Sabtu, 01 Juni 2013

SEMESTER 1 (SEJARAH AGAMA BUDDHA)

DAMPAK AGAMA BUDDHA TERHADAP INDONESIA
Diserahkan kepada:
Dosen: Letcredo Sinaga, M.Pd.K
Sebagai bagian dari Tugas Mata Kuliah
Theologi Agama-Agama


Nama Kelompok :
Roy Damanik
Liyani
Haposan Siallagan


SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA BASOM
October 2012



BAB I – PENDAHULUAN

1.      ASAL –USUL AGAMA BUDDHA
a.      SEJARAH AGAMA BUDDHA[1]
Sejarah agama Buddha  dimulai dari abad[2] ke-6 SM sampai sekarang,  dari lahirnya sang Buddha Siddharta Gautama[3]. Buddha adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Dalam perjalanannya Buddha masuk kepada unsur kebudayaan, seperti unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya , agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran tradisi Theravada[4] , Mahayana[5], dan Vajrayana[6] (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut 

2.      KEHIDUPAN BUDDHA[7] 
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya[8] pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya"). Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul[9] tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata dalam Sanskerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda. Keengganan Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya, pertama-tama aliran Buddha Nikaya[10], yang sekarang hanya masih tersisa Theravada[11], dan kemudian terbentuknya aliran Mahayana[12], sebuah gerakan Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru. Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.


BAB II – PEMBAHASAN

1.      PERKEMBANGAN DAN ALIAN AGAMA BUDDHA 

a.      KONSILI BUDDHA[13]
Dalam proses perkembangannya, Agama Buddha pernah melakukan konsili sebanyak 6 kali, 
                                                              i.      Konsili Buddhis I
Konsili ini diadakan di Gua Sattapanni, di sisi Gunung Vebhara, Rajagaha ibukota Magadha. Konsili tersebut dilaksanakan tiga bulan setelah Parinibbana[14] Sang Buddha dan disokong oleh Raja Ajatasattu. Konsili ini dilatar-belakangi oleh gagasan yang disampaikan oleh Bhikkhu Maha Kassapa agar para Bhikkhu mengadakan pertemuan untuk mengulang kembali ajaran yang di sampaikan Sang Buddha.


Gagasan tersebut muncul dalam diri Bhikkhu Maha Kassapa tidak lepas dari kata-kata kasar yang dilontarkan Bhikkhu Subbada ketika dalam perjalanan dari Pava menuju ke Kusinara bersama-sama dengan para Bhikkhu untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Sang Buddha. Bhikkhu Subbada berkata bahwa seharusnya para Bhikkhu senang karena dengan meninggalnya Sang Buddha maka tidak akan ada lagi yang mengekang mereka dan memberikan latihan-latihan yang keras dalam menjalankan ke-Bhikkhu-an bagi mereka. Hal itulah yang menjadi latar belakang diadakannya Konsili Buddhis I.


Pokok dari Konsili Buddhis I adalah dikumpulkannya Dhamma dan Vinaya, sehingga ajaran Sang Buddha dapat dilestarikan secara generasi ke generasi. Akan tetapi para Bhikkhu yang menamakan dirinya Bhikkhu Purusa yang baru tiba dari selatan setelah konsili tersebut berakhir menolak hasil konsili. Meskipun demikian hasil konsili ini tetap diterima sebagai ajaran murni dari Sang Buddha, dan hasil konsili ini menjadi dasar atau sumber utama dari Agama Buddha Mazhab Theravada hingga sekarang.


                                                            ii.      Konsili Buddhis II
Konsili ini diselenggarakan di Vihara Valukarama, dekat Kota Vesali 100 tahun setelah wafatnya Sang Buddha (443 SM). Raja Kalasoka menjadi penyokong dari konsili ini yang berlangsung selama delapan bulan.


Konsili tersebut diselenggarakan karena para bhikkhu Vajji dari Vesali mempunyai kebiasaan melatih sepuluh pokok (Dasavatthuni) yang tidak dibenarkan. Tujuh ratus orang Arahanta turut serta dalam konsili ini, dan dipimpin oleh Bhikkhu Sabbakami.


Dikatakan bahwa sebab diadakan konsili ini menyangkut perbedaan penafsiran ajaran, yang kemudian menjadikan Sangha terpecah menjadi dua yaitu, Mahasangika dan Sthaviravada. Pada Sthaviravada menekankan kepada perbedaan Vinaya, sedangkan Mahasangika menekankan kepada soal perpedaan penafsiran ajaran. Golongan Sthaviravada menyebut golongan Mahasangika sebagai Bhikkhu Papa (Bhikkhu Amoral), sedangkan golongan Mahasangika menangkis tuduhan melunakan Vinaya tersebut, golongan Mahasangika menyatakan berpegangan pada ajaran Sang Buddha mengenai penghindaran dua cara praktek ekstrim. Setelah konsili ini berakhir banyak bermunculan sekte-sekte dan aliran-aliran dalam agama Buddha.


                                                          iii.      Konsili Buddhis III
Konsili ini diselenggarakan di Vihara Asokarama di Pataliputta pada tahun 308 SM (235 Era Buddhis). Raja Asoka menjadi penyokong konsili ini. Konsili ini diadakan untuk melindungi kemurnian ajaran Sang Buddha agar tidak tercemar oleh 60 ribu kaum sesat yang menyusup ke dalam Sangha. Sebagai pimpinan konsili adalah Bhikkhu Moggaliputta Tissa, sedangkan peserta dalam konsili ini berjumlah 1000 orang Arahanta.


Hasil dari konsili ini adalah diusirnya ribuan Bhikkhu sesat dari Sangha, dan dikirimnya misionari Buddhis untuk menyebarkan Buddha Dhamma ke berbagai negeri. Selain itu dalam konsili ini kitab suci Tipitaka menjadi genap setelah diakuinya kitab Abhidhamma Pitaka.


                                                          iv.       Konsili Buddhis IV
Konsili ini diadakan di Vihara Aloka, Desa Matale/ Malaya di Sri Lanka pada 450 tahun Era Buddhis (101-77 SM). Raja Vattagamani Abhaya merupakan raja saat itu, konsili ini disokong oleh seorang menteri dari raja. Konsili ini disebut konsili Aluvihara atau konsili Alokavihara. Konon pada waktu itu kehidupan sedang kacau dan terus berkembangnya materialisme dan kemerosotan moral, sehingga para Bhikkhu sesepuh khawatir akan kelestarian Buddha Dhamma, selain itu Bhikkhu sesepuh juga mengkhawatirkan bahwa nanti tidak akan ada lagi Bhikkhu yang dapat menghafalkan Dhamma karena kemerosotan moral tersebut. Oleh sebab itu diadakan konsili ke IV ini.


Konsili ini dipimpin oleh Bhikkhu Rakkhita Mahathera dan diikuti oleh 500 Bhikkhu yang terpelajar, konsili ini berlangsung selama satu tahun. Dalam konsili ini Tri Pitaka ditulis pertama kali beserta komentarnya, disalin pada daun palem berbentuk tulisan yang merupakan sumber tertulis pertama kali ajaran Sang Buddha. Konsili ini tidak diakui oleh sebagian golongan, dan golongan yang tidak mengakui konsili tersebut menyelenggarakan konsili sendiri. Konsili tersebut diadakan di Purusapura, Khashmir pada tahun 78 M dipimpin oleh Vasumitra dan Asvaghosa. Konsili ini menjadi awal dari perkembangan Mahayana. Adapun yang menyokong konsili ini adalah Raja Kanishka.


Konsili ini tidak dihadiri oleh golongan Sthaviravada, dalam konsili ini diakuinya kitab Abhidhamma sebagai titik sentral dan kitab Jnanaprasthana sebagai sumber pengetahuan bagi golongan Sarvastivada. Selain kitab tersebut juga diakuinya kitab-kitab komentar untuk Jnanaprasthana yaitu, Vibhasa dan Maha Vibhasa. Kaum Sthaviravada adalah nenek moyang Mazhab Theravada, sedangkan Sarvastivad adalah pecahan Sthaviravada yang lebih condong menjadi penyebab timbulnya Mahayana.


                                                            v.      Konsili Buddhis V
Konsili ini diadakan di Mandalay, Myanmar pada tahun 2415 Era Buddhis (November 1871). Raja Mindon merupakan pendukung dan penyokong konsili ini. Konsili ini dipimpin oleh Bhikkhu Jagarabhivanmsa dan diikuti oleh 2400 Bhikkhu. Selama berlangsungnya konsili ini, kitab Tipitaka Pali dipahatkan pada 729 potongan batuan pualam, yang terdiri dari 410 potongan berisikan Sutta Pitaka, 111 potongan berisikan Vinaya Pitaka, dan 208 sisanya berisikan Abhidhamma Pitaka. Pemahatan itu dilaksanakan di daerah Pagoda Maha Lokamarajina Kuthodaw, di kaki Bukit Mandalay. Pemahatan berlangsung selama tujuh tahun, enam bulan, dan empat belas hari. Kemudian setelah selesai pemahatan itu para Bhikkhu yang mengikuti konsili tersebut mengucapakan ulang seluruh isinya (Tipitaka) selama lima bulan tiga hari.


                                                          vi.      Konsili Buddhis VI
Konsili ini diadakan diadakan di Gua Mahapasana, Kaba-Aye, Yangon, Myanmar pada Mei 1954. Konsili ini diadakan guna memurnikan dan memajukan Buddha Dhamma. Dua ribu lima ratus Bhikkhu terpelajar dari berbagai Negara ikut berpartisipasi dalam konsili ini. Bhikkhu Revata (Nyaung Yan Sayadaw) berperan sebagai pimpinan konsili tersebut, Bhikkhu Sobhana (Mahasi Sayadaw) sebagai penanya, dan Bhikkhu Vicittasarabhivamsa ( Mingun Sayadaw) sebagai penjawab. Dalam konsili ini Kitab Tipitaka Pali, Komentar (Atthakatha), dan Sub-komentar (Tika) ditinjau ulang. Konsili ini berlangsung selama dua tahun dan selesai bertepatan dengan 2500 tahun Maha-Parinibbana-Nya Sang Buddha


b.      WILAYAH AGAMA BUDDHA
Wilayah Agama Buddha meliputi beberapa wilayah, dalam proses perkembangannya, hingga saat ini, meliputi :
·         Asia Tenggara
·         Asia Timur
·         Tibet
·         India
·         Asia Tengah
·         Indonesia Barat


c.       [15]MASUKNYA AGAMA BUDDHA KE INDONESIA
Para ahli sejarah masih meneliti kapan sebenarnya agama Buddha masuk ke Indonesia. Namun banyak orang sependapat bahwa kedatangan Aji Saka merupakan tanggal kedatangan agama Buddha di Indonesia. Apabila kita meneliti arti kata "Aji Saka" ini, kita akan menemukan: "Aji" dalam bahasa Kawi berarti "ilmu kitab suci" sedang "Saka" berasal dari kata "Sakya". Sehingga "Aji Saka" dapat diartikan sebagai "Pakar dalam Kitab Suci Sakya" atau Pakar Buddha Dharma. Dari sini dapat diketahui bahwa Aji Saka sebenarnya bukanlah sebuah nama, tetapi sebuah gelar. Gelar ini diberikan rakyat kepada rajanya yang sebenarnya bernama Tritustha. Kata "Dewata" artinya dewa dan "Cengkar" artinya jahat, jadi "Dewata Cengkar" tidak lain berarti dewa jahat (awidya). Dengan demikian legenda yang telah merakyat di Jawa Tengah tentang perang dahsyat antara Aji Saka melawan Raja Dewata Cengkar, kiranya dapat diartikan sebagai perang antara Buddha Dharma melawan Kejahatan/Kebodohan (Awidya). Aji Saka bukan hanya pakar dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang pakar astronomi dan sastra. Dalam legenda Jawa dikatakan bahwa untuk menandai kekhilafan beliau dalam memberi perintah kepada dua orang panglimanya yang setia yang menyebabkan mereka berperang tanding sendiri dan keduanya gugur karena sama "jayanya", beliau membuat Aksara Jawa. Secara singkat dapat disusun kurang lebih perkembangan agama Buddha di Indonesia sebagai berikut:

Abad I (14 Maret 78),
Kedatangan Aji Saka Tritustha menandai masuknya Buddha di Indonesia 

Abad II, III, dan IV di Indonesia (Jawa) agama Buddha sudah berkembang.
Ini terbukti dari catatan-catatan Bhiksu Fa-hien yang datang ke Jawa pada abad V. Beliau menyatakan bahwa sewaktu beliau datang di Jawa agama Buddha sudah ada bersama-sama agama Hindu.

Abad IV dan V,
Bukti perkembangan agama Buddha dapat dilihat dari prasasti-prasasti kerajaan Purnawarman di Jawa Barat dan Mulawarman di Kalimantan.

Abad VII dan VIII
Jaman keemasan perkembangan agama Buddha di Jawa, di bawah raja-raja Kerajaan Mataram Purba dan Sailendra. Pada abad VII ini Candi Borobudur dibangun, pembangunannya dikatakan memakan waktu kira-kira delapan puluh tahun.

Abad VIII dan IX
Berdiri Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, di mana Bhiksu I-tsing pernah datang belajar agama Buddha dan bahasa Sanskerta.

Abad XI
Atisa Dipankara seorang bhiksu yang mengajarkan Vajrayana di Tibet, sewaktu mudanya juga belajar pada Bhiksu Dharmakirti di Swarnadwipa (Sumatera).

Tahun 1100-1478
Berdirilah kerajaan-kerajaan: Kediri, Singasari, Tumapel, Daha, Lumajang, dan Majapahit. Akhirnya Keprabuan Majapahit runtuh, berdiri Kerajaan Islam Demak (tahun 1481) dengan rajanya Raden Patah.
Agama Buddha kemudian "hilang" dan tidak pernah dibicarakan orang lagi, hanya peninggalan-peninggalan candi-candinya masih terus dikagumi orang.


Tahun 1901
Sanghanata Aryamula Maha Upadhyaya (Pen Ching Lau He Sang) datang ke Indonesia, mula-mula menata sejumlah vihara yang dibangun umat Buddha keturunan Tionghoa dan akhirnya membangun Vihara Kuang Hua Se Jakarta.


Tahun 1912
ajaran Theosofi masuk ke Indonesia dan di kalangan para anggotanya agama Buddha mulai kembali dipelajari. Kelak ternyata bahwa kebanyakan dari para aktivis agama Buddha pada Jaman Kemerdekaan belajar agama Buddha melalui Perhimpunan Theosofi selain dari Sam Kauw Hwee.


Tahun 1934
Narada Thera datang ke Jawa dan bersama umat Buddha menanam pohon Bodhi di halaman Candi Borobudur.
Tahun 19..
Kwee Tek Hoay menerbitkan majalah "Mustika Dharma".


Tahun 1953
(Waisak 2497) Anagarika Tee Boan An dan Drs. Khoe Soe Kiam memimpin upacara peringatan Waisak pada tanggal 22 Mei di Candi Borobudur. Dengan demikian api Buddha Dharma kembali menyala di Indonesia.


Tahun 1956
Diadakan Perayaan Waisak di Candi Borobudur. Perayaan Waisak ini merupakan perayaan yang besar, karena tahun itu tepat 2500 tahun mahaparinirvananya Sang Buddha (2500 Buddhajayanti). PUUI Semarang menerbitkan buku peringatan 2500 Buddhajayanti yang berisi banyak penerangan tentang agama Buddha, antara lain mengenai Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Perbedaan Hinayana dan Mahayana.


Tahun 1958

Terbentuklah Perbudhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia).

Tahun 1959
Untuk pertama kalinya sejak runtuhnya Majapahit, diadakan penahbisan bhikkhu di Indonesia. Untuk penahbisan ini, 13 (tiga belas) orang bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia. Dua orang bhikkhu yang ditahbiskan saat itu adalah Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.


Tahun 1963
Terbentuk Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan baik bhikkhu-bhikkhu Theravada maupun bhiksu-bhiksu Mahayana.


Tahun 1972
Nama Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) diubah menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI). Kemudian nama ini disempurnakan lagi menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia dengan singkatan tetap MUABI. Akhirnya pada tahun 1979 nama MUABI ini diubah menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).


Tahun 1974
Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia (terbentuk tahun 1972 dipimpin Bhikkhu Girirakkhito) bersatu dengan nama Sangha Agung Indonesia, nama yang diberikan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depertemen Agama RI. Sebagai Ketua Sangha Agung Indonesia adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dengan tiga orang wakil ketua, yaitu Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Girirakkhito, dan Bhikkhu Uggadhammo.


Tahun 1976
terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) sebagai wadah tunggal organisasi kemasyarakatan umat Buddha Indonesia yang melebur Perbudhi, Buddha Dharma Indonesia (Budhi), dan sebagainya. Terbentuk pula federasi dari beberapa majelis agama Buddha, yang diberi nama Majelis Agung Agama Buddha Indonesia (MABI). MABI diketuai oleh Soeparto Hs. dari Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi) dengan sekretaris Ir. T. Soekarno dari Niciren Syosyu Indonesia (NSI).


Tahun 1976
Terbentuk Sangha Theravada yang dipimpin oleh Bhikkhu Aggabalo.


Tahun 1978
Terbentuk Sangha Mahayana Indonesia yang dipimpin Bhiksu Dharmasagaro.


Tahun 1978
Diadakan Lokakarya Pemantapan Agama Buddha Berkepribadian Indonesia yang diikuti semua majelis agama Buddha di Indonesia.


Tahun 1979
Tepatnya tanggal 7-9 Mei, diadakan Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta yang melahirkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) sebagai federasi dari sangha-sangha dan majelis-majelis agama Buddha di Indonesia yang bersifat koordinatif dan konsultatif.


Tahun 1981
Terbentuk Sekretariat Bersama Generasi Muda Buddhis Indonesia (Sekber GMBI) yang merupakan konfederasi dari organisasi-organisasi pemuda di lingkungan vihara. Atas permintaan DP Walubi pada tahun 1985 Sekber GMBI berganti nama menjadi Sekretariat Bersama Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara Buddhayana Indonesia (Sekber PMVBI).


Tahun 1982
Terbentuk Sangha Tantrayana Indonesia dalam naungan Sangha Agung Indonesia, dipimpin oleh Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo.


Tahun 1983
Hari Waisak ditetapkan sebagai hari libur nasional.


Tahun 1986
Terbentuk Gemabudhi (Generasi Muda Buddhis Indonesia) sebagai wadah tunggal generasi muda Buddhis Indonesia dan tergabung di KNPI. Ketua Umum DPP Gemabudhi saat ini adalah Lieus Sungkharisma dari MBI.


Tahun 1987
Terbentuk KBWBI (Keluarga Besar Wanita Buddhis Indonesia) sebagai wadah tunggal wanita Buddhis Indonesia dan tergabung di Kowani.


Tahun 1987
Niciren Syosyu Indonesia (NSI) secara resmi dikeluarkan dari Walubi.


Tahun 1994
Sangha Agung Indonesia (Sagin) dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) juga memilih berada di luar Walubi. Sagin dan MBI konsisten dalam mempertahankan AD/ART Walubi hasil Munas II (1992) dan menolak AD/ART Walubi hasil Sidang Paripurna (1993).


Tahun 1994
terbentuk Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), dipimpin oleh Dra. Siti Hartati Murdaya, MBA.


Tahun 1996
terbentuk lima wadah fungsional di lingkungan Sekber PMVBI, yaitu: Ikatan Pembina Gelanggang Anak-anak Buddhis Indonesia (IPGABI), Forum Komunikasi Dharmaduta Muda Buddhis Indonesia (FKDMBI), Ikatan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Imabi), Forum Komunikasi Sarjana Buddhis Indonesia (FKSBI), dan Ikatan Pengelola Media Komunikasi Buddhis Indonesia (IPMKBI).


2.      ALIRAN AGAMA BUDDHA

a.      KONSEP AJARAN AGAMA BUDDHA[16]
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya. 


b.      TOKOH PENTING AGAMA BUDDHA
Tokoh Penting dalam Agama Buddha adalah Siddharta Gautama


c.       TINGKAT – TINGKAT PENCERAHAN[17]
Empat Tingkat Pencerahan dalam Buddhisme adalah empat tahap menuju pencerahan sempurna sebagai seorang Arahat yang dapat dicapai oleh seseorang pada kehidupan sekarang. Empat tingkatan ini adalah :


*Sotapanna
Tahap pertama adalah Sotapanna (dalam bahasa Pali) (Sanskerta: Srotāpanna), yang secara harafiah berarti "ia yang masuk (āpadyate) arus (sotas)," dengan pengertian arus yakni Jalan Utama Berunsur Delapan yang merupakan Dhamma tertinggi. Pemasuk arus juga dikatakan memiliki "Mata Dhamma" (Pali:dhammacakkhu ;Sanskerta: dharmacakṣus). Seorang pemasuk arus dijamin meraih pencerahan setelah tidak lebih dari tujuh kali kelahiran kembali, atau mungkin kurang. Pemasuk arus juga dapat berkeyakinan bahwa ia tidak akan terlahir dalam keadaan atau kelahiran (sebagai binatang, preta, atau di neraka). Ia hanya dapat dilahirkan kembali sebagai manusia atau di surga.


**Sakadagami
Tingkatan kedua adalah Sakadagami (dalam bahasa Pali:Sakadāgāmī ; Sanskerta:Sakṛdāgāmin) yang secara harafiah berarti "ia yang sekali (sakṛt) kembali(āgacchati)". Seorang kembali-sekali akan kembali ke alam manusia hanya satu kali lagi, dan meraih Nirwana dalam kehidupan tersebut.


***Anagami
Tingkatan ketiga adalah Anāgāmī (dalam bahasa Pali); (Sanskerta: Anāgāmin), yang secara harafiah berarti "ia yang tidak (an-) kembali (āgacchati)". Seorang yang tidak kembali lagi tidak kembali ke alam keberadaan manusia, atau dunia yang lebih rendah, setelah kematian. Akan tetapi, ia terlahir kembali di alam Rūpaloka yang disebut alam Śuddhāvāsa, atau "Indraloka", dimana ia akan mencapai Nirwana (dalam bahasa Pali dikenal dengan sebutan Nibbana), beberapa akan terlahir kedua kali di alam "Indraloka" yang lebih tinggi, tetapi tidak terlahir di tingkatan yang lebih rendah. Seorang Anāgāmī telah melepaskan lima belenggu rendah yang mengikat lingkaran akan kelahiran kembali. Seorang Anāgāmī dengan demikian telah tercerahkan sebagian, dan berada pada jalur pencerahan yang sempurna.


****Arahat
Tingkat keempat adalah Arahat, seorang manusia yang telah tercerahkan sepenuhnya, yang telah meninggalkan seluruh belenggu, dan pada saat meninggal (Sanskrit: Parinirvāṇa ; Pāli: Parinibbāna) tidak akan terlahirkan kembali di dunia manapun, dan telah meninggalkan Saṃsāra sepenuhnya


d.      SEKTE AGAMA BUDDHA[18]
Agama buddha memiliki banyak sekte,, beberapa dari sekte Agama Buddha tersebut seperti dibawah ini :
1. Theravadino (Theravada)
2. Vajjiputtaka (Vatsiputriya)
3. Mahimsasaka (Mahisasaka)
4. Dhammuttariya (Dharmotariya)
5. Bhaddayanika (Bhadrayanika)
6. Channagarika (Sannagarika)
7. Sammitiya (Sammitiya)
8. Sabbatthivada (Sarvastivada)
9. Dhammaguttika (Dharmaguptaka)
10. Kassapiya (Kasyapiya)
11. Sankantika (Samkrantika)
12. Suttavada (Sutravadin)
13. Mahasangitikaraka (Mahasanghika)
14. Gokulika (Kukkulika)
15. Ekabyoharika (Ekavyavaharika)
16. Bahussutaka (Bahusrutaka)
17. Pannatti-vada (Prajnaptivada)
18. Cetiya-vada (Caitika)


e.       KITAB SUCI AGAMA BUDDHA[19]
Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pali dan Sansekerta, terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai “pitaka” yang berarti “keranjang”, yaitu :
1. Vinaya Pitaka.
2. Sutta Pitaka.
3. Abhidhamma Pitaka.
Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka dalam bahasa Pali atau Tripitaka dalam bahasa sansekerta.Di antara kedua versi Pali dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravada


f.       FILOSOFI AGAMA BUDDHA[20]
Pengalaman pencerahan (Penerangan Sempurna) secara garis besar ada dua pendekatan. Yaitu: pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Pendekatan obyektif adalah untuk mengetahui apa-apa yang dinyatakan oleh Sang Buddha setelah memperoleh pengalaman itu dan memahaminya sebagai pembentukan dasar-dasar ajaran beliau. Pendekatan secara subjektif adalah mempelajari (examine) sabda-sabda Sang Buddha sebagai refleksi yang bersifat metafisika, maka pendekatan subjektif bersifat psikologi atau eksistensi. Dalam pendekatan objektif dapat diberikan contoh tentang pendapat yang beraneka ragam mengenai ajaran anatta (anatman) dari Sang Buddha yang merupakan ajaran tentang bukan-aku (non ego).


Dalam filsafat agama Buddha ini terdapat satu istilah yang penting yaitu Panna (Pali) atau Prajna (Sansekerta). Dalam Bahasa Inggris: "kebijaksanaan'", makna yang terkandung dalam istilah di atas adalah melihat atau memahami pencerahan/penerangan sempurna itu dilakukan melalui "mata/panna/prajna". Pengalaman Pencerahan (Penerangan Sempurna), Dalam bahasa kias dikatakan bahwa untuk dapat mencapai pantai seberang dari samsara, diperlukan "mata panna/prajna". Dan pantai seberang itu akan terlihat sebagai Kusunyataan (Ultimatum Reality). Segala sesuatu dilihat sebagai sedemikian atau secara murni dan benar. Hal tersebut akan dicapai oleh siapapun juga yang pikirannya terbebas dari segala sesuatu (sabbattha vimuttamanasa), tidak terikat pada kelahiran dan kematian, tidak lagi hanyut dalam ketidak-kekalan masa lalu-kini-yang akan datang.


BAB III - HUBUNGAN DENGAN AGAMA LAIN

1.      HUBUNGAN DENGAN KRISTEN[21]

Hubungan antara Kristen dan Buddha, dijabarkan melalui dua sisi, yakni pengalaman hidup identik, dan ajaran identik,

Pengalaman Hidup Identik
i)        Buddha lahir dari Mahamaya perawan, yang dianggap sebagai "Ratu Surga." Dekan Milman, dalam bukunya "Sejarah Kristen," menyatakan bahwa "Buddha, menurut sebuah tradisi yang dikenal di Barat, dilahirkan dari seorang perawan" (Vol. I, hal 99, catatan). Maria dan Mahamaya semua melahirkan anak mereka di antara orang asing. Dia dikunjungi oleh orang bijak yang mengakui keilahian anak. Dia dari keturunan kerajaan dan kelahirannya diumumkan oleh bintang.
ii)      Misi dari Buddha dan Yesus diproklamasikan oleh suara dari surga.
iii)    Buddha "sekitar 30 tahun" ketika dia memulai pelayanannya. Dia berpuasa "tujuh kali tujuh malam dan hari." Dia memiliki "band murid" yang menemaninya. Ia berkelana dari satu tempat ke tempat dan "diberitakan kepada orang banyak yang besar
iv)    Buddha merumuskan perintah-perintah berikut. "Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbohong, tidak berzinah, untuk tidak menggunakan minuman keras." Ini adalah pengajaran yang sama yang diucapkan Yesus: "Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu." (Lukas 18:20)
v)      Seorang pelacur bertobat, Maria Magdalena, mengikuti Yesus. Seorang pelacur bertobat, Ambapali, diikuti Buddha.
vi)    Dia mengajarkan kesucian, kesederhanaan, toleransi, kasih sayang, cinta, dan kesetaraan semua.
vii)  Keduanya menyatakan kerajaan bukan dari dunia ini. Kehidupan abadi yang dijanjikan oleh Kristus sesuai dengan kedamaian abadi, Nirvana, yang dijanjikan oleh Buddha.
viii)            Keduanya dimuliakan di mount.
ix)    Keduanya membuat entri kemenangan, Kristus ke Yerusalem, dan Buddha ke Rajagriba.
x)      Buddha adalah untuk kembali ke bumi lagi untuk mengembalikan dunia untuk ketertiban dan kebahagiaan.
xi)    Dia adalah hakim orang mati.


Ajaran Identik
i)        "Apakah kepada orang lain seperti Anda ingin mereka lakukan padamu." (Lukas 6:31) "Pertimbangkan orang lain seperti dirimu sendiri." (Dhammapada 10:1)
ii)      "Jika seseorang menampar pipi, menawarkan lain juga." (Lukas 6:29)
"Jika ada yang harus memberikan pukulan dengan tangannya, dengan tongkat, atau dengan pisau, Anda harus meninggalkan segala keinginan dan mengucapkan kata-kata yang jahat tidak ada." (Majjhima Nikaya 21:6)
iii)    "Masukkan pedang itu kembali ke tempatnya, karena semua orang yang mengambil pedang akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52)
"Meninggalkan mengambil kehidupan, pertapa Gautama berdiam menahan diri dari mengambil hidup, tanpa tongkat atau pedang." (Digha Nikaya 01:01:08)
iv)    "Inilah perintah-Ku, bahwa kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu Tidak ada yang kasih yang lebih besar dari ini, untuk meletakkan kehidupan seseorang untuk teman seseorang.." (Yohanes 15:12-13)
"Sama seperti seorang ibu akan melindungi anak satu-satunya dengan risiko hidupnya sendiri, meskipun demikian, menumbuhkan hati yang tak terbatas terhadap semua makhluk Biarkan pikiran Anda cinta tak terbatas meliputi seluruh dunia.." (Sutta Nipata 149-150)
v)      "Berbahagialah kamu yang miskin, untuk Anda adalah kerajaan Allah." (Lukas 6:20)
"Marilah kita hidup yang paling bahagia, memiliki apa-apa, mari kita makan sukacita, seperti dewa berseri-seri." (Dhammapada 15:4)
vi)    "Jika Anda ingin menjadi sempurna, pergi menjual harta benda Anda, dan memberikan uang kepada orang miskin, dan engkau akan beroleh harta di surga." (Matt.19: 21)
"Para tamak tidak pergi ke surga, orang bodoh tidak memuji amal Yang bijaksana,. Namun, bersukacita dalam amal, menjadi demikian bahagia dalam di luar." (Dhammapada 13:11)
vii)  "Setiap orang yang hidup dan percaya pada saya tidak akan pernah mati." (Yohanes 11:26)
"Mereka yang memiliki iman yang cukup dalam diriku, cinta yang cukup bagi saya, semua menuju surga atau di luar." (Majjhima Nikaya 22:47)
viii)             "Serigala punya liang, dan burung-burung di udara memiliki sarang, tetapi Anak Manusia memiliki tempat untuk meletakkan kepalanya." (Matius 8:20)
"Para bijaksana mengerahkan diri mereka sendiri, mereka tidak senang tinggal suatu Seperti angsa yang telah meninggalkan danau mereka meninggalkan rumah mereka dan rumah.." (Majjhima Nikaya)
ix)     "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah." (Mat. 5:8)
"Siapa pun yang masuk ke dalam meditasi pada kasih sayang dapat melihat Brahma dengan matanya sendiri, berbicara dengan dia muka dengan muka dan berkonsultasi dengannya." (Digha Nikaya 19:43)
x)       "Meskipun pintu ditutup, Yesus datang dan berdiri di antara mereka." (Yohanes 20:26)
"Dia pergi tanpa hambatan melalui dinding." (Anugattara Nikaya 3:60)
xi)    "Dan setelah enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, dan Yakobus, dan Yohanes, dan membawa mereka naik ke sebuah gunung yang tinggi oleh mereka sendiri: dan dia berubah rupa di depan mereka, dan pakaiannya menjadi bersinar, putih seperti salju melebihi, maka karena tidak ada lebih lengkap di Bumi dapat putih mereka. " (Markus 9:2-3)
"Ananda, setelah diatur satu set jubah emas pada tubuh Tuhan, mengamati bahwa terhadap tubuh Tuhan itu muncul tumpul Dan dia berkata,." Sangat mengagumkan, Tuhan, suatu perbuatan ajaib bagaimana kulit Tuhan jelas dan terang muncul! Ini terlihat lebih cerah daripada jubah keemasan di mana ia berpakaian "(Digha Nikaya 16:04:37).


2.      HUBUNGAN DENGAN ISLAM[22]

Sang Buddha dalam Al Quran.

Tidak ada kata-kata “Buddha” dalam Al Quran, namun para sejarawan dan peneliti mengaitkan beberapa ayat Al-Quran dengan Sang Buddha.
Demi (buah) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (Quran Surat at-Tin (95) : 1)
Buah Zaitun melambangkan Yerusalem, Yesus dan Kristianitas.
Bukit Sinai melambangkan Musa dan Yudaisme.
Kota Mekah menyimbolkan Islam dan Muhammad.
Lantas pohon Tin (fig) melambangkan apa?


Tin = fig = Pohon Bodhi.


Pohon Bodhi adalah tempat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna. Ada penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga mengatakan bahwa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Quran ini merepresentasikan Sang Buddha, sehingga menunjukkan bahwa Sang Buddha diakui sebagai nabi di dalam agama Islam. Hamid Abdul Qadir, sejarawan abad 20 mengatakan dalam bukunya :
“Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya” (Arabic: Budha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), bahwa Sang Buddha adalah nabi Dhul Kifl, yang berarti “ia yang berasal dari Kil”. Nabi Dhul Kifl disebutkan 2 kali dalam Quran:
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. QS. al-Anbiya (21) : 85
Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baikQS. Shad (38) : 48
“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu, tempat kelahiran Sang Bodhisattva. Mawlana Abul Azad, teolog Muslim abad 20 juga menekankan bahwa Dhul Kifl dalam Al Quran bisa saja adalah Buddha. Pandangan para tokoh Muslim pada Sang Buddha dan Teks-teks Buddhis di Dunia Muslim Sejarawan Muslim yang terkenal, Abu Rayhan Al-Biruni (973–1048) yang pergi ke India dan menetap di sana selama 13 tahun untuk mengenal bangsa India dan mempelajari teks-teks Sansekerta mendefinisikan Sang Buddha sebagai seorang nabi. Pada waktu dinasti Ghaznavid, sejarawan Persia Al Biruni menemani Mahmud dari Ghazni pada abad 11 M di mana Mahmud menyerang India. Dalam buku Sejarah India (Kitab al-Hind) yang ditulisnya, Al Biruni memuji Sang Buddha dan ajarannya. Al Biruni juga menulis sebuah teks yang berkisah tentang ukiran Buddha di Bamiyan. Ibn al-Nadim (995 M), penulis kitab Al-Fihrist, berkata: Orang-orang ini (Buddhis di Khurasan) adalah yang paling dermawan di antara seluruh penghuni bumi dan semua kaum agama. Ini dikarenakan nabi mereka, Budhasaf (Bodhisattva) telah mengajarkan pada mereka bahwa dosa yang terbesar, di mana tidak diperbolehkan untuk berpikir atau melakukan, adalah perkataan “tidak”. Maka dari itu mereka bertindak sesuai anjuran-Nya dan mereka menmganggap perkataan “tidak” sebagai tindakan Satan. Inti ajaran agama mereka (Buddha) adalah untuk membasmi Satan.
Sejarawan Muslim bernama Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (839-923 M), menyebutkan bahwa rupang-rupang Buddha dibawa dari Kabul, Afghanistan ke Baghdad pada abad ke-9 M. Juga dilaporkan bahwa rupang-rupang Buddha dijual di sebuah vihara Buddhis dekat masjid Makh di pasar kota Bukhara (Uzbekistan). Pada abad ke-9 M, seorang dari Baghdad menterjemahkan kisah Sang Buddha ke dalam bahasa Arab yaitu dalam Kitab al Budasaf wa Balawhar yaitu “Buku Bodhisattva dan (gurunya) Balawhar” yang ditulis Aban Al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Teks ini kemudian diterjemahkan lagi dalam bahasa Yunani dan Georgia, terkena pengaruh Kristiani dan akhirnya menjadi Kisah St. Barlaam dan Josaphat.
Catatan sejarah Muslim tentang agama Buddha dapat ditemukan di Kitab al-Milal wa Nihal yang berarti “The Book of Confessions and Creeds” yang ditulis oleh Muhammad al-Shahrastani (1076–1153 M) di Baghdad pada masa Dinasti Seljuk. Kitab sejarah yang ditulis oleh Al-Shahrastani tersebut adalah kitab yang paling akurat dalam dunia pendidikan Muslim ketika menjelaskan agama Buddha di India. Al-Shahrastani menjelaskan agama Buddha sebagai agama “pencarian kebenaran dengan kesabaran, memberi dan ketidakmelekatan” yang “dekat dengan ajaran Sufi (mistisisme Islam)”. Al-Shahrastani memperbandingkan Sang Buddha dengan Al Khidr (Eliyah), tokoh dalam Al-Quran, sebagai dua orang yang sama-sama mencari pencerahan. Al-Shahrastani juga memperbadningkan Buddha dengan Bodhisattva (Budhasf). Ia memberikan catatan yang mendeskripsikan penampilan dari para Buddhis (asahb al bidada) di India dan memberikan perhatian yang lebih tentang agama Buddah di India beserta ajaran-ajarannya.
Di dalam dunia Arab, juga muncul kitab riwayat Buddha yang bernama Kitab Al-Budd. Kitab Al-Budd ini didasarkan atas kitab Jatakamala dan Buddhacarita. Pada abad ke-8 M, Caliph al-Mahdi, dan Caliph al-Rashid mengundang para pelajar Buddhis dari India dan Nava Vihara di Balkh ke “Rumah pengetahuan” (Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Ia memerintahkan para pelajar Buddhis untuk membantu penerjemahan teks-teks pengobatan dan astronomi dari Sansakerta ke bahasa Arab. Ibn al-Nadim pada abad ke 10 M, Buku Katalog (Kitab al-Fihrist), juga memberikan daftar teks-teks Buddhis yang diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti Kitab Al-Budd (Buku Sang Buddha). Keluarga Barmakid mempunyai pengaruh di istana Abbasid sampai pada pemerintahan Caliph Abbasid yang keempat, Harun al-Rashid (r. 786-809 M) dan perdana menterinya yaitu Yahya ibn Barmak adalah cucu Muslim dari salah satu kepala administrator Buddhis dari Nava Vihara di Balkh, Afghanistan. Yahya mengundang para pelajar Buddhis, terutama dari Kashmir untuk datang ke “Rumah pengetahuan” di Baghdad. Tidak ada kitab-kitab ajaran Buddha yang diterjemahkan dari Sansekerta ke bahasa Arab. Namun lebih fokus terhadap penterjemahan teks-teks pengobatan Buddhis seperti Siddhasara yang ditulis Ravigupta. Penulis Umayyad Arab yang bernama Umar ibn al-Azraq al-Kermani tertarik untuk menjelaskan agama Buddha pada penonton Islam. Pada permulaan abad ke-8 M, ia menulis sebuah catatan yangs angat detail tentang Nava Vihara di Balkh, Afghanistan dan tradisi Buddhis di sana. Ia menjelaskan dengan memperlihatkan kesamaannya dengan agama Islam. Maka dari itu ia mendeskripsikan vihara tersebut sebagai sebuah tempat yang di tengahnya terdapat kotak batu (stupa) yang ditutupi kain dan para umat bersujud dan bernamaskara, mirip seperti Kabah di Mekah. Tulisan-tulisan Al-Kermani tersimpan dalan karya abad 10 M yaitu dalam “Buku Lahan” (Kitab al-Buldan) yang ditulis oleh Ibn al-Faqih al-Hamadhani.
Al-Ihranshahri (abad 9 -10 M) memberikan detail kosmologi Buddhis namun hilang dan beberapa digunakan oleh Al-Biruni. Penulis Kitab al-bad wa-‘l-ta’ rich yang ditulis pada tahun 966 M mendeskripsikan tentang ajaran Buddha tentang kelahiran kembali. Ibn al Nadim menyebut Budhasf (Bodhisattva) sebagai nabi darti Sumaniyya (Sramana) yang berarti para bhiksu Buddhis. Sujmaniyya ini dijelaskan oleh kaum Muslim sebagai masyarakat agama yang tinggal di Timur sebelum kedatangan agama-agama yang diwahyukan, yang berarti di Negara Iran sebelum kemunculan Zarathustra, India dan Tiongkok. Agama Buddha sebagai Sumaniyya dijelaskan oleh umat Muslim pada saat itu sebagai agama penyembah berhala dan penganut paham kekekalan, kosmologi particular dan tumimbal lahir (tanasukh al-arwah). Agama Sumaniyya juga dideskripsikan sebagai agama yang skeptis, menolak argument (nazar) dan pemikiran logis (isitidlal). Klaim ini sungguh aneh, karena agama Buddha tidak menolak argument sama sekali, bahkan dalam agama Buddha ditekankan pemikiran yang logis.
Catatan Kamalashri tentang agama Buddha, ada di bagian akhir Jami al-Tawarikh atau Sejarah Dunia dari Rashid al-Din (1247 - 1318), yang mendeskripsikan secara menyeluruh, dan karya tulis ini ditulis oleh seorang Buddhis dengan menunjukkan banyak aspek-aspek legendaris.


3.      HUBUNGAN DENGAN HINDU[23]

Dalam Hindu, Buddha dipandang sebagai avatara ke-9. Setelah masa Krisna. Ia adalah perwujudan dari Visnu untuk menegakkan kembali kebenaran yang telah banyak dinodai oleh kebatilan. Beliau lahir dari seorang ayah yang beragama Hindu (Sanathana Dharma) dan meninggalpun sebagai seorang penganut Sanathana Dharma. Beliau adalah seorang pangeran dan pertapa Hindu yang berhasil mencapai pencerahan (Buddha). Beliau mengejawantahkan inti sari pati Veda. Beliau sangat dekat dengan rakyat dan kaum miskin. Bahasa yang digunakan dalam penyebaran ajaran-ajaran Beliau, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kaum fakir miskin. Beliau menolak ketika murid-murinya yang dari kaum Brahmana memohon ujin untuk menterjemahkan dalam bahasa Sanskertha.
Bahkan suatu ketika Beliau rela menukar nyawanya dengan seekor domba saat ada orang yang ingin mengorbankan domba untuk persembahan, Beliau mengatakan: “Bila dengan membunuh domba engkau bisa mencapai realisasi, maka bunuhlah aku dengan mengorbankan manusia tentu engkau akan mendapatkan tempat yang lebih mulia”..


The Buddha’s teaching formed an integral part of Hinduism, which “owes on eternal debt of gratitude to that great teacher,” who was “one of the greatest Hindu reformers,” a “Hindu of Hindus.” He never rejected Hinduism but broadened its base. He made some of the words of the Vedas yield meanings more relevant to the age. (Mahatma Ghandi)


Ghandi memandang Buddha adalah Hindu of Hindus, Beliau tidak pernah menolak Hindu, tetapi Beliau menafsirkan Hindu dengan sudut pandang yang berbeda yang lebih luas. Beliau menjelaskan Veda dengan kata-kata yang sesuai dengan Jamannya. Beliau memiliki cinta kasih yang luar biasa, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Senantiasa memberikan contoh nyata dalam kehidupan, Beliau mengajrkan pada kita bagaimana menjadi seorang Karma Yogi sejati. “Do Good Be Good” Lakukan yang baik dan jadilah orang baik, salah satu nasehat Beliau pada umat manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan. Buddha mengajak kita jangan terlalu mudah percaya pada segala sesuatu, tetapi selalu melakukan penyelidikan untuk mengetahui kebenarannya. Bila sesuatu itu bermanfaat bagi dirimu dan orang lain serta dunia, nah itulah yang kamu terima dan jalani. Tapi kalo hal itu menyebabkan penderitaan bagi dirimu dan orang lain, hindarilah hal itu. Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").


Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri. Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta). Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.


Dr. Radhakrishnan. Dalam bukunya ''Indian Religious'', ia menulis: 'Agama Buddha tidak mulai sebagai agama yang baru dan berdiri sendiri. Agama Buddha adalah bagian kepercayaan kuno agama Hindu...''(hal.104). Selanjutnya Beliau menulis: Buddha meninggalkan jejak kakinya di atas tanah India dan capnya pada jiwa negara tersebut dengan berbagai kebiasaan dan keyakinannya. Pada saat ajaran Buddha mengambil bentuk-bentuk khusus di berbagai negara lain di dunia dalam penegasan tradisi-tradisi mereka di sini, di rumah Buddha, ajaran tersebut telah meresap dan menjadi bagian utuh budaya kita. Para Brahmana dan Sramana diperlakukan sama oleh Buddha dan kedua tradisi tersebut berangsur-angsur bercampur. Dalam artian Buddha adalah pencipta agama Hindu modern. Dalam kata pengantarnya, Bhupendra Kumar Modi menulis, ''Perlu ditekankan bahwa Bhagavan Buddha adalah bagian tradisi keagamaan Hindu dan tidak terlepas dari agama Hindu. Bhagavan Buddha lahir sebagai orang Hindu dan sampai meninggal beliau tetap seorang Hindu yang menafsirkan agama Hindu dari sebuah sudut pandang yang baru.''


Hinduisme tidak bisa hidup tanpa Buddhisme, demikian pula sebaliknya Buddhisme tidak bisa hidup tanpa Hinduisme. Kemudian menyadari apa yang memisahkan yang terlihat oleh kita, bahwa Budhisme tidak dapat berdiri tanpa otak dan filsafat dari para Brahmin, demikian pula para Brahmin tidak dapat berdiri tanpa hati Buddhisme. Pemisahan antara Buddhisme dan Brahmin inilah penyebab kemerosotan India. Di Indonesia, Hindu dan Buddha telah melebur menjadi satu melahirkan sebuah Negara yang kuat dimasa keemasan Prabu Hayam Wuruk (Hindu) dengan patihnya Gajah Mada (Buddha). Mpu Tantular dalam karyanya Sutasoma menuliskan: “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”  


4.      HUBUNGAN DENGAN KONGHUCU[24]

Konghucu ajarannya lebih mengarah kepada hubungan sosial kemasyarakatan yg penekanannya kepada Etika, Moral serta keserasihan di masyarakat. Buddha ajaranya lebih mengarah kepada diri sendiri atau pengenalan ke dalam diri dengan tujuan akhir jika sudah mengenal "Diri" sendiri maka Etika, moral dll dengan sendirinya di dapatkan. Kongco ===> pangilan untuk seseorang yg di "tua" kan /dihormati dan biasanya usianya sudah "lanjut" tentunya dari sisi asam garam kehidupan sudah banyak di dapatkan olehnya. Budhis ====> pangilan umat buddha


BAB IV - PENGARUH AGAMA BUDDHA DALAM NKRI

1.      PENGARUH POSITIF[25]
a.      Berdirinya kerajaan-kerajaan seperti : Kerajaan Melayu, Sriwijaya.
b.      Cerita Mahabarata dan Ramayana yang intinya kejahatan pasti dapat di kalahkan oleh kebajikan.
c.       Bidang Kesenian Arsitektur (seni bangunan) Borobudur, Mendut, Kalasan, Pawon, Sari dan Muara Takus. Wayang, tari, patung/ukiran.
d.      Tari: Tari Bali.
e.       Patung/ukiran: Relief candi borobudur.
f.       Bidang Sastra dan Bahasa : karya-karya sastra Jawa kuno, Huruf Nagari (dari India), Huruf Bali kuno (dari Indonesia).


b)     PENGARUH NEGATIF[26]
i)        Bidang Sosial, Buddha berpengaruh terhadap sistem kemasyarakatan dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan asli Indonesia, masyarakat Indonesia tersusun dalam kelompok-kelompok desa yang dipimpin oleh kepala suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran Hindu-Buddha,
ii)      Bidang sosial, Dikenalnya stratifikasi pada masyarakat yang didasarkan pada sistem kasta
iii)    Bidang politik sistem pernerintahan kerajaan, Raja sebagai penguasa diangkat secara turun-temurun..


BAB V – KESIMPULAN

Dalam agama Buddha berbagai objek penghormatan yang terdapat pada altar Buddha bukanlah sebagai media pemujaan terhadap Buddha. Buddha atau makhluk mana pun tidak dapat mengabulkan permintaan seseorang atau pun melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Semua harapan akan hal-hal yang baik tersebut apakah dibacakan dalam bentuk doa atau paritta akan terjadi bergantung pada faktor keyakinan, karma, dan kekotoran batin diri sendiri. Semuanya hanyalah sebagai pengingat akan ajaran Buddha, selain untuk menunjukkan seakan-akan Buddha yang telah wafat lebih dari 2500 tahun lampau hadir di tengah-tengah para umat-Nya.
Sebagai penutup tulisan ini, kami ingin memberikan kutipan kata-kata Sang Buddha tentang cara penghormatan yang benar terhadap Beliau saat menjelang wafat-nya:


“Pohon sala kembar sekarang sedang penuh dengan bunga meskipun sekarang bukan musimnya untuk berbunga, dan bunga-bunga tersebut jatuh bertaburan di atas tubuh Sang Buddha sebagai penghormatan kepada Sang Buddha…. Namun demikian, Ananda, bukan ini caranya memberikan penghormatan tertinggi kepada Sang Buddha. Tetapi, Ananda, bila seorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika berpegang teguh pada Dharma, hidup sesuai dengan Dharma, bertindak sesuai dengan Dharma, maka orang-orang tersebut sesungguhnya telah memberikan penghormatan tertinggi kepada Sang Buddha.” (Mahaparinibbana Sutta)


Dengan demikian, segala ritual atau upacara Buddhis lengkap dengan pembacaan paritta di depan altar Buddha walaupun dapat membangkitkan perasaan keyakinan religius tertentu pada diri seorang Buddhis, namun sesungguhnya ini bukan penghormatan tertinggi kepada Buddha sebagai guru junjungan agung. Penghormatan tertinggi hanyalah dapat dilakukan dengan menjalankan ajaran Beliau dalam kehidupan sehari-hari sesuai petunjuk Buddha sesaat sebelum wafat-Nya di atas.


DAFTAR PUSTAKA
10.                        http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5304.15
12.                        http://samuderahati.8forum.net/t92-beda-konghucu-buddha
13.                        http://arifmasduki.blogspot.com/2011/12/masuknya-budaya-hindu-budha-ke.html



[2] masa seratus tahun
[3] Sang buddha atau figur utama dalam agama Buddha
[4] "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu", merupakan ajaran tertua Agama Buddha yang masih bertahan
[5] Ajaran buddha yang merujuk kepada tingkat motifasi spiritual
[6] merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan   dalam hal filosofi. Dalam ajaran Wajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi
[8] Sebuah komuniti suku di Nepal
[9] Berjanji hendak atau berNazar
[10] Aliran buddha yang mempercayai buddha si penemu kebenaran
[11] Point 2.a.
[12] Point 2.a.
[14] Peringatan 10 tahun kematian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar