TUGAS
MAKALAH
TOKOH PENDIDIKAN
KRISTEN PRA REFORMASI
PETRUS ABELARDUS
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena atas kemurahan-Nya tugas makalah ini dapat penulis selesaikan dengan
tepat waktu. Tugas ini penulis serahkan kepada pembina mata kuliah Sejarah Dan
Pemikiran Pendidikan Agama Kristen, Ibu Susi Tampubolon, S.Pd.K.,M.Pd.K©,
sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu
kepada seluruh mahasiswa.
Penulis memohon kepada ibu dosen khususnya, umumnya para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam tugas makalah ini,
baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi lebih baiknya karya tulis yang akan datang.
Batam,
Nopember 2015
Hormat
Saya
Roy Damanik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Petrus Abelardus merupakan salah
satu pendidik besar Eropa Barat di abad kesepuluh sampai dengan sebelas masehi.
Dia hidup dalam peradaban kebudayaan orang-orang kasar karena di wilayah tempat
tinggalnya jumlah warga yang memilih menjadi tentara jauh lebih banyak daripada
yang memilih menjadi sarjana. Masa kecil Petrus Abelardus dikenal sebagai anak
yang sangat pandai dari segi intelektualnya. Oleh sebab itu, ia tidak duduk
lama dibangku sekolahnya. Dalam waktu singkat ia dapat menguasai bidang
dialektika, suatu pokok pelajaran yang melatih seseorang menentang salah satu
ucapan atau gagasan dengan yang lainnya sehingga menghasilkan gagasan atau
pikiran baru. Tetapi kecerdasan intelektual Abelardus tidak serta-merta
diimbangi dengan kecerdasan emosi dan sosialnya. Dia digambarkan sebagai
pribadi yang sombong, cepat mengecam orang lain dan kasar. Kekurangan dalam
hubungan sosial sangat terlihat jelas dari watak dan perilaku sehari-hari
Abelardus. Bahkan, karena sifat pribadi yang seperti itu, ia juga tidak puas
dengan gaya mengajar dosennya sehingga setelah perkuliahan selesai ia pun berganti
peran dari pelajar menjadi pengajar bagi rekan-rekannya, hampir pasti
tindakannya mengakibatkan berbagai pertentangan dengan dosen-dosennya di
sekolah katedral, sampai kemudian pula ia diusir karena ulahnya itu. Sebagai
mahasiswa yang terkenal cerdas, banyaklah ide-ide baru yang bermunculan dari
pemikiran Abelardus, walaupun ia dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah
katedral dalam keputusan administratif, hal tersebut tidaklah mematahkan
semangat Abelardus untuk memperkaya ilmu. Hasilnya, ia dan sejumlah kawan
sekerjanya yang mengundurkan diri dari sekolah katedral bersama-sama menirikan
persekutuan belajar-mengajar yang merupakan pangkal berdirinya Universitas
Paris. Dari kegiatan kursus yang dibinanya itu, banyak melahirkan cendikiawan
dan pemimpin-pemimpin gereja. Bahkan, buku teologi yang ditulisnya dipelajari
oleh banyak mahasiswa. Sebagai pribadi yang cerdas namun kurang peka akan
kehidupan sosial, tentu kehidupan Petrus Abelardus tidak lepas dari berbagai
kesulitan, baik yang disebabkan oleh sifat-sifat pribadinya maupun yang berasal
dari gagasan atau ide yang tidak disambut baik oleh rekan-rekannya. Dalam masa
mudanya, pribadi Abelardus juga pernah mengalami kesulitan karena masalah
percintaan. Ia sempat melarikan gadis yang ia cintai yang bernama, Heloise dari
Paris ke tempat asalnya yaitu, Brittany. Karena ulahnya itu, Abelardus
mendapatkan suatu petaka, untung saja hal tersebut tidak sampai merenggut
nyawanya. Setelah peristiwa tersebut, ia mengambil keputusan untuk bertobat dan
menjadi biarawan di biara Santo Denis. Keputusan serupa juga diambil Heloise
dengan menjadi biarawan di Santa Agenteuil. Selama di biara, Abelardus membuat
sebuah pengakuan akan kehidupan pribadinya, kisah cintanya yang mendalam dan
tragis yang pernah dialaminya, demikian riwayat hidupnya yang mencakup baik
kekuatan maupun kelemahan dalam dirinya di mana dalam hal tersebut ada keunikan
dan kepentingan pribadi. Lantas, digambarkannya bagaimana semua sifat tersebut
dimiliki dalam dirinya. Semua itu tertuang dalam buku hasil karangannya selama
di biara yang berjudul, Sejarah Kemalanganku (The History of My Calamities).
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Bagaimana latar belakang kehidupan Petrus Abelardus?
2.
Bagaimana dasar filosogis dan teologis Petrus Abelardus?
3.
Bagaimana konsep, gagasan, karya dan strategi pendidikan menurut
Abelardus?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan makalah kurikulum PAK ini, antara lain:
1.
Memahami latar belakang
kehidupan Petrus Abelardus.
2.
Memahami dasar
filosogis dan teologis Petrus Abelardus.
3.
Memahami konsep,
gagasan, karya dan strategi pendidikan Abelardus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIWAYAT HIDUP
Petrus Abelardus adalah seorang filsuf
skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan. Ia
dilahirkan di le Pallet, dekat Nantes, Perancis, pada tahun 1079. Nama aslinya
adalah Pierre de Palais. Ia belajar kepada seorang filsuf Nominalis yang
bernama Roscellinus, dan juga kepada William dari Champeaux yang merupakan
seorang filsuf Realisme. Abelardus tidak mengikuti salah satu posisi yang
dianut gurunya, melainkan mengembangkan ajarannya sendiri yang dinamakan
konseptualisme. Ia kemudian belajar di bawah bimbingan Anselmus dari Laon. Sama
seperti sebelumnya, Abelardus memilih untuk mengembangkan ajarannya sendiri
dengan memberikan kuliah kepada murid-murid Anselmus yang lain untuk menandingi
gurunya itu.[1]
Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang komponis. Skandal dan kisah
cintanya dengan Heloise D’Argenteuil telah menjadi legenda. Chambers Biographical
Dictionary menggambarkan Petrus Abelardus sebagai “pemikir paling tajam dan
teolog paling berani dari abad ke-12”. Ada anggapan bahwa ia, bersama dengan
Santo Anselmus dari Canterbury, adalah pendiri skolastisisme di awal abad
ke-12.[2]
Petrus Abelardus awalnya dipanggil “Pierre
le Pallet”, lahir tahun 1079, sekitar 16 km di sebelah timur Nantes, di
Bretagne, putra tertua dari keluarga bangsawan Breton. Sebagai seorang anak
laki-laki, ia belajar dengan cepat. Ayah Petrus, seorang bangsawan kaya bernama
Berengar, mendorongnya untuk mempelajari seni liberal, dimana ia unggul dalam
seni. Pada saat itu dialektika utamanya terdiri dari ilmu logika Aristoteles.
Berbeda dengan ayahnya yang berkarir dalam militer, Petrus Abelardus memilih
menjadi seorang akademisi. Selama awal kegiatan akademiknya, Abelardus
berkelana ke seluruh Perancis, terlibat dalam ajang perdebatan dan pembelajaran.
Pertama kali Abelardus belajar di daerah Loire dimana Roscellinus dari Compiegne,
seorang nominalis yang telah dituduh sesat oleh Anselmus (Uskup Agung
Canterbury), adalah gurunya dalam periode ini. Sekitar tahun 1100, Abelardus
sampai di Paris. Di sekolah katedral dari Notre Dame de Paris, ia diajar selama
beberapa waktu oleh William dari Champeaux, murid Anselmus dari seorang pelopor
Realisme. Dalam masa inilah ia mengganti nama keluarganya menjadi “Abelardus”.
Dalam kisah di otobiografinya, Abelardus menggambarkan William berubah dari
yang sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan
kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan.[3]
Petrus Abelardus selanjutnya beralih ke
teologi dan pada tahun 1113 pindah ke Laon untuk menghadiri pengajaran Anselmus
(dari Laon) mengenai penafsiran (eksegesis) Alkitab dan doktrin Kekristenan. Tapi
Abelardus tidak terkesan dengan pengajaran Anselmus, dan ia mulai menawarkan
pengajaran sendiri mengenai Kitab Yehezkiel. Anselmus melarangnya untuk
melanjutkan pengajarannya, dan Abelardus kembali ke Paris, sekitar tahun 1115,
ia menjadi master di Notre Dame de Paris dan seorang kanon dari katedral Sens. Berikutnya
Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, dalam buku Theologia Summi Boni,
yang berisi tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang
murid Anselmus dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu
kutukan terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons
tahun 1121. Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia
diperintahkan untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga
dikenakan hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, namun sepertinya
telah ada kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera,
sebab setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali
ke Biara St. Denis. Petrus Abelardus menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupnya
di biara St. Marcel, dekat Chalon-sur-Saône, dan ia meninggal pada tanggal 21
April 1142.[4]
B.
DASAR FILOSOFIS
Petrus Abelardus dianggap membuka
kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya: “intelligo ut credom” (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran
Abelardus yang bercorak nominalisme ditentang oleh gereja karena mengkritik
kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa
ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia
tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari
jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman. Petrus
Abelardus mempunyai jasa besar dalam etika dan logika. Dia memberikan pendapat
yang sangat berharga menyangkut perdebatan tentang Universalia (konsep-konsep
umum), antara kelompok penganut Realisme dan Nominalisme.[5]
Abelardus dikenal mempunyai pemikiran
yang sangat tajam dalam melakukan pembaharuan-pembaharuan metode pemikiran
serta mengemukakan persoalan-persoalan dialektis yang kontemporer pada
zamannya. Petrus Abelardus juga mempunyai kepribadian yang keras, sehingga
sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk
orang konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantic, sekaligus
sebagai rasionalistik. Artinya peranan akal dapat memudahkan kekuatan iman.
Iman harus mau didahului akal, yang harus dipercayai adalah apa yang telah
disetujui atau dapat diterima oleh akal. Abelardus membangun pemikirannya
tentang pengertian yang umum atau universalia pada posisi antara pemikiran
ultra realisme yang bermuara pada pemikiran Aristoteles dengan pemikiran
nominalis.[6] Abelardus
mengemukakan pemikiran yang cenderung bersifat dialektik, bahwa sesuatu yang
nyata dalam arti yang sesungguhnya adalah sesuatu yang sifatnya konkrit secara
individual dapat dipahami adanya. Pengertian yang bersifat umum atau universal,
bukanlah sebuah benda atau kata-kata, melainkan suatu pernyataan yang memiliki
isi yang ideal. Pemikiran Abelardus memiliki sisi penting dalam perkembangan
pemikiran manusia terutama dalam pendekatan konseptual dan abstraksi, yang
menekankan bahwa akal pikiran manusia dapat memikirkan sifat-sifat yang
bermacam-macam secara konseptual yang hasilnya merupakan sebuah abstraksi dari
macam-macam sifat tersebut.[7]
C.
DASAR TEOLOGIS
Pandangan Abelardus akan Allah sangatlah
deterministic (menentukan atau menetapkan batas atau membatasi). Ia berpendapat
bahwa Allah hanya dapat melakukan apa yang Ia kehendaki untuk Ia lakukan. Menurutnya
hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak
pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian
berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan; dan bahwa
dunia ini, yang mana adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang
beralasan, adalah satu hal deterministik. Tapi tetap ada kebebasan (kehendak)
bagi manusia di dunia ini; manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah
bebas.[8]
D.
KONSEP PENDIDIKAN
Petrus Abelardus dalam salah satu
pemikirannya mengemukakan bahwa peranan akal dapat menundukkan iman, iman harus
mau didahulukan oleh akal. Hal ini menjadi dasar bahwa berfikir itu merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri dan berada diluar iman.[9] Sebagai
seorang pengajar, Abelardus mempertajam pendekatan dialektis yang berusaha
menemukan kebenaran dengan jalan menentang salah satu sebutan atau pemahaman
kebalikannya. Kemudian mencari cara dan mengemukakan untuk memperdamaikan kedua
pendapat tersebut. Abelardus mengajarkan tentang kepentingan mengajukan
pertanyaan (keraguan) sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru.
Pengajar dan naradidik dibimbing untuk tidak menerima begitu saja suatu keadaan
atau keputusan tanpa mempertanyakan alasannya terlebih dahulu. Demikian kutipan
dari Abelardus: “Dengan meragukan, kita mulai bertanya dan dengan bertanya kita
menangkap kebenaran.”[10]
Sebagai seorang pengajar, Abelardus
mempertajam pendekatan dialektis yang berusaha menemukan kebenaran dengan jalan
menentang salah satu sebutan atau pemahaman kebalikannya. Kemudian mencari cara
dan mengemukakan untuk memperdamaikan kedua pendapat tersebut. Ia mengajarkan tentang
kepentingan mengajukan pertanyaan (keraguan) sebagai dasar memperoleh pengetahuan
dan pemahaman baru. Siswa dididik untuk tidak menerima begitu saja suatu
keadaan atau keputusan tanpa mempertanyakan alasannya terlebih dahulu.
E.
GAGASAN, TEORI DAN POKOK PIKIRAN ABELARDUS
Salah satu pemikiran Abelardus yang
terkenal di bidang etika adalah tentang kemurnian batin. Disamping itu dia juga
berfikir bahwa peranan akal dapat menundukan iman, iman harus mau didahului
oleh akal. Berfikir itu berada diluar iman. Oleh sebab itu berfikir merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri. Petrus Abelardus memberikan status yang tinggi
kepada penalaran dari pada iman.[11]
Semasa hidupnya Petrus Abelardus
termasuk orang yang dikenal sebagai konseptualisme dan sarjana yang dikenal
dalam sastra romantik, sekaligus sebagai rasionalistik. Abelardus mengemukakan
sebuah metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu
bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti. Dengan demikian, dalam
teologi itu iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran
Trinitas juga berdasarkan pada bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan. Adapun
manfaat dari teori Petrus Abelardus adalah terbebasnya pemikiran yang dahulunya
cenderung terbelenggu oleh ajaran gereja menjadi bebas dalam berfikir.
Teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat kita pelajari sekarang ini adalah
tidak lain dari akibat kebebasan berfikir. Manusia bebas dalam menggunakan
penalarannya dalam berfikir.[12]
Abelardus juga mengemukakan sebuah teori
pendamaian klasik yang dikenal sebagai teori pengaruh moral. Dalam pemikiran
Abelardus, peristiwa kematian Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh
kasih. Kasih Allah kepada manusia adalah kasih tanpa syarat sehingga ia tidak
menuntut apapun dari manusia bahkan sekali pun manusia telah jatuh dalam dosa. Penyaliban
Kristus menjadi undangan dari Allah kepada manusia mengubah kehidupannya dari
yang penuh dengan dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih. Karya Yesus melalui
pelayanan-Nya selama ia hidup hingga peristiwa kematian-Nya menjadi teladan
moral bagi manusia. Bagi Abelardus, dengan menyaksikan Kristus yang disalib,
manusia akan membuka hati dan menerima kasih Allah.[13]
F.
KARYA PETRUS ABELARDUS
Petrus Abelardus dalam pelayanan dan
masa hidupnya mengarang beberapa buku berikut:[14]
1.
Sic et non (Ya dan Tidak) yang ditulis
tahun 1122.
Sic et
non (ya dan tidak) adalah judul buku karangan Petrus Abelardus yang diterbitkan
pada tahun 1122. Buku ini memuat kumpulan 158 pernyataan
yang saling bertentangan dari Bapa Gereja tentang masalah iman, sakramen, dan
cinta. Selain itu, di dalam buku ini terdapat
lebih dari 1.800 kutipan. Terdapat
sebuah otoritas yang berkata “ya”, sedangkan
yang lain mengatakan “tidak”. Sulit
untuk mendamaikan segala pertentangan yang ada. Abelardus
mengumpulkan teks-teks yang bertentangan di dalam Alkitab untuk latihan logika
bagi mahasiswanya. Daya tarik buku
ini adalah Abelardus memperlihatkan kunci ilmu adalah keragu-raguan. Orang didorong untuk mengadakan
penyelidikan oleh keragu-raguan dan pada gilirannya kebenaran ditemukan. Tujuan
Petrus Abelardus tidaklah bermaksud untuk mendiskreditkan pihak satu dan
melawan pihak yang lain. Namun,
Abelardus bermaksud untuk menunjukkan, bahwa teologi tidak harus merasa puas
dengan mengutip otoritas. Hal ini
diperlukan untuk menemukan jalan untuk mendamaikan pihak yang bertentangan. Skolatisisme menggunakan metode ini dan
menjadi ciri khas dari Skolastik, yaitu dengan mengajukan pertanyaan kemudian
mengutip otoritas yang mendukung sebuah jawaban dan otoritas lainnya untuk bisa
lebih menyokong sebuah jawaban. Ciri
Skolastik dengan memberikan jawaban serta sebuah “solusi” menunjukkan, bahwa
memungkinkan untuk semua otoritas yang dikutip sudah benar.[15]
2.
Historia Calamitatum (Sejarah Nasib
Malang).
Dalam buku ini, Abelardus menggambarkan William berubah dari yang
sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan
kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan; sumber lama mengatakan bahwa
konseptualisme Abelardus mengalahkan teori realisme, namun, bagaimanapun
pemikiran Abelardus sebenarnya nyaris serupa dengan pemikiran William dibanding
kisah yang diceritakannya. Dan
William beranggapan bahwa Abelardus terlalu sombong. Hal
itu terjadi dalam rentang waktu dimana Abelardus juga memicu pertengkaran
dengan Roscellinus, yang adalah gurunya juga. Untuk menandingi gurunya, Abelardus
mendirikan sekolah sendiri, yang pertama di Melun, suatu daerah favorit
keluarga kerajaan; kemudian sekitar tahun 1102-11-4, demi kompetisi langsung,
ia pindah ke Corbeil-Essonnes, dekat Paris.[16]
3.
Introductio ad Theologia (Pengantar ke dalam
Teologi).
Dalam buku ini Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, yang berisi
tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang murid Anselmus
dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu kutukan
terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons tahun 1121.
Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia diperintahkan
untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga dikenakan
hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, namun sepertinya telah ada
kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera, sebab
setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali ke
Biara St. Denis.[17]
Selain buku diatas, Petrus Abelardus
juga mengarang beberapa buku berikut ini:[18]
1.
Theologia Christiana (Teologi Kristen).
2.
Logica ingredientibus (“Logic
for Beginners”) completed before 1121.
3.
Petri Abaelardi Glossae in Porphyrium (“The
Glosses of Petrus Abailard on Porphyry”).
4.
Dialectica, before 1125 (1115–1116
according to John Marenbon, The Philosophy of Petrus Abelard, Cambridge
University Press 1997).
5.
Logica nostrorum petitioni sociorum (“Logic
in response to the request of our comrades”).
6.
Tractatus de intellectibus (“A
treatise on understanding”).
7.
Theologia “Summi
Boni”,and Theologia “scholarium”.
8.
Dialogus inter philosophum, Judaeum, et
Christianum, (Dialogue of a Philosopher with a Jew and a Christian).
9.
Ethica or Scito Te Ipsum (“Ethics”
or “Know Yourself”).
G.
PETRUS ABELARDUS DALAM DUNIA MUSIK
John Marenbon dalam bukunya mengisahkan
tentang pandangan Abelardus mengenai dunia music. Abelardus merupakan seorang
yang berpengaruh dalam dunia musik. Hal tersebut terlihat dari karya-karyanya.[19]
“Abelard was
also long known as an important poet and composer. He composed some celebrated
love songs for Héloïse that are now lost, and which have not been identified in
the anonymous repertoire. Héloïse praised these songs in a letter: “The great
charm and sweetness in language and music, and a soft attractiveness of the
melody obliged even the unlettered”. Abelard composed a hymnbook for the
religious community that Héloïse joined. This hymnbook, written after 1130,
differed from contemporary hymnals, such as that of Bernard of Clairvaux, in
that Abelard used completely new and homogeneous material. The songs were
grouped by metre, which meant that comparatively few melodies could be used.
Only one melody from this hymnal survives, O quanta qualia.
Abelard
also wrote six biblical planctus (laments):
·
Planctus Dinae
filiae Iacob; inc.: Abrahae proles Israel nata (Planctus I).
·
Planctus Iacob
super filios suos; inc.: Infelices filii, patri nati misero (Planctus II).
·
Planctus
virginum Israel super filia Jepte Galadite; inc.: Ad festas choreas celibes
(Planctus III).
·
Planctus
Israel super Samson; inc.: Abissus vere multa (Planctus IV).
·
Planctus David
super Abner, filio Neronis, quem Ioab occidit; inc.: Abner fidelissime
(Planctus V)
·
Planctus David
super Saul et Jonatha; inc.: Dolorum solatium (Planctus VI).
In
surviving manuscripts these pieces have been notated in diastematic neumes
which resist reliable transcription. Only Planctus VI was fixed in square
notation. Planctus as genre influenced the subsequent development of the lai, a
song form that flourished in northern Europe in the 13th and 14th centuries. Melodies
that have survived have been praised as “flexible, expressive melodies that show
an elegance and technical adroitness that are very similar to the qualities
that have been long admired in Abelard’s poetry”.
Abelard juga dikenal sebagai seorang
penyair penting dan seorang komposer. Ia menulis beberapa lagu-lagu cinta yang
dipersembahkan untuk Heloise. Yang sekarang dinyatakan telah hilang, dan belum
teridentifikasi oleh departemen musik dunia. Heloise memuji lagu-lagu tersebut
melalui sebuah surat: “Pesona besar dan manis dalam bahasa dan musik, serta
melodi yang indah menyentuh hati, bahkan kepada yang buta huruf sekalipun”. Abelard
menyusun sebuah buku nyanyian rohani bagi warga masyarakat dimana Heloise
bergabung sebagai jemaat. Buku nyanyian rohani ini, ditulis sekitar tahun 1130,
berbeda dari buku nyanyian kontemporer, seperti yang ditulis oleh Bernard dari
Clairvaux, Abelard menggunakan bahan yang sama sekali berbeda dengan karya
Bernard, Abelard menulis lagu denga konsep baru dan homogen. Lagu-lagu tersebut
dikelompokkan berdasarkan kondisi, yang berarti bahwa relatif sedikit melodi
bisa digunakan. Hanya satu melodi dari himne ini bertahan “O quanta qualia”. Abelard
juga menulis enam kidung ratapan:
·
Ratapan Dinah, putri Yakub dari Yordania.
·
Ratapan tentang anak-anak Yakub.
·
Ratapan putri dara Jephtha Galaditis dari Israel.
·
Ratapan Samson dari Israel.
·
Ratapan Daud untuk Abner yang dibunuh oleh kaisar Nero.
·
Ratapan Daud, Saul dan Yonatan.
Melalui potongan-potongan manuskrip yang
masih tertinggal, lagu-lagu ini telah dinotasikan di “Neumes Diastematic” oleh seorang transkripsi handal. Hanya Ratapan
VI masih tetap seperti sedia kala. Kidung ratapan Abelard ini merupakan sebuah genre
yang berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari berbagai genre music
dan bentuk lagu yang berkembang di Eropa utara pada abad ke-13 dan ke-14.
H.
STRATEGI PENDIDIKAN
Scholastisisme merupakan sebuah metode
mengajar yang dipelopori oleh Abelardus. Metode mengajar tersebut terdiri atas metode
dialektik, metode ceramah, metode debat, dam metode observasi. Abelardus dalam
buku Sic et Non (Ya dan Tidak),
merumuskan sejumlah besar pertanyaan-pertanyaan tentang trinitas, penebusan dosa,
sakramen-sakramen dan topik-topik etika. Dalam satu kelompok ia memberikan
jawaban-jawaban “ya” dari pihak-pihak yang berwenang dan dalam kolom yang
berlawanan tercantum jawaban-jawaban “tidak”, tanpa ada usaha mendamaikannya.
Aturan-aturan untuk perdamaiannya diberikan dalam kata pengantar. Tujuan buku
tersebut adalah mendorong siswa untuk menyelidiki kebenaran. Penyelidikan
tersebut merupakan suatu cara mengajar. Cara menyelesaikan
kontradiksi-kontradiksi antara jawaban ya dan tidak tersebut merupakan metode
dialektika Abelardus.[20] Metode
Abelardus ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa. Metode
yang dipakai bertujuan untuk membentuk kelompok pro dan kontra terhadap suatu
materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan
menyimpulkan jawaban itu sendiri. Metode ini biasa disebut dengan “Sic et Non” (setuju atau tidak).[21]
I.
KONTRIBUSI BAGI PENDIDIKAN MASA KINI
Adapun manfaat dari teori Petrus Abelardus
adalah terbebasnya pemikiran-pemikiran yang dahulunya cenderung terbelenggu
oleh ajaran gereja menjadi bebas dalam berfikir. Teknologi dan ilmu pengetahuan
yang dapat kita pelajari sekarang ini adalah tidak lain merupakan akibat dari
kebebasan berfikir. Manusia bebas dalam menggunakan penalarannya dalam
berfikir.
Sumbangsih Abelardus juga terlihat dari
usahanya untuk mengembangkan sebuah gagasan filosofis yang dikenal sebagai
konseptualisme. Gagasan ini merupakan gagasan yang menengahi nominalisme dan
realisme. Alam semesta sebenarnya tidak memiliki arti dan makna, melainkan jiwa
yang mengonsepkan makna (dan nama benda-benda) di balik realitas sesungguhnya
dengan cara mendeteksi kesamaan benda yang ada. Contohnya kucing diidentikkan
dengan kaki empat, mata menyala, telinga lancip, bunyi “meow”, dan sebagainya.
Perspektif ini masih digunakan sampai saat ini dalam psikologi kognitif.
BAB III
KESIMPULAN
Petrus Abelardus merupakan seorang
filsuf skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan. Salah
satu pemikiran Abelardus yang terkenal di bidang etika adalah tentang kemurnian
sikap batin. Abelardus juga dikenal sebagai seorang penyair penting dan seorang
komposer. Abelardus juga menulis beberapa syair berupa kidung ratapan. Kidung
ratapan Abelardus ini merupakan sebuah genre yang berpengaruh terhadap
perkembangan dari berbagai genre musik dan bentuk lagu yang berkembang di Eropa
utara pada abad ke-13 dan ke-14.
Petrus Abelardus dianggap sebagai tokoh
yang berjasa membuka kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya “intelligo
ut credom” (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran Abelardus yang bercorak
nominalisme ditentang oleh gereja karena mengritik kuasa rohani gereja. Dalam
ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum
kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa
asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal
manusia sebagai pengukur dan penilai iman.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetya,
Joas: Berdamai dengan Salib (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2010).
Boehlke,
Robert R.: Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen,
Dari Plato Sampai Ig. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
Lagerlund,
Hendryk: Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500,
Volume 1 (Inggris: Springer Science & Business Media, 2010).
Lane,
Tony: Runtut Pijar: Sejarah Pendidikan Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007).
Marenbon,
John: The Oxford Dictionary of the Middle Ages (Oxford, England: Oxford
University Press, 2010).
Mudyaharjo,
Redja: Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).
Tjahjadi,
Simon Petrus L.: Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Wellem,
F.D.: Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987).
//www.academia.edu/4622542/Filsafat_Fenomenologi_Pragmatisme_Posmoderinisme
Civic
Education, Pemikiran Peter Abelard (civiceducation.blogspot.com)
https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/
http://hackz-zone.blogspot.co.id/2010/03/filsuf-abad-pertengahan.html
[2] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 1-3.
[3] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 127.
[4] Ibid, 128-129.
[5]
http://hackz-zone.blogspot.co.id/2010/03/filsuf-abad-pertengahan.html
[6]
//www.academia.edu/4622542/Filsafat_Fenomenologi_Pragmatisme_Posmoderinisme
[7]
http://tenriawali.blogspot.co.id/2012/03/universalisme.html
[8] Henrik Lagerlund, Encyclopedia of Medieval Philosophy:
Philosophy Between 500 and 1500, Volume 1 (Inggris: Springer Science &
Business Media, 2010), 934.
[9] Civic Education, Pemikiran-Pemikiran Peter Abelard
(civiceducation.blogspot.com)
[10] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen, Dari Plato Sampai Ig. Loyola (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006), 234.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 235.
[13] Joas Adiprasetya, Berdamai dengan Salib (Jakarta: Grafika
Kreasindo, 2010), 40-41.
[14] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 3.
[15]
https://id.wikipedia.org/wiki/Sic_et_non
[16] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 126.
[17]
https://id.wikipedia.org/wiki/Petrus_Abelardus
[18]
https://en.wikipedia.org/wiki/Peter_Abelard
[19] John Marenbon, The Oxford Dictionary of the Middle Ages
(Oxford, England: Oxford University Press, 2010), 2.
[20] Redja Mudyaharjo, Filsafat
Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 9.
[21]
https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar