TUGAS MAKALAH
RESPON DAN TANTANGAN MASA KINI
MENURUT MISSIO DEI, MISSIO HOMINUM,
MISSIONES ECCLESIARUM DAN
MISSIO POLITICA OECUMENICA
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur kita ucapkan
kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas kemurahan-Nya tugas makalah ini dapat
penulis selesaikan dengan tepat waktu. Tugas ini penulis serahkan kepada
pembina mata kuliah Teologi Misi, Ibu Debora Y.S. Kim, M.Th., sebagai salah satu
syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada ibu dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada seluruh
mahasiswa.
Penulis memohon kepada ibu
dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau
kekurangan dalam tugas makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih
baiknya karya tulis yang akan datang.
Batam, 22 Mei 2015
Hormat Saya
Roy Damanik
BAB
I
PENDAHULUAN
Berdasarkan etimologi, Teologi
berasal dari bahasa yunani yang berarti ilmu (logia) tentang Allah (Theos).
Secara sempit Teologi diartikan sebagai ajaran tentang Allah. Sedangkan misi
secara etimologi berasal dari bahasa latin “Mito” yang memiliki arti mengutus,
dalam PB dijabarkan dalam kata “evangelion” yaitu kabar baik, juga “evangelos”
yang berarti memberitakan kabar baik, dan “evangeliso” yaitu pemberita Injil.
Dari hal tersebut, Misi didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memberitakan
kabar baik. Alkitab mengatakan supaya kita menjadi saksi Tuhan Yesus di
Yerusalem yaitu kota di mana kita tinggal, di Yudea dan Samaria yaitu di
propinsi-propinsi tetangga, dan ke ujung-ujung bumi.[1]
Jadi dapat kita simpulkan
bahwa Teologi Misi adalah suatu usaha untuk mengenal Allah beserta misi-Nya untuk
menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus.
Teologi Misi tidak terlepas dari pengutusan, misi tidak akan dapat berjalan
apabila tidak ada pengutusan. Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan
membahas tentang pengutusan oleh Allah sendiri (Missio Dei), Gereja (Missiones
Ecclesiarum), Manusia (Missio Hominum) dan Peradaban Bangsa-Bangsa, Budaya dan
Politik (Missio Politica Oecumenica).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TEOLOGI MISI
Teologi merupakan “deum
docet, Deo docetur dan Deum Ducet”. Defenisi ini menegaskan mengenai mission
Dei, bahwa Allah adalah Inisiator, Eksekutor dan Dinamisator misi. Defenisi ini
mengandung dua sisi, yaitu: sisi pertama bahwa teologi mengajarkan tentang
Allah (sisi theologia) dan sisi kedua ialah theologia memimpin orang kepada
Allah. Teologi Misi merupakan kombinasi yang harmonis antara teori dan praktek,
antara word dan deed, antara teologia dan berteologia dalam misi, seperti yang
dikemukakan oleh Gort bahwa misi adalah termasuk word dan deed. Misi adalah
kata yang menjelaskan secara komperehensif mengenai tugas umat Allah. Teologi Misi
memiliki peran yang esensial dalam misiologi, baik pemahaman maupun
pelaksanaan.[2]
Bosch membedakan pengertian
kata “misi” dalam bentuk tunggal dan kata “misi” dalam bentuk jamak. Kata
“misi” (bentuk tunggal) mengacu pada Missio Dei (misi Allah), artinya penyataan
diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia, keterlibatan Allah di dalam dan
dengan dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang merangkul Gereja dan dunia serta
di mana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa untuk ikut serta. Missio Dei
memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah untuk manusia. Sedangkan kata
“misi” dalam bentuk jamak, mengacu pada bentuk-bentuk khusus, yang berhubungan
dengan waktu, tempat, atau kebutuhan tertentu dari partisipasi di dalam Missio
Dei.[3]
B. MISSIO DEI
Missio Dei merupakan
pengutusan oleh Allah, dimana Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek
segala pengutusan, terutama pengutusan Anak-Nya. Dialah pengutus agung. Pengutusan
ini berhubungan erat dengan keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan
dunia, pemilihan Israel, pengutusan para nabi kepada bangsa Israel dan kepada
bangsa-bangsa di sekitarnya, pengutusan Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia,
pengutusan rasul-rasul dan pekabar-pekabar Injil kepada bangsa-bangsa. Misi
berasal dari Allah dan berakhir pada Allah. Allah adalah Allah yang mengutus,
yang keluar menuju dunia. Ia yang mengutus Putra dan Roh-Nya.[4]
Di dalam Missio Dei, karya
misi pertama-tama dilihat sebagai karya Allah, yakni Allah yang mengutus
diri-Nya kepada dunia. Allah hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dan
memanggilnya untuk menerima tawaran rahmat-Nya. Dampak dari karya rahmat yang
mengkristal dan mengendap di dalam kehidupan manusia menjadi saksi hubungan
yang telah terjalin antara Allah dengan manusia sepanjang zaman. Manusia yang
telah menerima rahmat keselamatan diutus (secara implisit dan eksplisit) untuk
menjadi sakramen keselamatan, yakni saksi persatuan antara Allah dengan manusia.
Baik panggilan maupun pengutusan berorientasi pada rencana Allah untuk
menyelamatkan dunia, di mana Allah sendiri “meraja” atas dunia dan menjadi
segalanya dalam segalanya (1 Kor. 15: 28).[5]
Gagasan tentang missio Dei,
menurut Bosch, mula-mula muncul pada konferensi IMC di Wilingen pada tahun
1952. Para utusan mengukuhkan bahwa misi berasal dari hakikat Allah sendiri.
Artinya misi dipahami berasal dari hakikat Allah sendiri, bukanlah pertama-tama
aktivitas gereja, melainkan suatu ciri Allah di mana Allah adalah Allah yang
missioner. Jadi di sini misi dilihat sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada
dunia, dan gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut. Gereja ada
karena ada misi yang mengutus. Oleh karena itu, misi ada karena Allah mengasihi
dunia/manusia. Pertemuan IMC itu juga memikirkan kembali kewajiban missioner
gereja. Kewajiban missioner gereja berasal dari kasih Allah dalam hubungannya
yang aktif dengan umat manusia. Oleh karena Allah mengirimkan Anak-Nya, Yesus
Kristus, untuk mencari dan mengumpulkan, serta mengubah semua orang yang terasingkan
karena dosa dari Allah dan sesamanya. Inilah yang merupakan kehendak Allah dan
itu terwujud di dalam Kristus dan akan disempurnakan di dalam Kristus. Karena
Allah juga mengutus Roh Kudus, melalui Roh Kudus, gereja, yang mengalami kasih
Allah yang aktif, diyakinkan bahwa Allah akan menyempurnakan apa yang telah
dimulainya dengan pengutusan anak-Nya itu. Bagi Missio Dei, Allah Alkitab
adalah Allah yang missioner, Allah yang mengutus. Melalui Firman dan Roh-Nya,
Ia menciptakan laki-laki dan perempuan di dalam gambar-Nya sendiri dan mengutus
mereka untuk menguasai alam di bawah kehendak-Nya yang adil dan penuh kasih.
Lebih jauh, Allah yang missioner ini telah memilih untuk bertindak didalam
sejarah. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan anak-Nya yang tunggal”, kata Yohanes, meskipun ia melanjutkan
dengan mengatakan betapa dunia ini memusuhi Allah dan kehendak-Nya. Tetapi kasih
Allah bagi dunia ini dinyatakan di dalam maksud-Nya untuk mentransformasi
dunia, suatu transformasi yang diperlihatkan di dalam kehidupan, kematian, dan
kebangkitan Yesus Kristus. Maksud ini mencakup tindakan Allah di dalam
penciptaan dan penebusan dengan mitra manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab
dan ikut serta di dalam kedudukannya sebagai Tuhan atas ciptaan di dalam
keadilan dan perdamaian. Di dalam Kristus, manusia yang baru ini telah
tercipta, dan dari tujuan misi ini adalah bahwa semuanya ikut serta di dalamnya.
Missio Dei juga menegaskan gagasan bahwa misi adalah milik Allah yang
mempertajam fokus kita kepada Injil sebagai kabar baik dari manusia yang
diperbaharui di dalam Kristus. Alkitab mengungkapkan realitas yang sama dari manusia
yang baru ini di dalam kata syalom, perdamaian. Tujuan yang dimaksudkan Allah
di dalam pekerjaan-Nya, tujuan akhir dari misi-Nya, adalah mendirikan syalom.
Ini meliputi perwujudan realisasi potensi-potensi sepenuhnya dari seluruh
ciptaan dan pendamaian akhir dan kesatuan di dalam Kristus.[6]
C. MISSIO HOMINUM
Misi merupakan misio Dei
atau misi Allah. misi terjadi diantara umat manusia dan menggunakan perantaraan
manusia (missio Hominum). Missio Dei memiliki motivasi yang murni, dimana
sarana, dan tujuannya berasal dari sifat Allah. Sedangkan Missio Hominum
berkaitan dengan manusia yang jatuh kedalam dosa. Itu sebabnya manusia harus
diselamatkan melalui Missio Hominum.[7]
Missio Hominum merupakan ide
Allah untuk menyelamatkan manusia. Hal tersebut terbukti dalam Amanat Agung,
beberapa alas an Missio Hominum, antara lain:[8]
1)
Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1
Tim. 2:3-4).
2)
Kasih kepada Kristus dan sesama (2 Kor. 5:14,
18-2).
3)
Ketaatan sebagai bukti kasih (Yohannes 14:21-23).
4)
Kerelaan. (Yesaya 6:18)
Missio Hominum akan sangat
berhasil bila dilaksanakan dengan menggunakan metode misi yang tepat dan
akurat. Karena berbicara tentang metode berarti menentukan dengan benar
cara-cara yang tepat, yang akan digunakan dalam menyampaikan berita Injil.
Menurut Eka Darmaputra, metode misi yang pertama dan utama adalah “dari pribadi ke pribadi”. Metode misi yang
dilakukan dengan cara membina
hubungan antara pribadi dengan pribadi. Berkaitan dengan
metode ini, Carl Henry mengatakan bahwa “inisiatif pendekatan orang per orang
bagi setiap orang percaya masih merupakan cara yang sangat menjanjikan dalam misi
di dunia pada abad ini”. Ada beberapa orang
yang mempertanyakan keabsahan dari misi dengan cara orang per orang, mungkin
yang menjadi pertanyaan adalah adanya tekanan dalam pendekatan ini, “lone ranger”
(memaksakan/kasar) mungkin juga penyebabnya. “Aku di dalam mereka dan Engkau di
dalam Aku agar dunia tahu bahwa Engkau yang mengutus Aku dan bahwa Engkau
mengasihi mereka sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh. 17:23).[9]
Tubuh orang percaya
disatukan lewat latar belakang etnis dan ekonomi yang berbeda, jika itu
disatukan, setiap kepribadian dan daya tarik masing-masing akan seperti lampu
pijar yang menerangi seluruh dunia. Kesatuan yang indah dalam perbedaan dalam
tubuh Kristus bisa meyakinkan orang lain yang tidak percaya bahwa Yesus Kristus
memang diutus oleh Allah. Ada kelompok Kristen yang “vocal” yang melakukan misi
yang dinamis, mereka menyatakan bahwa individu-individu dalam kelompok kadang
tidak menyatakan Injil, sehingga hasilnya misi yang lemah. Dalam Alkitab
(scripture) dapat ditemui gaya pengabaran Injil secara orang per orang. Yesus
sendiri secara konstan berbagi dengan orang-orang yang mengikuti-Nya. Ia
memberikan mereka makna hidup bagi kehidupan mereka setiap hari. Kristus
berjanji bagi para murid atau pengikutNya bahwa Ia akan menjadikan mereka
penjala manusia dan mengutus mereka untuk menyebarkan berita sukacita (Mar. 6:7-13;
Luk. 10:1-24).[10]
Pada gereja mula-mula para
rasul dilibatkan dalam penyebaran Injil. Bahkan, seorang pemimpin gereja,
Filipus diperintahkan Allah untuk meninggalkan pelayanannya yang berhasil untuk
berbicara dengan seseorang yang mencari Allah (Sida-sida Etiopia, Kis.
8:26-40).[11]
D. MISSIONES ECCLESIARUM
Missiones Ecclesiarum adalah
pengutusan gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen
sepanjang sejarah dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasul untuk
memberitakan Injil keselamatan kepada segala bangsa. Gereja hadir untuk
melaksanakan misi Allah (Missio Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan
mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah dunia. Dalam surat
Paulus (Ef. 4:13-14), disebutkan gereja harus sampai pada kesatuan iman dan
pengetahuan yang benar tentang Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan
yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Gereja harus berkarya dalam Kristus serta
hidup dan berjalan di dalam Kristus sebagai misi-Nya. Dalam hal ini jelaslah
bahwa gereja dan misi tidak dapat terpisahkan, sebab misi gereja melanjutkan
pengutusan Allah, yang berawal dari Allah Bapa (Yoh. 17:18; 20; 21). Jadi misi
berawal dari Allah Bapa yang melalui pengutusan Yesus Kristus ke dalam gereja.[12]
Missiones Ecclesiarum yaitu
mewartakan bahwa Yesus adalah Juruselamat bagi manusia, di dalamnya berbicara
mengenai pewartaan Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya yang terbuka bagi
semua orang. Gereja mempunyai keharusan untuk mewartakan Injil, baik kepada
perorangan maupun kelompok yang dimengerti oleh Roh Kudus untuk memahami
kondisi manusia dan membawa manusia kepada pembebasan dosa dan kematian karena
perintah Kristus di dalam mengabarkan kabar gembira Allah bahwa Dia mewahyukan
dan memberikan diri-Nya sendiri di dalam Kristus untuk Injil harus diwartakan
yang menjadi Missiones Ecclesiarum. Kita
tidak boleh meletakkan misi di bawah gereja , ataupun gereja di bawah misi.
Sebaliknya, keduanya harus diangkat ke dalam missio Dei. Missio Dei menciptakan
mission ecclesiae. Gereja berubah dari pengutus menjadi yang diutus. Ekklesiologi
tidak mendahului misiologi.[13]
E. MISSIO POLITICA OECUMENICA
Dalam sejarah gereja,
hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai
sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu
model, melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauh mana kita memahami apa
itu gereja dan apa itu budaya. Menurut H. Richard Niebuhr, jika kita mencermati
sejarah gereja (khususnya di Eropa dan Amerika sampai pasca perang dunia kedua)
maka ada sejumlah model/pola hubungan gereja dan budaya yang bertolak dari
bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus dan kebudayaan, sebagai berikut :[14]
1)
Christ
against Culture. Dalam sikap ini orang kristen menentang
kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap kebudayaan, sebab kebudayaan
dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi kehidupan kekristenan dan kehidupan
gereja.
2)
Christ
of Culture. Sikap ini berkeyakinan bahwa yang memiliki kebudayaan
adalah Kristus. Oleh karena itu orang beriman harus berusaha toleran
(menyesuaikan diri) dengan kebudayaan.
3)
Christ
above Culture. Dalam pemahaman seperti ini, Kristus
dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan kebudayaan. Namun Ia berbeda
sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang kristen, gereja harus
menghargai kebudayaan.
4)
Christ
and Culture in paradox. Sikap ini berkeyakinan bahwa orang Kristen
hidup dalam dua “dunia” yang berbeda secara asasi tetapi tidak dapat
dipisahkan. Pada satu pihak orang Kristen hidup dalam Kerajaan Allah, namun
pada pihak lain ia hidup dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
5)
Christ
transforming Culture. Sikap ini berkeyakinan bahwa orang Kristen
harus dapat menyatu sebagai misionaris melalui biaya.
Apa yang dikemukakan Niebuhr
di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini) masih berpengaruh ketika
berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan, walaupun untuk kepentingan
masakini harus dikritisi dengan bijak sebab konteks telah berubah dan
perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi dan berkembang.
BAB
III
KESIMPULAN
Missio Dei merupakan
pengutusan oleh Allah, dimana Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek
segala pengutusan, terutama pengutusan Anak-Nya. Misi merupakan misio Dei atau
misi Allah, misi terjadi diantara umat manusia dan menggunakan perantaraan
manusia (missio Hominum). Missio Hominum berkaitan dengan manusia yang jatuh
kedalam dosa. Itu sebabnya manusia harus diselamatkan melalui Missio Hominum.
Missio Hominum merupakan ide Allah untuk menyelamatkan manusia. Melalui Missio
Hominum muncul Missiones Ecclesiarum. Missiones Ecclesiarum merupakan pengutusan
gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah
dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasul untuk memberitakan Injil
keselamatan kepada segala bangsa. Gereja hadir untuk melaksanakan misi Allah
(Missio Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai
sejahtera atau syalom Allah di tengah dunia. Selain melalui Hominum dan
Ecclesiae, misi juga berkembang melalui Politica Oecumenica (budaya). Dalam
sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian
sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung
cuma dalam satu model, melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauh mana
kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bosh, David J : Transformasi
Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
Hadiwijono, Harun : Teologi
Reformatoris Abad ke-20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
Lumintang, Stevri I : Misiologia
Kontemporer Menuju Rekonstruksi Theologia Misi Yang Sebenarnya (Batu: Literatur
PPII, 2006).
Venema, Henk : Injil
Untuk Semua Orang Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997).
Woga, Edmund : Dasar- Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
“Charles Van Engen, Mission
on the Way; Issues in Mission Theology. Introduction: What is Mission Theology?
(Michigan: Grand Rapids, 1996) “http://www.urbanleaders.org/”
http://missikekristenan.blogspot.com/2013/04/penginjilan-pribadi.html
http://roimanson.blogspot.com/2014/04/missio-ecclesiae-dan-misio-dei-misi.html
[1] http://www.dci.org.uk/
[2] Stevri I. Lumintang, Misiologia
Kontemporer: Menuju Rekonstruksi Theologia Misi Yang Sebenarnya (Batu:
Literatur PPII, 2006) hal. 126-128.
[3] David J. Bosh, Transformasi Misi
Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hal. 15.
[4] Henk Venema, Injil Untuk Semua Orang
Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997) hal. 48-49
[5] Edmund Woga, Dasar- Dasar Misiologi (Yogyakarta:
Kanisius, 2002) hal. 57.
[6]http://wahyusirait.blogspot.com/2013/10/missio-ecclesiae-dan-misio-deimisi.html
[7] http://www.urbanleaders.org/ “Charles Van Engen, Mission on the
Way; Issues in Mission Theology. Introduction: What is Mission Theology?
(Michigan: Grand Rapids, 1996) hal. 17-31.
[8]
http://jameswidodo-heart.blogspot.com/2009/11/pengertian-penginjilan-lintas-budaya.html
[9]
http://missikekristenan.blogspot.com/2013/04/penginjilan-pribadi.html
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]http://roimanson.blogspot.com/2014/04/missio-ecclesiae-dan-misio-dei-misi.html
[13] David J. Bosh, Transformasi Misi
Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hal. 568.
[14] Harun Hadiwijono, Teologi
Reformatoris Abad ke-20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) hal. 52-154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar