Kamis, 11 Desember 2014

SEMESTER V (TUGAS PRESENTASE: KONSEP ALLAH MENURUT PERJANJIAN LAMA)

TUGAS PRESENTASI
KONSEP ALLAH
MENURUT PERJANJIAN LAMA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah :
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA - 1
Yang Dibina Oleh :
Gomgom Purba, M.Th

Nama Kelompok :
Frida Juliati Sitanggang
Roy Damanik

Yariawati Laia

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Allah dan siapa itu Allah merupakan hal yang sudah sering kita dengarkan, bahkan menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita. Namun dalam hal ini, muncul satu pertanyaan, apakah kita sudah benar-benar mengerti tentang Allah?. Berbicara tentang mengerti berarti memahami. Dari hal ini, muncul kembali pertanyaan kedua, apakah kita mampu mengerti dan memahami Allah?. Tentu sekali kita tidak akan mampu memahami Allah, karena akal budi kita terlalu kecil, pengetahuan kita terlampau terbatas, diri kita terlalu terbatas untuk dapat mengerti Allah yang tidak terbatas. Namun, kita hanya bisa membuat pendekatan-pendekatan untuk bisa mengerti maksud Allah dalam hidup kita.
Dalam makalah ini, kelompok kami akan membahas pendekatan tentang pengertian Allah, sifat Allah, atribusi Allah, serta hal lainnya berhubungan dengan konsep Allah dalam Perjanjian Lama. Sehingga kami berharap melalui pemaparan dalam makalah ini, kita dapat memiliki pemahaman yang benar tentang konsep Allah yang sesungguhnya.

  1. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari penulisan makalah ini, adalah :
  1. Apa pengertian Allah secara umum, serta dalam berbagai zaman?
  2. Apa pengertian Allah berdasarkan nama Allah dalam Alkitab?
  3. Apa saja sifat dan atribusi Allah?
  4. Apakah konsep Allah Tritunggal ada dalam Perjanjian Lama?

  1. TUJUAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini, adalah :
  1. Memahami dengan baik pengertian Allah secara umum, serta dalam berbagai zaman.
  2. Memahami dengan baik pengertian Allah berdasarkan nama Allah dalam Alkitab.
  3. Memahami dengan baik tentang sifat dan atribusi Allah.
  4. Memahami dengan baik konsep Allah Tritunggal dalam Perjanjian Lama.

BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN TENTANG ALLAH

1.      SECARA UMUM
Allah (Bahasa Inggris : God) adalah nama zat yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Penyayang, yang berhak disembah oleh seluruh manusia. Tanggapan mengenai Allah berbeda-beda pada tiap-tiap agama, seperti dalam agama Kristen, Yahudi, Islam, dan agama politeis. Tetapi walaupun demikian, Allah merupakan satu konsep yang dapat dijumpai secara universial pada setiap bangsa dan agama.[1]

2.      DALAM BERBAGAI ZAMAN
1)      Zaman Mula-mula[2]
Kejadian 1-11 berasumsi bahwa manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, dan mereka mempunyai kesadaran akan Allah. Dalam pasal-pasal itu Allah dinamakan YHWH . Menurut pengertian yang lazim tentang Keluaran 6, nama itu bukanlah nama Allah yang dipakai oleh manusia pada masa prasejarah, melainkan merupakan tafsiran teologis oleh penyunting pada kemudian hari. Penyunting tersebut berpendapat bahwa sekalipun manusia belum mengenal nama YHWH, namun mereka sungguh-sungguh menyembah Dia. Manusia itu mengenal Allah sebagai pencipta dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung. Mereka memberi respon pada Dia dalam bentuk persembahan, permohonan dan pemberitaan. Kejadian 1-11 secara tidak langsung memperlihatkan adanya kesadaran keagamaan pada semua manusia. Hal itu sejajar dengan pengertian bahwa semua manusia mempunyai kesadaran akhlak, seperti yang dinyatakan dalam Amos 1-2. Kejadian 1-11 juga menunjukkan bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan campur tangan dalam perkara-perkaranya, sesuai dengan pandangan Amos 9:7.

2)      Bapak Leluhur[3]
Kejadian 12-50 juga berbicara tentang Allah yang kemudian hari disembah Israel sebagai YHWH. Namun Allah itu juga disebut dengan nama lain, yaitu ‘El, yang sering digabungkan dengan ungkapan lain. Dalam bahasa-bahasa Semit terdapat kata yang seakar dengan ‘El, yaitu ‘Il. Sama seperti kata ‘Il tersebut, kata ‘El dalam bahasa Ibrani dapat berfungsi sebagai kata benda yang berarti “ilah” (sama seperti ‘Elohim, Keluaran 15:2; 20:5) atau menjadi nama pribadi untuk ilah itu. Karena itu kata ‘El kadang-kadang disalin saja sebagai ‘El (nama), kadang-kadang diterjemahkan “Allah” atau “ilah”.
Dalam agama Kanaan, “El dianggap sebagai kepala dewa. Kejadian 14 menceritakan tentang Abraham dan Melkisedek, imam dan raja kota Salem yang memberkati Abraham demi nama Allah-nya, “Allah yang Mahatinggi (‘El Elyon), Pencipta langit dan bumi” (ayat 19). Abraham juga bersumpah demi “Tuhan Allah Yang Mahatinggi (El Elyon), Pencipta langit dan bumi” (ayat 22). Peristiwa ini memberi kesan bahwa Abraham (dan penulis Kitab Kejadian) mengakui bahwa Melkisedek (dan mungkin juga orang-orang Kanaan lain yang memuja El) melayani Allah yang benar, namun tidak mengetahui segala sesuatu tentang Dia. Pada kemudian hari Israel menduduki Salem, kota Melkisedek itu, dan menamakannya Yerusalem (juga Sion). Mereka menjadikannya tempat utama untuk pemujaan YHWH, sebagaimana dinyanyikan oleh nabi dan pernazmur: “Tuhan mengaum dari Sion” (Amos 1:2); “Dari Sion, puncak keindahan, Allah tampil bersinar” (Mazmur 50:2).
Kejadian 21:33 memberi kesan yang sama. Dalam ayat itu dikatakan bahwa Abraham memanggil nama Tuhan, ‘El Olam, Allah yang kekal. Nama tersebut dipakai untuk YHWH hanya dalam ayat ini, namun dalam naskah-naskah dari Kanaan ditemukan nama yang mirip untuk menyebut dewa orang Kanaan. Naskah-naskah itu juga menyebut ‘El sebagai yang memberkati, yang memberi keturunan, yang menyembuhkan dan yang memimpin dalam perang.

3)      Zaman Babel dan Persia[4]
Ezra, Nehemia dan Daniel menyebut Allah sebagai “Tuhan, Allah semesta langit”, suatu gelar yang dapat diberikan kepada dewa utama bangsa-bangsa lain dalam kerajaan Persia (lihat Ezra 1:2; 5:11-12; 6:9-10; 7:12,21,23; Neh. 1:4-5; 2:4,20; Daniel 2:18-19, 37,44; 5:23 (“Yang berkuasa di sorga”). Daniel, Ezra dan Nehemia melayani raja Persia dan seperti Yusuf dahulu, Daniel dengan teman-temannya mendapat nama-nama asing yang mempunyai makna keagamaan. Namun demikian, Ezra dan Nehernia sama-sama menegaskan bahwa umat YHWH harus dipisahkan dari bangsa dan agama sekitarnya. Dan Daniel menghimbau supaya orang Yahudi tetap setia kepada YHWH serta hidup dengan suci (Daniel 1), dan supaya mereka mempertahankan ibadat (Daniel 3) dan kesalehan mereka (Daniel 6).

4)      Zaman Yunani[5]
Pandangan pada zaman Yunani, yaitu zaman terakhir yang tulisannya termuat dalam Perjanjian Lama, hampir sama dengan pandangan pada zaman Babel dan Persia. Seperti Daniel (Daniel 5:23), raja Babel berpandangan bahwa YHWH sama dengan “Yang Berkuasa di sorga”, dewa tertinggi Siria. Pada zaman tertentu dan dalam arti tertentu orang Yahudi mungkin dapat menerima pandangan itu, namun ternyata penglihatan dalam Kitab Daniel menunjukkan bahwa keduanya tidak saling sesuai. Mengikuti perintah-perintah raja dalam bidang agama berarti tidak setia kepada Allah Israel. Sekali lagi, Perjanjian Lama memberi kesan bahwa “keterbukaan terhadap agama-agama lain terkadang dapat diterima, tetapi ada kalanya keterbukaan itu membahayakan agama dan bangsa Israel, sehingga harus ditolak”.

3.      BERDASARKAN NAMA ALLAH DALAM ALKITAB[6]
1)      El, Elohim dan Elyon
Nama yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama adalah nama “El”. Dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris di pakai kata God atau god (Allah atau Dewa). Kata padanan ini mempunyai bentuk yang sama asalnya dari bahasa-bahasa Semitis lainnya, yang berarti suatu allah atau dewa dalam pengertian yang luas. Karena sifatnya yang umum itu, maka kata tersebut sering dihubungkan dengan kata sifat (ajektif) dan sebutan (predikat) tertentu. Misalnya Ulangan 5:9 mencatat “Aku, Tuhan (Yahweh), Allah-mu (Elohim), adalah Allah (El) yang cemburu”. El adalah kata benda nama diri, nama dari “Allah” orang Kanaan yang anaknya adalah Ba’al. Bentuk jamak dari El adalah Elohim dan bila dipakai sebagai jamak, diterjemahkan “dewa-dewa”.
Nama Elohim, adalah kata benda jamak maskulin bermakna Allah (Mazmur 86:12), ilah-ilah (1 Samuel 5:7), dewa (1 Raja-raja 18:24), hakim-hakim (Keluaran 22:8), dan malaikat-malaikat (Mazmur 8:6). Kata ini muncul lebih dari 2.600 kali dalam Tanakh Ibrani (Perjanjian Lama), bentuk tunggalnya adalah “Eloah” yang berarti “dilingkupi ketakutan” dan ini menunjuk kepada Allah sebagai Dia yang kuat dan berkuasa, atau merupakan objek dari rasa takut. Nama Elohim jarang sekali muncul dalam bentuk tunggal, kecuali dalam puisi. Meskipun bentuk kata אלהים – ‘Elohim adalah jamak, kata itu (terutama jika merujuk kepada Tuhan Allah) berarti tunggal.
Nama Elyon berarti: “ke atas, ditinggikan” dan menunjuk Allah sebagai Dia yang tinggi dan dimuliakan (Kejadian 14:19-20, Bilangan 24:16, Yesaya 14:14). Nama ini sering ditemukan dalam bentuk puisi. Nama itu juga dipakai untuk menunjuk kepada berhala (Mazmur 95:3, 96:5), untuk menunjuk manusia (Kejadian 33:10, Keluaran 7:1), dan tentang penguasa (Hakim-hakim 5:8, Keluaran 21:6, 22:8-10, Mazmur 82:1). Elyon yang juga berarti Allah Yang Mahatinggi adalah gelar Allah seperti yang disembah oleh Melkisedek. Elyon terdapat dalam Bilangan 24:16, dalam Mazmur 7:17 sebutan ini dirangkaikan dengan Yahweh.

2)      Adonai
Nama Adonai  ini sangat erat hubungannya dengan nama El, Elohim, atau Elyon. Kata Adonai diturunkan dari kata “dun” (din), atau “adan” yang keduanya berarti menghakimi, memerintah dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai Penguasa yang kuat, dan kepadaNya manusia adalah hamba. Pada jaman dulu Adonai adalah nama yang biasa dipakai bangsa Israel untuk menyebut Allah. Tetapi kemudian diganti dengan nama Yehova atau Yahweh. Semua nama yang disebut itu menunjuk kepada Allah sebagai Dia yang tinggi dan dimuliakan.
3)      Shaddai dan El-Shaddai
Nama Shaddai diturunkan dari kata “Shadad” yang artinya penuh kuasa, dan menunjuk kepada Allah sebagai pemilik kuasa di surga dan di bumi. Akan tetapi ada juga orang lain yang berpendapat bahwa nama ini berasal dari kata “shad” yang artinya “tuan”. Nama ini berbeda dengan Elohim, Allah dari ciptaan dan alam semesta, dalam arti bahwa nama shaddai menunjuk kepada Allah sebagai subjek dari semua kekuatan di alam dan memakai segala sesuatu yang ada di alam sebagai alat atau sarana bagi karya anugerah ilahi.
Walaupun menekankan kebesaran Allah, nama ini tidak mewakili Allah sebagai objek rasa takut atau kegentaran, tetapi sebagai sumber berkat dan kedamaian. Dengan nama inilah Allah datang kepada Abraham, bapa segala orang beriman. Keluaran 6:2 mengatakan: “Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku Tuhan Aku belum menyatakan diri.”

4)      Yahweh dan Yahweh Tsebhaoth
Kata Ibrani Yahweh kadang-kadang diterjemahkan Yehova. Naskah asli bahasa Ibrani tidak membubuhkan tanda-tanda huruf  hidup pada kurun waktu “tetragrammaton” (4 huruf), YHWH dianggap teramat suci untuk diucapkan, jadi “adonay” (Tuhan-ku) dipakai sebagai penggantinya bila membacakannya, dan huruf-huruf hidup dari perkataan ini digabungkan dengan huruf-huruf mati YHWH sehingga terbentuklah “Yehova” suatu bentuk yang pertama kalinya diperkenalkan pada permulaan abad 12 M.
Nama Yahweh juga berarti Allah menyatakan diriNya sebagai Allah anugerah. Nama ini dianggap nama yang paling sakral dan paling diagungkan di antara nama-nama yang lain, sebagai Allah yang tidak mungkin berubah. Orang Yahudi mempunyai rasa takut tersendiri untuk menyebut nama ini, karena mereka selalu ingat kepada Imamat 24:16 yang berbunyi :  “Siapa yang menghujat nama Tuhan pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaat itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama Tuhan haruslah dihukum mati.”
Karena rasa takut itu maka dalam membaca Kitab Suci, orang Yahudi menggantinya dengan “Adonai” atau “Elohim”. Keluaran 3:14 mengatakan: “Aku adalah Aku” atau bisa juga berarti : “Aku akan menjadi apa yang Aku akan menjadi”. Jika ditafsir dengan pengertian seperti itu, maka nama itu menunjuk kepada keadaan Tuhan yang tidak berubah. Namun demikian, yang menjadi pokok persoalan bukanlah Allah tidak berubah dalam keberadaan esensiNya, seperti Dia tidak berubah dalam kaitan hubunganNya dengan umatNya melainkan nama itu mengandung jaminan bahwa Allah akan menjadi milik bagi umat Israel pada jaman Musa, sama seperti Allah menjadi Allah bagi Bapa leluhur mereka Abraham, Ishak dan Yakub.
Nama itu menekankan kesetiaan perjanjian Allah (Keluaran 15:3 “Tuhan itu pahlawan perang; Tuhan, itulah nama-Nya”, Mazmur 83:19, Hosea 12:6, Yesaya 42:8, “Aku ini Tuhan, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemasyuran-Ku kepada patung”), dan dengan demikian nama itu tidak dipakai untuk siapapun, kecuali untuk nama Allah orang Israel. Sifat ekslusif dari nama itu muncul dari kenyataan bahwa nama itu tidak pernah muncul dalam bentuk jamak atau dengan awalan.
Nama Yahweh Tsebhaoth, “Tuhan semesta alam” adalah gelar Allah, nama ini tidak terdapat dalam Kitab-kitab Pentateukh pertama kali muncul dalam 1 Samuel 1:3 sebagai gelar yang dengannya Allah disembah di Silo. Nama ini dipakai oleh Daud waktu ia menghadapi Goliat orang Filistin (1 Samuel 17:45) dan Daud menggunakannya lagi sebagai klimaks dari nyanyian kemenangan yang gilang-gemilang (Mazmur 24:10). Nama ini biasa dipakai dalam Kitab Nabi-nabi (88 kali dalam Yeremia), dan dipakai untuk menunjukkan bahwa Tuhan setiap saat adalah Penyelamat dan Pelindung bagi umat-Nya (Mazmur 46:7,11). Arti harfiah Tsebhaoth ialah tentara, (Band. 1 Samuel 17:45 “Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu”). Tetapi segera diperluas menjadi seluruh tentara langit, siap sedia untuk melaksanakan perintah Allah.

B.       SIFAT-SIFAT ALLAH
Karena bahasa dan pengertian manusia terbatas, maka tidak mungkin manusia mampu menentukan defenisi sifat Allah dengan satu kata atau satu kalimat untuk menjelaskan sifat Allah seluruhnya. Namun melalui Pengakuan Iman Westminster (29 April 1647). Disimpulkan beberapa defenisi sifat Allah, sebagai berikut[7] :
1)      Allah tunggal adanya (Ul. 6:4).
2)      Hidup dan benar (Yer. 10:10).
3)      Sempurna dan tidak terbatas (Ayub 11:7-9).
4)      Tidak berbadan (Ul. 4:15-16).
5)      Tidak berubah (Mal. 3:6).
6)      Tidak terbatas dalam kuantitas (1 Raj. 8:27; Yer. 23:23-24).
7)      Kekal adanya (Maz. 90:2).
8)      Tidak dapat diperkirakan atau diukur (Maz. 145:3).
9)      Yang Mahakuasa (Kej. 17:1).
10)  Mahasuci (Yes. 6:3).
11)  Mahabebas; bebas dalam menentukan segala sesuatu (Maz. 115:3).
12)  Dia adalah Aku ada dan Yang Aku ada (Kel. 3:14).
13)  Dia beroleh kemuliaan bagi diriNya sendiri (Ams. 16:4).
14)  Mengampuni dosa (Kel. 34:6-7).
15)  Menghakimi dengan adil dan tepat (Neh. 9:32-33).
16)  Benci dengan dosa (Maz. 5:5-6).

C.       ATRIBUSI ALLAH
Atribusi merupakan beberapa ciri khas sifat Allah. Ciri khas sifat Allah merupakan konsep dasar untuk menyatakan keberadaan diriNya kepada makhluk ciptaanNya. Atribusi menunjukkan hal-hal yang dasar dari sifat Allah, hal-hal yang tidak berubah dari Allah, dan kualitas atau karakter Allah yang nyata dari Allah. Adapun atribusi Allah, antara lain[8] :
1)      Allah itu Esa
2)      Allah itu Penyayang
3)      Allah itu Kekal
4)      Allah itu Setia dan Dapat Dipercaya
5)      Allah itu Baik
6)      Allah itu Pengasih
7)      Allah itu Kudus
8)      Allah itu Tidak Memihak
9)      Allah itu Adil
10)  Allah itu Kasih
11)  Allah itu Murah Hati
12)  Allah itu Mahakuasa
13)  Allah itu Mahahadir
14)  Allah itu Mahatahu
15)  Allah itu Panjang Sabar
16)  Allah itu Mahabenar
17)  Allah itu Mahaada
18)  Allah itu Kebenaran
19)  Allah Tidak Pernah Berubah
20)  Allah Memiliki Kebebasan (Berdaulat)
21)  Allah Memperlihatkan Kasih Setia

D.       TENTANG ALLAH TRITUNGGAL DALAM PERJANJIAN LAMA[9]
Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah itu Esa. “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ulangan 6:4). Kata “Tuhan” berasal dari kata “YHWH”, kata “Allah” berasal dari kata “Elohim”, kata “esa” berasal dari kata “Echad” yang artinya adalah “Satu”. Maksud satu disini adalah Unified One, sama dengan kata “satu” dari dua menjadi “satu” daging di dalam Kejadian 2:24. Kata “satu” disini mengandung arti satu kesatuan (compound unity). Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensi-Nya atau keberadaan-Nya (YHWH yang Esa), sedangkan keragaman-Nya diekspresikan dalam gelar Elohim (yang merupakan bentuk kata Jamak).
Di dalam Perjanjian Lama, ayat yang pertama kali menyiratkan mengenai ketritunggalan adalah Kejadian 1:26: “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Selain itu, terdapat juga dalam Kejadian 3:22 dan Kejadian 11:7. Kata “Kita” merupakan bentuk jamak. Terlihat jelas bahwa sejak awal penciptaan ketiga pribadi Allah telah bekerja sama untuk menciptakan alam semesta ini. Kejadian 1:2 bahkan menegaskan peran Roh Allah dalam penciptaan bumi.
Untuk dapat memahami ayat-ayat dari Perjanjian Lama, memerlukan pengetahuan, pemahaman dan analisa bahasa Ibrani. Dalam Kejadian 1:1, Kata yang digunakan untuk “Allah”, ditranslasikan dari bahasa Ibrani “Elohim”. Kata ini adalah bentuk jamak. Bentuk tunggalnya adalah El (contohnya El Shaddai, El Roi, dan lain-lain).
Dalam bahasa Inggris hanya ada dua bentuk kata, single (tunggal) dan plural (jamak). Dalam Bahasa Ibrani ada tiga macam bentuk kata : tunggal, dual dan jamak. Dalam Bahasa Ibrani, bentuk dual digunakan untuk hal-hal yang berpasangan, seperti mata, telinga dan tangan. Kata “Elohim” dan kata ganti “kita” adalah dalam bentuk jamak, jelas lebih dari dua. Artinya, orang Ibrani memahami dengan tepat, bahwa YHWH yang Echad itu adalah Elohim (yang jamak, Ul. 6:4). Pemahaman mereka mengenai Allah tersebut mempunyai makna bahwa mereka tahu persis bahwa Elohim yang mereka sembah terdiri lebih dari satu pribadi. Itulah sebabnya, ketika membaca kitab Kejadian 1:26; 3:22; 11:7, mereka tidak heran dengan penggunaan kata “Kita” oleh Allah. Sebab mereka tahu, bahwa Allah atau Elohim yang Esa itu terdiri lebih dari dua.
Hanya saja, pada masa Perjanjian Lama, Allah belum menyingkapkan ketiga pribadi tritunggal (Bapa, Putera dan Roh Kudus) kepada bangsa Israel. Barulah ketika Tuhan Yesus menyatakannya dalam Matius 28:19 (..baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak dan Roh Kudus), kita mengetahui dengan pasti bahwa Elohim yang jamak itu ternyata terdiri dari tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus) dan Allah Roh Kudus.

BAB III
KESIMPULAN

Setelah memaparkan tentang konsep Allah dalam Perjanjian Lama. Dapat disimpulkan bahwa Allah adalah Dia yang maha kuasa, yang tidak dapat dipahami dengan pemahaman manusia, bahkan tidak dapat dipahami hanya dengan satu kalimat atau satu kata saja. Dia adalah pribadi yang tidak terbatas, tidak berawal dan tidak berakhir, namun nyata adanya. Meskipun banyak para ilmuwan dan theolog yang berusaha menolak keberadaannya melalui berbagai teori, namun hal tersebut tidak pernah berhasil menolak keberadaan Allah.
           Tentu dalam hal iman, akal pikiran kita akan menjadi lawan kita untuk memahami keberadaan Allah. Namun, kita perlu pahami, walaupun pikiran kita yang terbatas tidak dapat memahami hal-hal yang tidak terbatas yakni Allah, namun kita mempunyai cukup informasi untuk mengetahui Ke-Allahan yang berusaha menyelamatkan kita dari dosa dan menjamin suatu tempat bagi kita dalam kerajaan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar