Kamis, 04 Desember 2014

SEMESTER V (TUGAS LAPORAN BACAAN: STUDI PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA)

TUGAS LAPORAN BACAAN

STUDI PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA
Penulis : John Rogerson

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah :
TEOLOGI PL 1
Yang Dibina Oleh :
Gomgom Purba, M.Th

Nama : Roy Damanik

BAB I
GARIS-GARIS BESAR SEJARAH STUDI PERJANJIAN LAMA

            Bahasan ini memberikan suatu catatan singkat tentang sejarah studi PL, sampai menolong pemula agar lebih siap menyadari sifat pendekatan-pendekatan ilmiah dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Menurut Rogerson, bahwa kita tidak berkuasa atas situasi-situasi budaya dan sejarah di mana kita berada sebelum kita mencapai usia dewasa, namun kita belajar hidup dengan situasi itu dan menyesuaikan diri kita. Namun ada perbedaan antara bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi-situasi umum pada saat kita dibesarkan, dan bagaimana kita menghadapi situasi disiplin ilmiah ketika kita memasukinya. Kita tidak dapat dengan mudah melarikan diri dari situasi-situasi umum kehidupan kita.
Memang harus diakui bahwa dalam studi PL banyak kesulitan yang harus dihadapi. Hal ini dirasakan Rogerson di mana menurutnya sering pengetahuan PL kemungkinan besar diperoleh dari gereja atau sekolah. Itupun diajarkan hanya untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan PL begitu saja. Atau bahkan PL dianggap sebagai catatan usaha manusia mencari Allah sebelum datangnya Yesus Kristus.
Maksud judul ini ditulis Rogerson adalah: Pertama, memperlihatkan bahwa dalam pengertian kata kritis, keilmuan PL tidak selamanya kritis. Kedua, mencoba memperlihatkan faktor manakah yang benar-benar baru yang muncul bersama kritik sejarah pada akhir abad ke-18. Dan ketiga, mencoba menempatkan fundamentalisme modern dalam konteks sketsa sejarah singkat, dan mencoba menjelaskan mengapa di antara fundamentalisme dan keilmuan kritis masih terjadi pertikaian.

Dalam garis-garis besar studi PL ini, Rogerson membahas:
a)      Keilmuan kritis sebelum reformasi,
b)      Dari reformasi sampai 1750,
c)      Unsur baru dalam studi kritis sejak 1750,
d)     Dari 1750 sampai sekarang,
e)      Konservatisme modern dan kritik biblika.

Pertama, keilmuan kritis sebelum reformasi. Menurut Rogerson bahwa keilmuan kritis pada abad pertama sudah menampilkan perananannya yang berusaha menolong menetapkan teks PL yang lebih tepat. Sebab jika teks PL yang dikutip di dalam PB tidak bersesuaian, maka hal ini akan merisaukan para ilmuwan Kristen purba. Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka Origenes (185-243M) menyusun Hexapla dalam usaha memberikan informasi yang kelak menjadi dasar guna menetapkan teks PL yang benar. Disamping Origenes, ada lagi ilmuwan kritis pada abad ke-4 yaitu: pertama, Eusebius yang menyusun sebuah Onomasticon, yang merupakan usaha untuk mengidentifikasikan tempat-tempat yang disebutkan dalam Alkitab. Kedua, Hieronimus, yang menerjemahkan PL dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin dan menulis tafsiran dan risalattentang PL.
Keilmuan kritis yang sejauh ini dibicarakan hanya menunjukkan keinginan untuk menetapkan sejauh mungkin teks PL yang paling benar dan niat untuk menguasai bahasa utama yang digunakan untuk menulisnya. Keilmuan kritis mula-mula juga menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menurut dugaan kita tidak diperbincangkan sebelum zaman ilmiah modern. Misalnya dalam Kota Allah (City of God, 426M), Augustinus memberikan jawaban tentang beberapa pertanyaan yang timbul pada saat itu terutama mengenai apa yang tertulis dalam Kejadian 1. Demikian juga pada abad ke-12, Maimondes (1138-1204), memberikan jawaban tentang pertanyaan mengenai fungsi alam yang kelihatan dan dia juga mengajarkan bahwa Allah tidak bertubuh.
Kedua, dari reformasi sampai 1750. Menurut Rogerson, Reformasi di Eropa pada bagian pertama abad ke-16 berkaitan erat dengan kebangkitan kembali dari studi-studi alkitabiah pada abad ke-15. Terjadi pula kebangkitan kembali studi-studi Ibrani di kalangan para sarjana Kristen. Misalnya Luther (1483-1546) yang selalu mencari bagian manakah dalam PL yang sentral dan mana yang tidak. Dalam diri Luther, kita sudah menemukan antisipasi posisi-posisi kritis modern mengenai kepengarangan kitab-kitab di dalam Alkitab. Luther berpendapat bahwa meskipun Pentateukh bersifat Musa, tidak dengan sendirinya seluruh bagiannya pasti ditulis oleh Musa. Calvin menerima posisi-posisi yang lebih kritis ketimbang sejumlah posisi konservatif yang diterima pada abad ke-19 atau pun ke-20.
Pada masa setelah Reformasi, muncullah skolatisisme Protestan. Pandangan-pandangan tentang pengilhaman Alkitab dikukuhkan para penulis Alkitab sampai sedikit lebih tinggi dari sekadar alat yang Allah gunakan untuk mendiktekan firmanNya. Berlawanan dengan Gereja Purba, mereka tidak memiliki atau menaruh sedikit sekali perhatian terhadap kritik teks. Sebelum Reformasi, orang pun sepakat bahwa aturan iman Gereja adalah dasar bagi penafsiran Alkitab. Sementara dalam ortodoksi Protestan Paca-Reformasi, orang juga percaya bahwa posisi doktriner ini sepenuhnya konsisten dengan Alkitab dan pada akhirnya Alkitab saja sudah cukup. Lebih dalam Rogerson berpendapat bahwa cukup adil bila kita mengatakan bahwa dalam periode ini, sikap kritis terhadap PL lebih dibatasi ketimbang pada masa-masa sebelumnya dalam sejarah Gereja.
Menjelang akhir abad ke-17, langkah-langkah pertama yang kelak menghasilkan pendekatan kritis modern terhadap PL diambil dari kalangan Gereja Katolik Roma (GKR) seperti Richard Simon yang berusaha memperlihatkan kekeliruan orang Protestan dengan menyerang dasar iman Protestan yakni, kepercayan bahwa Alkitab saja sudah cukup . Ada dua serangannya kepada golongan Prostestan yaitu: pertama, ia menegaskan bahwa pada kenyataannya kita tidak bisa yakin dengan mutlak akan apa yang dikandung oleh teks Alkitab yang asli. Kedua, ia menuduh bahwa kaum Protestan telah mengacaukan kewibaan dengan keaslian.
Gerakan penting lainnya pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 adalah Deisme yang menerima nalar sebagai prinsip pembimbing yang cukup. Tokoh yang terkenal dari golongan ini adalah J.S.Semler yang menekankan pengalaman pribadi, khususnya pengalaman pertobatan.
Ketiga, unsur baru dalam studi kritis sejak 1750. Menurut Rogerson, unsur yang baru setelah 1750 adalah bahwa penelitian kritis mempunyai keterbukaan. Perbedaan antara situasi sebelum 1750 dan sesudahnya adalah; sebelum 1750 keilmuan kritis pada akhirnya adalah pembelaan terhadap tipe ortodoksi apapun yang diterima oleh seorang ahli. Sedangkan setelah 1750, keilmuan kritis lebih siap membiarkan kelimuan alkitabiah mereka menentang ortodoksi mereka sendiri.Keilmuan mereka lebih merupakan usaha pencarian yang terbuka terhadap kebenaran, ketimbang pencarian kebenaran yang dibatasi oleh penerimaan akan suatu ortodoksi.
Keempat, dari 1750 sampai sekarang. Perkembangan selanjutnya dipaparkan Rogerson adalah bahwa studi PL itu semakin bergerak maju di berbagai negara. Di Jerman perhatian khusus diberikan terhadap ketiga bidang studi yang bertumpang tindih yakni sumber-sumber Pentateukh, sejarah Israel dan perkembangan agama Israel. Di Inggris, metode kritis diimport dari Jerman pada awal abad ke-19, namum kemajuannya agak lambat. Dan terakhir di Amerika Serikat sendiri pada awal abad ke-19 metode kritis telah mapan dan didukung oleh berbagai terjemahan karya-karya kritis dari Jerman.
Kelima, konservatisme modern dan kritik biblika. Perkembangan terakhir yang disampaikan Rogerson ialah bahwa konservatisme modern dan kritik Biblika tidak hanya dilakukan di universitas saja melainkan bisa saja dilakukan di sekolah-sekolah tinggi teologi atau seminari serta sekolah-sekolah Alkitab dan pendidikan misionaris. Pada sekolah-sekolah ini PL dipelajari secara kritis yang walaupun pada umumnya dalam batas-batas tujuan khusus sekolahnya.

BAB 2
METODE-METODE DALAM STUDI PERJANJIAN LAMA

            Pada bab 2 ini, Clines berupaya menjelaskan metode-metode dalam studi PL. Selama lebih dari dua ratus tahun, para ahli telah menyelidiki berbagai sumber yang mungkin dipergunakan oleh para penulis Alkitab dan cara bagaimana sumber-sumber ini digabungkan. Namun demikian pada akhirnya dasar penafsiran kita haruslah dialaskan pada teks seperti yang kita punyai sekarang.
Clines secara gamblang memberikan petunjuk-petunjuk baik untuk menafsirkan sastra PL maupun untuk menghubungkan berbagai metode sastra demi maksud di atas. Secara garis besar ada dua metode yang ditawarkan Clines untuk memahami PL yakni pertama, metode-metode tingkat pertama yang tujuan utamanya adalah mendapatkan pemahaman dan kedua, metode-metode tingkat kedua, yang tidak terutama dimaksudkan untuk menafsirkan teks Alkitab, namun sering mempunyai sumbangan yang berharga bagi penafsiran.

A.    METODE-METODE TINGKAT PERTAMA
            Metode-metode tingkat pertama ini akan mengulas: pertama, metode-metode tradisional dalam keilmuan biblika. Metode ini terdiri dari: (a) Eksegese grammatika-historis, (b) kritik teks, (c) dan kritik redaksi. Eksegese grammatika-historis, adalah usaha untuk menafsirkan bagian manapun sesuai dengan makna kata-katanya yang alamiah (“gramatika”) dan sesuai dengan kemungkinan maksud si pengarang pada zamannya (“historis”). Kritik teks adalah disiplin yang berusaha mencari di balik naskah-naskah Abad Pertengahan mengungkapan kata yang tepat dari kitab-kitab dalam Alkitab. Dan kritik redaksi adalah pengumpulan dan penyuntingan sumber-sumber Alkitab. Dalam pengertian yang paling sempit, studi ini adalah studi tentang bagaimana si pengarang menggunakan sumber-sumbernya.
Kedua, Metode kritik sastra. Metode ini terdiri dari: (a) membaca dengan cermat, (b) gagasan tentang “karya seni sastra”, dan (c) keterlibatan. Membaca dengan cermat (close reading) adalah penelitian yang sangat hati-hati dan terinci terhadap semua aspek dari teks: bahasa, gaya, metafora, image, dan hubungannya satu sama lain. Gagasan tentang “karya seni sastra”. Frasa ini memiliki dua penekanan yang berbeda: (i) bahwa karya sastra haruslah pertama-tama dipandang sebagai suatu keseluruhan; (ii) bahwa karya sastra harus dipelajari sesuai dengan apa yang dikandungnya. Dan keterlibatan artinya si penafsir mempunyai keprihatinan dengan masalah kebenaran dari teks dan rela serta bergigih untuk mencapai suatu penilaian pribadi.

B.     METODE-METODE TINGKAT KEDUA
            Metode ini pada prinsipnya adalah menggunakan teks Alkitab untuk maksud-maksud lain, ketimbang untuk memahami teks. Dalam bagian ini Clines mengupas studi PL dengan: (a) Kritik sejarah, (b) Kritik sumber, dan (c) Kritik bentuk. Kritik sejarah adalah suatu usaha merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang ada di balik kisah-kisah Alkitab. Kritik sumber adalah yang berusaha merekonstruksikan sumber-sumber yang ada di balik isinya. Secara umum tujuan kritik sumber adalah sumber itu sendiri, isinya, konteks sejarahnya, maksud-maksud dan kesalingterkaitannya. Dan kritik bentuk merupakan usaha untuk menemukan pemberitaan Kristen awal di mana kisah-kisah tentang ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Yesus diceritakan dan mengambil bentuknya yang tetap.
Secara keseluruhan bab ini tidaklah sepenuhnya bersifat deskriptif (sekedar melukiskan) tentang metode-metode yang dipergunakan dalam studi-studi PL, melainkan juga telah berusaha untuk pada tingkat tertentu bersifat preskriptif (memberikan anjuran).

BAB 3
SEJARAH PERJANJIAN LAMA DAN SEJARAH ISRAEL

            Pada bab 3 ini, kita akan melihat mengenai tradisi-tradisi sejarah dalam PL. Apakah maksud tradisi-tradisi ini, bagaimanakah apabila kita membandingkannya dengan rekonsturuksi ilmiah para ahli terhadap sejarah Israel kuno, dan apa yang terjadi apabila sang ahli modern itu merasa perlu “memperbaiki” laporan yang disajikan dalam PL? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang utama di sini.
            Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Regerson memaparkan bahwa ada reaksi negatif dari pihak-pihak lain yang agaknya didasarkan pada pertimbangan: Pertama, kita barangkali merasa ingin membela PL, bukan karena alasan doktriner tertentu apapun, melainkan karena kesetiaan kepada sebuah lembaga yang tua hingga kita tidak ingin melihatnya diperkosa. Kedua, keberatan kita barangkali mempunyai dasar-dasar moral atau teologis. Namun masih ada keberatan yang mencolok bahwa keilmuan kritis pada kenyataannya menuduh Allah atau para pengarang Alkitab yang manusiawi itu melakukan kesalahan atau tidak jujur.
Rogerson mengatakan bahwa usaha singkat ini untuk mempertimbangkan sumber-sumber sejarah apakah yang tersedia bagi para penulis Alkitab dan bagaimana agakya mereka memanfaatkannya, dapat menolong kita dalam dua hal. Pertama, usaha ini dapat menolong kita menghargai bahwa sejarah-sejarah dalam PL ditulis dalam cara yang amat serupa seperti semua sejarah lainnya. Kedua, usaha ini menolong kita menjembatani jurang kebudayaan yang ada di antara kita sendiri dan periode PL.
Adalah keliru bila kita mengira bahwa semua tulisan sejarah dalam PL berhubungan erat dengan kesaksian kenabian sebagaimana kaitan antara kejatuhan Yerusalem dengan Yeremia. Dengan kata lain, studi historis modern PL bukanlah sebuah serangan terhadap intergritas para penulis Alkitab. PL tidak hanya mengandung sejarah Israel kuno. Ia juga mengandung tradisi-tradisi historis dan bentuk-bentuk seperti cerita yang maksud utamanya adalah mengungkapkan iman para penulis PL bahwa Allah terlibat dalam peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Israel.

BAB 4
PANDANGAN DUNIA PERJANJIAN LAMA

            Pada bab 4 ini, Rogerson melukiskan secara singkat perbedaan-perbedaan budaya antara dunia PL dan dunia sekarang ini. Perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar hingga akibatnya kita hanya dapat memahami PL apabila kita membacanya dengan sebuah kaca mata budaya yang khusus. Di pihak lain, pada beberapa kesempatan kita akan dapat lebih menghargainya apabila kita melakukan sejumlah penyesuaian budaya terhadap pendekatan kita.
Dalam bab ini, Rogerson membahas alam, magi, mujizat, kurban dan organisasi sosial. Pertama alam. Pengalaman Israel tentang alam sangat dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan tanah dan iklim yang ditemukan di dunia Israel kuno. Barangkali ketika Israel merenungkan alam, mereka menjadi sadar akan hal yang luhur: tentang apa yang begitu dimuliakan atau mengesankan sehingga timbullah dalam diri mereka rasa takjub dan heran. Beberapa bagian dalam PL, misalnya Mazmur 104, tampaknya memberikan kesan bahwa bangsa Israel melihat Allah terlibat dalam semua proses alam.
Kedua magi. Magi sering dianggap sebagai indikasi sebuah pandangan dunia yang primitif dan tidak ilmiah. Magi datang ke dalam situasinya sendiri ketika batas-batas dilanggar atau menjadi kabur. Rogerson memandang baik posisi dan kedudukan magi ini. Dia mengatakan bahwa mereka yang ikut serta dalam upacara-upacara magis-religius tak boleh dianggap sekedar berusaha memanipulasi kenyataan dalam sebuah cara yang pseudo-ilmiah. Karena pada gilirannya hal ini membebaskan mereka dari rasa cemas, dan menolong mereka lebih efektif dalam menjalankan usaha. Alasan lain dikatakan Rogerson ialah bahwa magi tidak menunjukkan pandangan tentang dunia yang kacau. Sebaliknya, ia berfungsi dalam tatanan yang tercipta oleh banyak perbatasan dan hanya dapat disingkirkan oleh kehancuran total batas-batas tersebut serta pembentukan batas-batas alternatif.
Ketiga mujizat. Menurut Rogerson, ada dua hal yang harus dipertimbangakan dalam bagian ini. Pertama, ialah apakah bangsa Israel kuno begitu bodoh tentang sebab-sebab ilmiah sehingga mereka menyebut Allah sebagai penyebab dari apa yang dijelaskan dalam pengertian-pengertian “alamiah”. Kedua, ialah apakah memang lebih mudah bagi mereka daripada bagi kita untuk percaya bahwa peristiwa-peristiwa luar biasa memang terjadi. Bila kontras antara kita dan bangsa Israel kuno dilukiskan dengan tepat, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, ialah bahwa laporan-laporan PL mengenai peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai tindakan-tindakan khusus Allah tidak boleh kita percayai, karena mereka berasal dari suatu bangsa yang pemahamannya tentang realitas adalah pra-ilmiah. Kedua, ialah bahwa bangsa Israel mempunyai kelebihan dari kita bahwa mereka dapat dengan lebih mudah ketimbang kita melihat Allah bekerja dalam berbagai peristiwa.
Keempat kurban. Rogerson berpendapat bahwa barangkali kita menganggap bahan-bahan yang berkaitan dengan kurban ini tidaklah penting paling tidak karena dua alasan. Pertama, kita percaya bahwa kematian Yesus telah menghapuskan kebutuhan akan sistim kurban seperti dalam PL. Kedua, bahwa kurban paling tidak bukanlah bagian utama agama PL. Kenyataannya tak ada gerakan reformasi dari dalam agama PL yang berhasil menghapus sistim kurban dan ini disebabkan oleh alasan sederhana bahwa kurban adalah bagian dari suatu sistim yang jauh lebih kompleks yang menarik garis batas dan mempertahankannya di kalangan Israel kuno. Kurban itu sendiri diakhiri oleh pergolakan-pergolakan besar dari luar. Pertama, ketika Bait Suci dihancurkan oleh bangsa Babel pada tahun 587 sM, kurban sementara berhenti (namun setelah Bait Suci dibangun kembali, maka kurban dilanjutkan kembali pada tahun 516 sM). Kedua, ketika bangsa Romawi menghancurkan biat Suci pada tahun 70M, mengakhiri untuk selamanya sistim kurban. Kurban dalam PL adalah bentuk perilaku simbolis yang memungkinkan seseorang melintasi perbatasan, dan yang memungkinkan perbatasan dipulihkan setelah dilanggar. Degan demikian kurban adalah bagian dari cara Israel menjawab dalam syukur kepada Allah atas penebusanNya yang penuh anugerah dan pemeliharaannya yang berkelanjutan atas bangsa itu.
Dan kelima organisasi sosial. Menurut Rogerson ada empat periode untuk melihat organisasi sosial ini yakni: periode para Leluhur, periode para Hakim, periode kerajaan dan periode komunitas pasca-pembuangan. Para Leluhur dilukiskan sebagai keluarga-keluarga besar, yang beternak kambing, domba, dan kemungkinan juga unta, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (yang disebut semi-namad). Pada periode Hakim, Israel kuno digambarkan sebagai sebuah konfederasi suku. Kata “suku” untuk melukiskan begitu banyak jenis organisasi kemasyarakatan sehingga ia tidak lagi berarti atau bahkan menyesatkan. Pada periode pembuangan, yang menyebabkan kelas orang-orang kaya dan berkuasa disingkirkan ke Babel, tentunya mempunyai dampak yang mendalam terhadap organisasi kemasyarakatan Israel kuno. Pada periode Pasca-Pembuangan, dari informasi dalam kitab Ezra dan Nehemia, para anggota komunitas pasca-pembuangan menyebut diri mereka sebagai anggota keluarga atau desa tertentu.

BAB 5
INDIVIDUAL DAN KOMUNITAS

            Dalam bagian ini, Joyce memperingatkan agar kita tidak membuat kesimpulan-kesimpulan umum, tentang bangsa Israel kuno, khususnya tentang cara berpikir mereka. Dengan tepat ia menunjuk pada keragaman yang ditemukan dalam PL. Di kalangan Israel kuno kelompok sosial atau komunitas mendapat tempat yang penting. Selain keluarga dekat atau anggota rumahtangganya, orang Israel kuno biasanya menganggap dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga besar yaitu salah satu suku Israel dan akhirnya salah satu dari Anak-anak Israel, umat Yahweh. Yahweh pertama-tama dan terutama sekali adalah Allah bangsa Israel; orang dapat mengatakan bahwa Dialah satu-satunya Allah bagi seorang individu Israel sejauh individu itu ikut serta dalam bangsa Israel.
Komunitas Israel sangat mengandalkan ibadah kepada satu Allah, Yahweh, sebagai prinsip pemersatu utama kehidupannya. Setelah pembuangan nampaklah bahwa ibadahlah yang menjadi ikatan hakiki yang mempersatukan bangsa Israel. Lebih jauh Joyce mengatakan bahwa di kalangan Israel kuno komunitas, entah itu keluarga dekat, keluarga besar, suku atau bangsa itu sendiri, amatlah penting dan ada suatu kaitan yang erat antara kehidupan peribabadahan Israel dan rasa komunitas yang kuat ini. Namun pendapat lain seperti H.Wheeler Robinson, mengatakan bahwa di kalangan Israel kuno batas-batas kepribadian seorang individu tidak ditentukan dengan jelas dan kebanyakan bagian PL harus dipahami dalam terang kenyataan yang dikemukakan oleh pendapat itu bahwa individu bahkan tidak dibedakan dari kelompoknya. Kelompok, kata Robinson, dapat dianggap seolah-olah mempunyai “Kepribadian Kelompok” misalnya kasus Akhan dalam Yosua 7 yang akhirnya kelompok Akhan dibunuh setelah terbukti kesalahannya. Namun menurut Joyce, pendapat Robinson tentang “Kepribadian Kelompok” ini kadang-kadang kabur dan membingungkan, bahkan dalam tulisan Robinson sendiri.
Pemahaman lain yang amat luas dianut tentang PL adalah pandangan yang mengatakan bahwa ada suatu perkembangan yang teratur dan dapat ditelusuri dalam cara berpikir Israel dari penekanan yang kuat terhadap komunitas menuju ke penekanan yang semakin kuat terhadap individu. Namun demikian dasar pemahaman ini sama sekali tidaklah sekuat apa yang biasanya diduga.
Jika kita meneliti hubungan individu dengan komunitas Israel yang berkembang itu di dalam PL, maka kita dapat menyimpulkan bahwa teori perkembangan yang berkaitan dengan gagasan-gagasan mengenai tanggung jawab di Israel haruslah ditanggapi dengan penuh hati-hati.
Pada akhirnya, Joyce menyimpulkan bahwa kita tidak mungkin berbicaran mengenai “Pemikiran Israel” sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan atau dilukiskan secara persis, karena Israel adalah suatu keberadaan yang demikian beranekaragam, yang membentang melalui beratus-ratus tahun dan semakin menyebar di banyak negeri, serta menghasilkan literatur keagmaan yang begitu bervariasi.


BAB 6
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

            Dalam bab ini, Barton membagi bahasannya dalam 8 bagian. Setiap bagian menekankan beberapa hal yang berkaitan dengan teologi PL. Ulasannya cukup padat dan jelimat tentang topik yang digumulinya.
Bagian pertama, ini merupakan pendahuluan. Dalam pendahulua ini, Barton menjelaskan pemahaman orang tentang Allah Israel dan bagaimana orang memulai studi-studi mengenai PL, karena PL adalah sumber informasi langsung mengenai Allah yang harus dipercayai oleh orang Kristen. Secara sederhana dikatakan bahwa “Teologi PL” adalah suatu usaha menggali kebenaran-kebenaran ada di dalam PL.
Bagian kedua, ini Barton menjelaskan bahwa bila dikaji secara kritis ada satu kemungkinan untuk kemungkinan mempersatukan kembali PL dengan teologi Kristen. Hal ini terlihat dari penyusunan sylabus studi-studi Alkitab dengan sebuah pendekatan pencarian yang berliku. Selanjutnya yang sering terjadi juga adalah "pencarian religius" terhadap Israel kuno disajikan sebagai suatu perkembangan bertahap menuju kebenaran. Menurut Barton, ada sejumlah keberatan yang dapat diajukan pada pendekatan ini, bahkan pula pada tingkat historis murni. Bahkan pada pandangan "pencarian yang berliku "ini ada banyak jalan pintas dalam iman dan praktek PL sehingga kita sulit memperdebatkannya sebagai prakondisi-prakondisi yang perlu bagi Yudaisme dan Kekristenan yang muncul kemudian.
Bagian ketiga, Barton mengupas secara tajam “Teologi Perjanjian Lama” itu dengan mengatakan bahwa teologi PL harus dibedakan secara tajam dari bentuk “sejarah pemikiran keagamaan Israel” karena: pertama-tama, jangan mengabaikan kesamaan keluarga yang membentuk PL. Kesamaan itu tidak harus memiliki koherensi (keutuhan) dari satu koleksi tulisan oleh seorang pengarang. Kedua, harus ada asumsi bersama, yang barangkali lebih mudah ditemukan oleh para pembaca yang asing dengan agama Israel ketimbang mereka yang tenggelam di dalam penelitiannya.
Bagian keempat, Barton menampilkan pendapat dua teolog PL yang terkenal yakni: Walter Eichrodt (Theology of the Old Testament) dan Gerhard von Rad (Old Testament Theology) . Kedua teolog ini memiliki kemiripan dalam konsentrasi pada kesamaan keluarga dari teks-teks PL. Mereka sama-sama berusaha menyajikan iman Israel , kelompok keyakinan yang dipegang teguh oleh semua yang mengaku sebagai umat Allah dalam PL. Bahkan lebih jauh Barton mengatakan, bahwa studi tentang pernyataan-pernyataan sesungguhnya yang dibuat PL tentang Allah, dan tentang kesamaan keluarga antara semuanya, tampaknya telah mencapai batas kemungkinan-kemungkinannya dalam karya besar kedua ahli ini.
Bagian kelima ini, Barton menjelaskan perkembangan studi teologi PL itu dengan munculnya babakan baru bagi “Gerakan Teologi Bibilika”. Gerakan ini mencoba memahami PL dan kemustahakannya bagi pembaca Kristen yang melihat apa yang ada di belakang teks dan berusaha menangkap gagasan-gagasan dasar dan kategori-kategori yang dipergunakan bangsa Israel. Artinya orang Kristen diajak belajar bagaimana “berpikir secara Ibrani”. Gerakan ini sendiri pada umumnya sudah mati, tetapi pengaruhnya hidup terus dalam segala cara yang tersembunyi.
Bagian keenam, Barton mencoba mengembangkan “teologi biblika”. Menurutnya salah satu ciri yang memberikan sastra PL adalah kesan bahwa ia merupakan bagian dari sebuah tradisi tunggal. Dengan demikian “teologi biblika” cenderung menunjukkan bahwa asumsi-asumsi itu terletak pada tingkat yang amat dalam, dan lebih kurang tidak disadari. Hanya dalam pengertian yang amat luas dapat dikatakan bahwa kita “belajar tentang” keberadaan Allah dengan jalan membuka PL. Tak ada bagian dalam PL yang menegaskan, sebagai sepotong informasi baru, bahwa Allah itu ada. Bahkan lebih tajam dikatakan bahwa amatlah sulit apabila kita ingin menemukan bagian-bagian dalam PL yang dimaksudkan untuk menyampaikan informasi bahwa Allah itu adalah Pencipta dunia. Dengan demikian menurut Barton, adalah merupakan tugas teologi PL untuk menemukan suatu cara untuk menjembatani jurang antara keinginan para ahli akan informasi mengenai apa yang dipercayai Israel, dan keinginan orang percaya modern akan informasi seperti apakah Allah itu sebenarnya.
Bagian ketujuh, Barton memasuki tahapan yang lebih menjelaskan tujuan teologi PL itu sendiri. Tujuan teologi PL adalah usaha untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang akan menolong kita dalam membaca dan menggunakan PL dengan pemahaman yang lebih mendalam. Peranan teologi PL adalah menolong kita mengerti kumpulan karya sastra yang khusus dengan menjelaskan berbagai konsep yang digunakannya.
Bagian kedelapan ini, Barton menjelaskan lebih mendalam lagi tujuan yang dapat dilayani sebuah buku “Teologi Perjanjian Lama”. Pertama, adalah memberikan kita segala jenis informasi latar belakang yang akan menolong kita memahami tradisi religius yang termasuk di dalamnya tulisan-tulisan PL. Kedua, dapat kita gunakan untuk menghampiri masalah dan berusaha menganalisis pernyataan-pernyataan teologis yang sesungguhnya yang dibuat dalam berbagai kitab PL dan mencari cara-cara untuk menggambarkan suasanan teologisnya atau implikasinya dan bahkan menyampaikan “pengajaran”.

BAB 7
BERBAGAI PENDEKATAN ETIKA DALAM PERJANJIAN LAMA
           
Ternyata PL juga memiliki nilai-nilai etika yang luar biasa. Itulah yang akan dicoba dikupas Barton dalam bab ini dalam empat bagian bahasannya. Terasa sulit memang jika berbicara mengenai etika ini karena selalu berkata antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Namun bagaimanakah konsep etika dalam PL? Mari kita melihat dari berbagai pendekatan yang berikut ini.
Bagian pertama, Barton mencoba mengutip 1Samuel 15:32-33 sebagai salah satu contoh kasus dalam PL yang merepresentasikan pendekatan etika dalam PL. Salah satu maksud bab ini memang memberikan kesan bahwa PL menyimpan titik pandang etika yang begitu beraneka dan bahwa ada banyak etika Perjanjian Lama.
Bagian kedua ini, Barton mengemukakan bahwa Etika Perjanjian Lama bisa mengacu pada dua hal. Pertama, kadang-kadang etika PL berarti studi tentang perkembangan historis ide-ide tentang moralitas, atau tentang perilaku moral yang sesungguhnya, di kalangan Israel kuno. Studi semacam ini tidak harus historis melulu, namum demikian harus bersifat historis, karena harus merekonstruksikan bukti-bukti yang diberikan oleh teks PL. Kedua, adalah dengan menganggap PL secara hakiki sebagai kitab yang merupakan bagian dari Kitab Suci orang Kristen.
Bagian ketiga, Barton membicarakan etika di Israel kuno. Etika di Israel kuno ini akan diuji dalam tiga hal yang memuat indikasi-indikasi bahwa ada banyak pandangan dan tradisi yang berbeda di Israel. Pertama, norma-norma moral. Norma-norma perilaku yang diterima di kalangan Israel kuno sangat bervariasi. Hal ini disebabkan dua faktor variabel yaitu: (a) waktu; dan (b) kelompok sosial. Kedua, dasar etika. Menurut Barton, orang Israel tidak memiliki dasar etika yang pasti dan baku. Israel kuno tak memiliki sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “filsafat moral”, tak ada usaha untuk menyusun secara sistematis dasar etika, dan memperjelas mengapa kewajiban-kewajiban atau norma-norma mempunyai sifat mengikat. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa semua dasar etika Israel tidak sama, karena moralitas dapat bersifat religius dalam lebih dari satu cara.
Keempat, motif dan dorongan bagi perilaku moral. Secara kasar dapat digolongkan dorongan bagi perilaku moral dalam PL adalah: (a) sebagian memandang ke masa depan, (b) sebagian memandang ke masa lampau, dan (c) sebagian memandang ke masa kini.
Bagian terakhir, dalam ulasan Barton ini adalah mengenai etika PL. Etika PL ini mencoba melihat keberadaan norma-norma moral dan dasar moralitas dari sudut PL. Oleh karena itu kita akan melihat etika PL dari dua pandangan yaitu: pertama, norma-norma moral. Dari berbagai kasus-kasus yang ditemukan di dalam PL, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip moral yang disepakati kitab-kitab PL mempunyai tingkat generalitas yang cukup tinggi. Dalam banyak hal prinsip-prinsip itu juga ditemukan di antara sistem-sistem keagamaan Semit di masa dahulu maupun modern. Kedua, dasar etika. Kategori dasar etika dalam PL adalah “hukum”.[20] Cara terbaik untuk menghampiri sistem etika PL sebagai “Torah” adalah mengingat bahwa maksud PL yang terutama ialah untuk memberikan bahan-bahan yang akan memberikan kesan tentang pola atau bentuk cara kehidupan yang dijalankan di hadapan Allah. Jadi, untuk bentuk akhir PL, perilaku moral praktis berkaitan erat dengan “spiritualitas”: masalah gaya hidup.

BAB 8
PERJANJIAN LAMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERJANJIAN BARU
                                
            Menurut Joyce, hubungan PL dan PB memiliki hubungan yang sangat erat, namum di dalamnya ada banyak masalah yang timbul yang harus disikapi oleh orang Kristen. Baik PL maupun PB sama-sama berakar dalam sejarah – inilah bagian dari kekuatan mereka. Masing-masing dihasilkan dalam seluruh rentangan latar belakang budaya, membahas masalah-masalah dari latar belakang itu, dipengaruhi oleh atau bereaksi terhadap ide-ide dari masa itu. Akan ada bagian-bagian PL maupun PB yang kita rasakan tidak membangun atau relevan. Misalnya bagian penutup Mazmur 137 yang penuh dendam, atau barangkali, sebagian pernyataan Paulus tentang perempuan atau budak. Harus kita aku bahwa kedua perjanjian itu memiliki kebhinekaan, tak bisa lagi ada dikotomi hitam dan putih antara PL dan PB. PL, seperti halnya PB, dihargai dan dihormati karena kekayaan yang dikandungnya. Kemudian Joyce mengatakan pemahaman bahwa peristiwa-peristiwa dalam PB menggenapi kata-kata PL lebih tersirat ketimbang tersurat.
Dalam ulasannya ini, Joyce mengungkapkan hubungan antara PL dan PB dalam cara yang positif. Yang terbaik hubungannya dapat dibayangkan pada dasarnya ada dalam kelanjutan besar tradisi keagamaan. Dengan demikian, umumnya PL yang memberikan kosakata teologis yang dipakai oleh para penulis PB untuk mengungkapkan pemahaman mereka tentang kegiatan Allah di dalam Yesus.

BAB 9
EPILOG: MENGGUNAKAN PERJANJIAN LAMA
            Menurut Rogerson, bahwa banyak orang yang mempelajari PL tidak mau merasa puas dengan mengetahuinya dari sudut pandangan sastra dan kritik sejarah saja namun mereka ingin sekali menggunakannya dalam hidup mereka sehari-hari. Namun bagaimanakah penggunaan PL dalam kehidupan sehari-hari? Rogerson memberikan beberapa cara menggunakannya misalnya: pertama, penggunaan PL di Gereja. Dalam kebaktian-kebaktian Gereja PL biasanya diberikan peranan sekunder setelah PB. Akhirnya PL tidak begitu dikenal di kalangan jemaat. Karena kebhinekaan ada dalam PL, maka inilah yang menjadi titik tolak bagi penggunaan PL di Gereja. Namun kenyataannya, PL pemakaian PL di Gereja harus menjalani proses yang panjang sekali. Secara ringkas Rogerson menjelaskan penggunaan PL dalam Gereja menuntut hal-hal berikut: (a) pengetahuan mengenai keseluruhan isinya; (b) pengakuan akan kebhinekaannya; (c) kesiapan untuk menghindari rumusan-rumusan yang terlalu sederhana seperti rumusan murka Allah; (d) kerelaan untuk melihatnya sebagai kesaksian bagi iman suatu bangsa yang hidup; (e) kesiapan untuk mempelajari segala sesuatu yang mungkin dari pendekatan keilmuan akademis dan kritis.
Kedua, menggunakan PL dalam persoalan-persoalan sosial dan moral. Setelah memaparkan beberapa kasus-kasus sosial dan moral di dalam PL, maka Rogerson menarik sebuah kesimpulan bahwa kita dapat mengatakan bahwa penggunaan PL dalam soal-soal sosial dan moral bukanlah sekedar persoalan mengutip teks dan menerapkannya terhadap situasi-situasi modern. PL tidaklah dimaksudkan untuk menjadi buku tentang aturan-aturan yang diterapkan dalam situasi manapun juga. PL adalah catatan tentang kepekaan yang meningkat terhadap tuntutan-tuntutan sosial dan moral yang tersirat dalam penebusan Allah yang penuh belas kasih.

TANGGAPAN BUKU

            Memang benarlah apa yang dikatakan Rogerson dalam kata pengantarnya, bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini bukan dimaksudkan sebagai pengantar kepada isi PL, melainkan lebih merupakan pembimbing tentang bagaimana menghampiri studi PL seara ilmiah. Dan harus diakui agak jarang buku-buku yang diterbitkan yang bersifat seperti ini dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti tidak ada. Berkaitan dengan ini, buku lain yang bisa membantu para pemula dalam studi PL ini misalnya: Teologi Perjanjian Lama dan Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama.
Metode penafsiran dalam studi PL yang dipaparkan David J.A.Clines secara umum untuk bagi pemula studi PL memang sudah cukup lumayan. Namun untuk studi lanjutan tentang topik ini, John H.Hayes dan Carl R.Holladay lebih mendalam menjelajahi dunia PL. Disamping yang disampaikan Clines masih ada lagi pendekatan yang lebih tajam diuraikan mereka misalnya mengenai: penyatuan semua langkah studi PL itu, mulai dari kritik sejarah hingga kepada kritik bentuk dan pemanfaatan hasil-hasil penafsiran Alkitab.
Hubungan PL dan PB yang diuraikan oleh Joyce, memang benar masih banyak kesulitan-kesulitannya sama seperti pemahaman Hasel. Menurut Hasel, Rudolf Bultmanlah yang berjasa mencari kaitan antara kedua Perjanjian itu dalam kurun sejarah faktual Israel. Bultman mengatakan PL merupakan prakiraan tentang PB tidak lebih tidak kurang. Dia menyokong pendapat tentang tidak adanya hubungan teologis samasekali antara PL dan PB. Hubungan antara kedua Perjanjian “samasekali tidak relevan secara teologis”. Sementara Klaus Schwarzwaller berpendapat bahwa PL berkaitan dengan PB dipandang dari segi rumusan tentang “rangkaian bukti dan hasil”. PL hanya dapat dipahami dari Kristus karena PL menunjukkan ke depan kepada Dia. “Peristiwa Kristus mencakup sejarah perjanjian lama dan menunjuk kembali kepada kesaksian-kesaksiannya”
Kupasan Rogerson tentang bagaimana menggunakan PL, masih bersifat umum. Namun yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana menggunakan PL ini secara dalam kehidupan dan budaya kita masing-masing. Misalnya, Peran PL dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial, peran PL dalam proses interaksi antara teologi Kristen dan teologi Islam, pentingnya PL dalam dialog Kristen-Muslim. Demikian juga Longman III, dia mencoba mengupas bagaimana orang Kristen mengaplikasikan PL dalam kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar