Rabu, 11 Desember 2013

SEMESTER 3 (MISI LINTAS BUDAYA - ADAT)

TUGAS – II

“PERKENALAN ADAT-ISTIADAT
DAN PENGARUHNYA ATAS INJIL”
Mangokkal Holi (Penggalian Tulang-Belulang)
Di Tanah Batak


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah
MISI LINTAS BUDAYA
Yang Dibina Oleh :
Debora Y.S. Kim, M.A

Nama : Roy Damanik
NIM : 2012.86208.04
Prodi : PAK

SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA BASOM
Komp. Jodoh Park No. 17 Sei Jodoh Batam
TRADISI MANGOKKAL HOLI

Orang Batak Toba di Sumatra Utara dianggap sampai pada taraf hidup yang ideal jika telah memenuhi tiga hal. Tiga hal tersebut adalah : Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hamoraon, berarti kekayaan material, seorang Batak dianggap telah sukses hidupnya jika mempunyai kekayaan material yang berlimpah atau paling tidak cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Hasangapon, berarti kehormatan marga, keturunan dan status sosial, ketiga hal ini sangat erat hubungannya dengan pekerjaan atau peran-peran strategis yang dimiliki sehingga bisa dianggap sebagai orang yang terhormat. Hagabeon, berarti memiliki keturunan yang banyak, anak dalam masyarakat Batak Toba adalah tolak ukur kesuksesan dan salah satu bentuk penghargaan tersendiri. Ketika seorang Batak telah dianggap sampai kepada tiga hal ini, orang Batak mempunyai kewajiban untuk mengangkat martabat keluarganya atau marganya dengan menghormati orangtua dan para leluhur. Salah satunya dengan melaksanakan ritual mangokkal holi.

MANGOKKAL HOLI
Mangokkal Holi adalah sebuah tradisi unik yang dimiliki suku Batak Toba. Tradisi membongkar kembali dan memindahkan tulang belulang ketempat yang dianggap lebih layak ini telah berlangsung sejak zaman nenek moyang suku bangsa Batak. Tradisi ini adalah tradisi langka yang harus dilestarikan. Mangokkal Holi diselenggarakan dengan ritual atau upacara. Vano Manalu mengatakan bahwa seorang Batak wajib mengadakan ritual atau upacara mangokkal holi jika salah seorang anggota keluarga yang masih hidup “dikunjungi” (lewat mimpi atau pengalaman indrawi lainnya) oleh salah seorang anggota keluarga yang telah meninggal. Jagad spiritual Batak Toba mempunyai pandangan bahwa dunia terbagi menjadi tiga bagian yaitu : banua ginjang, banua tonga dan banua toru.
Banua ginjang, adalah tempat bernaungnya dewa/debata. Banua tonga, adalah tempat tinggal manusia dan binatang. Lalu Banua Toru adalah tempat bersemayamnya makhluk halus, jin dan naga. Selain pembagian dunia, roh-roh dalam masyarakat Batak Toba juga terbagi menjadi tiga yaitu, tondi, sahala dan begu. Tondi, adalah roh atau nyawa yang menyatu dalam tubuh manusia. Setiap tondi pada individu mempunyai nasibnya masing-masing. Sahalaadalah kekuatan atau daya yang dimiliki tondi, terkait dengan nasib yang dipilih tondi. Begu, adalah istilah yang dipakai untuk menyebut “arwah” atau makhluk halus.
Penghormatan nenek moyang dalam masyarakat Batak Toba juga dibagi menjadi tiga yaitu, mangalaptondi, mengupa tondi dan mangokkal tondi. Konsep ini berpengaruh pada kehidupan sehari-hari masyarakat Batak toba. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan hidup, namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan. Kepercayaan tersebut diwujudkan dalam tradisi mangokkal holi ini. Salah satu tujuan tradisi ini adalah untuk mencapai hasangapon.

PROSESI MANGOKKAL HOLI
Kerangka dikeluarkan dan dibersihkan oleh adik perempuan mendiang dengan menggunakan jeruk purut. Sinar matahari yang mengenai kerangka dianggap sebagai interaksi terakhir mendiang dengan banua tonga. Lalu kerangka dikuburkan kembali ditempat termulia bagi jiwanya. Penguburan kedua ini ditempatkan ditempat yang istimewa biasanya berupa tugu atau prasasti. Tugu atau prasasti adalah bentuk penghormatan kepada tondi mendiang. Lalu ritual dilanjutkan dengan mencari borotan atau kayu penambat kerbau persembahan dari kayu sari marnaek yang berasal dari pohon lalas. Kayu sari marnaek dipilih karena dipercaya melambangkan seluruh rejeki dari tanah akan naik, sehingga memberikan kemakmuran. Kayu ini berfungsi sebagai tiang borotan yang ditanam di depan rumah leluhur. Tiang borotan ini juga berfungsi sebagai tiang hewan yang akan dikurbankan. Kain putih dikibarkan atau dipasang di pucuk tiang borotan sebagai lambang kesucian. Selain kain putih, juga ada ulos pengiring dengan maksudnya berkah yang tanpa putus akan terus mengiringi setiap keturunan mendiang. Selain kain putih dan ulos pengiring, daun silinjuang juga dipasang sebagai doa agar setiap generasi akan menang melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan. Setelah kayu borotan ditancapkan, kerbau atau hewan persembahan ditambat ke tiang borotan. Sebelum kerbau dipersembahkan untuk pesta, ada ritual mangkarihiri horbo. Ritual ini hanya ritual kecil memasang sungil-sungil (memasang sejenis besi berbentuk gelang) di hidung kerbau agar kerbau mudah ditarik dan tidak mengamuk. Walaupun hanya ritual kecil, ritual ini penting karena bila kerbau persembahan dapat digiring dengan mudah, tandanya kemakmuran bagi keluarga akan datang. Kerbau yang disembelih akan dihidangkan sebagai santapan bersama. Saat bersantap bersama, tari Tor-Tor dihadirkan sebagai ajang ekspresi suka cita seluruh anggota keluarga. Menurut kepercayaan, jika hujan turun ketika mangokkal holi, berarti berkah akan turun melimpah bagi kehidupan.

KEKERABATAN DALAM MANGOKKAL HOLI
Mangokkal holi, selain sebagai tradisi juga merupakan salah satu pesta adat pada masyarakat Batak Toba. Pesta adat yang berhubungan dengan leluhur bagi masyarakat Batak Toba adalah tolak ukur meninggal dengan ”sukses” atau tidak. Maka tidak heran jika mangokkal holi diadakan secara besar-besaran. Indikator suatu pesta adat baik atau tidak dapat dinilai dari jumlah orang yang hadir, jumlah hewan yang disembelih dan tatacara upacara terkait dengan pembagian daging dan pembagian pidato. Orang Batak Toba menyebut pesta adat sebagai horja atau kerja. Horja atau pesta adat dipandang selalu membutuhkan kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga atau marga. Oleh karena itu hubungan kekerabatan termanifestasikan dalam horja. Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak bisa dibilang cukup kuat. Hubungan ini tidak hanya terjadi karena adanya garis keturunan, namun juga karena relasi perkawinan. Penentuan posisi seseorang dalam sebuah marga, mengharuskan tiap orang saling menyayangi dan menghormati. Dalam kerangka pemikiran itulah, orang Batak Toba setia menjalankan tradisi mangokkal holi sebagai pesta adat atau horja. Selain menunjukkan bakti pada leluhur, tali silaturahmi keluarga atau marga dapat terjalin dengan baik.
Horja adalah manifestasi dari sistem sosial dan sistem nilai yang dianut suku-bangsa Batak Toba. Holong yang berarti kasih menjadi pengikat yang mempersatukan. Hal ini amat terasa ketika seluruh keluarga menari Tor-Tor bersama, saling memberikan salam, dan memegang pipi. Mangokkal holi menjadi sarana belajar adat karena mangokkal holi menjadi tempat berkumpul semua generasi marga sehingga memungkinkan untuk mengajarkan adat Batak dan menunjukkan asal muasal, silsilah keluarga besar mereka kepada generasi muda keluarga atau marga. Bagi orang Batak Toba, mengangkat martabat sebuah marga adalah sebuah kewajiban sebagai bentuk penghormatan untuk marga dan leluhur. Lewat ritual mangokkal holi, hasangapon dapat tercapai sebagai bukti sah bahwa seorang telah menjadi Batak tulen yang mendatangkan kemuliaan bagi marga sebuah kebanggaan yang timbul karena rasa hormat.
 “DASAR ALKITAB”
UNTUK PENGGALIAN TULANG-BELULANG DAN PENDIRIAN TUGU
“Dasar Alkitab” yang menurut mereka paling berotoritas bagi pendirian tugu (tempat baru untuk tulang belulang yang digali) dan penggalian tulang-belulang ialah Keluaran 20:12, hukum kelima dari dasa titah, “Ingkon pasangapanmu do natorasmu asa . . .” (Haruslah engkau memuliakan/meninggikan orang tuamu supaya . . .). Nats lain adalah Kejadian 49:29-32, kisah Yakub yang menyuruh keturunannya supaya menguburkan jenazahnya di sisi nenek moyangnya. Selanjutnya, Kejadian 50:24-25 yaitu perkataan Yusuf yang meminta supaya tulang-belulangnya dibawa apabila orang Israel akhirnya keluar dari Mesir dan kembali ke Kanaan. Memang ketika mereka keluar dari Mesir, tulang-belulang Yusuf dibawa serta (Kel. 13:19). Bagian lainnya adalah 1 Samuel 28:1-25, peristiwa Saul memanggil arwah Samuel melalui seorang petenung. Mereka menyimpulkan bahwa orang mati bisa berbincang dengan orang hidup dan memberi petunjuk untuk kehidupan ini, bahkan mereka menyimpulkan bahwa orang mati bisa berbincang dengan orang hidup dan memberi petunjuk untuk kehidupan ini. Bahkan, orang mati lebih mengetahui masa depan orang yang masih hidup.

PENGARUH PENGGALIAN TULANG-BELULANG DAN PENDIRIAN TUGU
Dampak penggalian tulang-belulang ini sangat banyak, terutama adalah makin lunturnya pemahaman orang Batak Toba terhadap injil. Injil bukan lagi sesuatu yang mengubahkan dan menyinari, tetapi menjadi injil yang jinak dan lemah. Padahal Kitab Suci mengatakan bahwa di mana ada terang di sana tidak ada kegelapan. Dampak negatif dari penggaliaan tulang-belulang di Tapanuli Utara ini akan diurai lebih jauh : pertama, bangkitnya animisme lama dan pemujaan roh nenek moyang. Menurut Heine-Gelden, antara tahun 1870-1930 jumlah dan arti tugu-tugu nenek moyang telah berkurang dibandingkan dengan tunggal panaluan dan “bentuk-bentuk magis” lainnya. Tetapi Lothar Schreiner pada 1972 mengatakan, “Orang dapat berkata bahwa pemujaan nenek moyang datang kembali. Dalam pergaulan, orang Kristen percaya bahwa orang yang mati dan bapak-bapak leluhur . . . pendorong adat. Itulah sebabnya pengaruh kepercayaan itu terus-menerus malahan menjadi persoalan inti buat gereja-gereja.”
Pemujaan roh nenek moyang dalam gereja-gereja suku di Indonesia belum berhenti seluruhnya. Salah satu contoh adalah adanya pemujaan roh nenek moyang dalam upacara peresmian tugu leluhur di Tapanuli Utara. Menurut sebuah penelitian pada 1997 yang dilakukan melalui edaran dan analisa angket serta wawancara, disimpulkan ada 62% yang masih melakukan upacara-upacara penyembahan nenek moyang, misalnya penggalian tulang-belulang. Memang ada dari antara mereka yang mengaku melakukannya hanya sebagai tradisi dan sebagian lagi bermotifkan berkat dari leluhur. Namun cukup banyak yang memberikan sesajen kepada nenek moyang secara diam-diam karena takut kepada larangan gereja. Dari proses mangongkal holi (menggali tulang-belulang orang mati) berikut ini akan terlihat bahwa penyembahan kepada nenek moyang jauh dari kata menghilang.
Sebelum penggalian tulang-belulang orang mati dilaksanakan, lebih dahulu harus didirikan tempat pemindahannya, yaitu tugu atau kuburan baru yang dibuat dari semen. Pembangunan tugu itu sendiri didahului dengan upacara khusus bagi sumangot (roh leluhur yang dianggap berkuasa), dengan menyajikan makanan yang khusus sebagai sesajian yang diletakkan di atas pangombari (semacam altar di kanan/kiri bagian dalam dari rumah adat Batak sebagai penutup tiang bagian atas). Kemudian seseorang yang tertua di antara mereka mulai berdoa kepada sumangot leluhurnya. Setelah semua anggota keluarga sepakat membangun tugu maka mereka mulai membahas hal-hal yang akan dilakukan, yaitu tulang-belulang siapa saja yang akan digali, uraian bentuk atau ukuran tugu, dan anggaran biaya pembuatan tugu. Setelah pembangunan tugu ini selesai acara selanjutnya barulah menggali tulang-belulang.

PENDAPAT
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal :
1.      Pertama, walaupun penggalian tulang-belulang memakai ayat-ayat Alkitab sebagai dukungan tetapi Alkitab belum pernah memberi dukungan secara langsung.
2.      Kedua, penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu telah memiskinkan kehidupan ekonomi orang Batak secara umum dan rakyat di Tanah Batak khususnya.
3.      Ketiga, penyembahan kepada roh nenek moyang dalam upacara penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu di Tanah Batak sangat bertentangan dengan pandangan Perjanjian Lama yang tidak boleh menduakan Tuhan, baik secara iman maupun dalam kehidupan praktis. Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati.
4.      Keempat, pada penggalian tulang-belulang dan pendirian tugu juga ada acara meminta atau bertanya kepada orang mati dan hal ini tidak diperkenankan oleh Alkitab. Jadi, Alkitab sama sekali tidak memberi tempat pada penyembahan berhala dan meminta/bertanya kepada roh yang sudah mati, siapa pun orang itu.

Iman Kristen yang sinkretis akan membuat iman tidak berdaya guna, bahkan bisa mematikan iman Kristen pada akhirnya. Hal ini telah terjadi pada banyak orang Batak Toba Kristen yang lebih takut disebut so maradat (tidak beradat) daripada so margareja (tidak beragama). Dari paparan di atas ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan lakukan :
1.      Pertama, setiap orang percaya perlu memiliki pemahaman yang kokoh dan Alkitabiah mengenai apa itu budaya dan nilai absolut dari firman Tuhan.
2.      Kedua, semua pihak, baik pendeta, mahasiswa teologi dan jemaat, perlu bahu-membahu melakukan kajian terhadap budaya Batak dan bagaimana menerapkan injil dengan benar dalam budaya tersebut.
3.      Ketiga, para hamba Tuhan perlu memberikan penjelasan yang benar dan praktis dalam menyikapi acara penggalian tulang-belulang, juga melakukan pendekatan yang persuasif daripada memaksakan kehendak gereja kepada jemaat, yang pada akhirnya dapat membuat jemaat menjauhi gereja atau malah melakukannya dengan diam-diam sehingga gereja tidak dapat mengamati dengan mudah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar