya bisa
dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
ii.
Pragmatisme
telah berhasil mendorong befikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan
segala yang ada. Barangkali dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah
mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba
membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan
eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang
sosial dan ekonomi.
iii.
Sesuai
dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan
yang mapan”. Suatu kepercayaan yang diterima apabila terbukti kebenarannya
lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya
sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan
kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan
manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2.
KELEMAHAN
PRAGMATISME
Jika ada kekuatan, maka tentu sekali ada
kelemahan, adapun yang menjadi kelemahan dari filsafat pragmatisme, antara
lain:[12]
i.
Karena
pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara
alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri,
secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental
(bahwa Tuhan jauh diluar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut,
pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan
kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
ii.
Karena
yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, praktis, daan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme
menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis. Manusia berusaha secara
keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohaniah. Maka dalam
otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materialisme.
iii.
Untuk
mencapai materialismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa
memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia
bekerja tanpa mengenal batas waktu, untuk sekedar memenuhi kebutuhan materinya,
maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualisme.
Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
BAB III
KESIMPULAN
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Filsuf yang terkenal sebagai tokoh
filsafat pragmatisme adalah Charles Sanders Peirce, William James dan John
Dewey. James mencetuskan aliran atau paham yang menitik beratkan bahwa
kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan
memperhatikan kegunaannya secara praktis. Sedangkan John Dewey mengemukakan
bahwa filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta
lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi
kebutuhan manusiawi. Bagi John Dewey, manusia itu bergerak dalam kesungguhan
yang selalu berubah.
Sama halnya seperti aliran-aliran filsafat
pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekuatan dan kelemahan sehingga
menimbulkan kritik-kritik bahkan kekeliruan. Kekeliruan pragmatisme dapat
dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran, yakni: (1) Kritik dari segi landasan
ideologi pragmatisme, (2) Kritik dari segi metode pemikiran, dan (3) Kritik
terhadap pragmatisme itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,
Atang Abdul; Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Praja,
Juhaya. S, Aliran-Aliran Filsafat &
Etika (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Siahaya
Johannis, Pengantar Filsafat
(Yogyakarta: Charista Press, 2013)
Tafsir
Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai James (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992)
http://www.academia.edu/5672820/PRAGMATISME
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales
Sampai James (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 166.
[2] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 179.
[3] Atang Abdul Hakim; Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi
Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 319.
[4]
http://atthamimy.blogspot.com/2012/12/aliran-filsafat-pragmatisme.html
[5] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 182.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Jakarta:
Prenada Media, 2003), hal. 172.
[7] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 183.
[8] Atang Abdul Hakim; Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum Dari Mitologi
Sampai Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 320.
[9] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 187.
[10] http://www.academia.edu/5672820/PRAGMATISME
[11] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 190.
[12] Johannis Siahaya, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Charista
Press, 2013), hal. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar