TUGAS
LAPORAN BACAAN
STUDI
PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA
Penulis : John Rogerson
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah :
TEOLOGI PL
1
Yang Dibina Oleh :
Gomgom
Purba, M.Th
Nama : Roy
Damanik
BAB I
GARIS-GARIS BESAR SEJARAH STUDI PERJANJIAN LAMA
Bahasan
ini memberikan suatu catatan singkat tentang sejarah studi PL, sampai menolong
pemula agar lebih siap menyadari sifat pendekatan-pendekatan ilmiah
dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Menurut Rogerson, bahwa
kita tidak berkuasa atas situasi-situasi budaya dan sejarah di mana kita berada
sebelum kita mencapai usia dewasa, namun kita belajar hidup dengan situasi itu
dan menyesuaikan diri kita. Namun ada perbedaan antara bagaimana kita
dipengaruhi oleh situasi-situasi umum pada saat kita dibesarkan, dan bagaimana
kita menghadapi situasi disiplin ilmiah ketika kita memasukinya. Kita tidak
dapat dengan mudah melarikan diri dari situasi-situasi umum kehidupan kita.
Memang harus diakui
bahwa dalam studi PL banyak kesulitan yang harus dihadapi. Hal ini dirasakan
Rogerson di mana menurutnya sering pengetahuan PL kemungkinan besar diperoleh dari
gereja atau sekolah. Itupun diajarkan hanya untuk menerima segala sesuatu yang
dikatakan PL begitu saja. Atau bahkan PL dianggap sebagai catatan usaha manusia
mencari Allah sebelum datangnya Yesus Kristus.
Maksud judul ini
ditulis Rogerson adalah: Pertama, memperlihatkan bahwa dalam pengertian kata
kritis, keilmuan PL tidak
selamanya kritis. Kedua, mencoba memperlihatkan faktor manakah yang benar-benar
baru yang muncul bersama kritik sejarah pada akhir abad ke-18. Dan ketiga,
mencoba menempatkan fundamentalisme modern dalam konteks sketsa sejarah
singkat, dan mencoba menjelaskan mengapa di antara fundamentalisme dan keilmuan
kritis masih terjadi pertikaian.
Dalam garis-garis besar studi PL
ini, Rogerson membahas:
a)
Keilmuan kritis sebelum
reformasi,
b)
Dari reformasi sampai
1750,
c)
Unsur baru dalam studi
kritis sejak 1750,
d)
Dari 1750 sampai
sekarang,
e)
Konservatisme modern
dan kritik biblika.
Pertama, keilmuan
kritis sebelum reformasi. Menurut Rogerson bahwa keilmuan kritis pada abad
pertama sudah menampilkan perananannya yang berusaha menolong menetapkan teks
PL yang lebih tepat. Sebab jika teks PL yang dikutip di dalam PB tidak
bersesuaian, maka hal ini akan merisaukan para ilmuwan Kristen purba. Dengan melihat
kenyataan seperti itu, maka Origenes
(185-243M)
menyusun Hexapla dalam usaha memberikan informasi yang kelak menjadi dasar guna
menetapkan teks PL yang benar. Disamping Origenes, ada lagi ilmuwan kritis pada
abad ke-4 yaitu: pertama, Eusebius yang menyusun sebuah Onomasticon, yang
merupakan usaha untuk mengidentifikasikan tempat-tempat yang disebutkan dalam
Alkitab. Kedua, Hieronimus, yang menerjemahkan PL dari bahasa Ibrani ke dalam
bahasa Latin dan menulis tafsiran dan risalattentang PL.
Keilmuan kritis yang
sejauh ini dibicarakan hanya menunjukkan keinginan untuk menetapkan sejauh
mungkin teks PL yang paling benar dan niat untuk menguasai bahasa utama yang
digunakan untuk menulisnya. Keilmuan kritis mula-mula juga menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang menurut dugaan kita tidak diperbincangkan sebelum zaman ilmiah modern.
Misalnya dalam Kota Allah (City of God, 426M), Augustinus memberikan jawaban
tentang beberapa pertanyaan yang timbul pada saat itu terutama mengenai apa
yang tertulis dalam Kejadian 1. Demikian juga pada abad ke-12, Maimondes
(1138-1204), memberikan jawaban tentang pertanyaan mengenai fungsi alam yang
kelihatan dan dia juga mengajarkan bahwa Allah tidak bertubuh.
Kedua, dari reformasi
sampai 1750.
Menurut Rogerson, Reformasi di Eropa pada bagian pertama abad ke-16 berkaitan
erat dengan kebangkitan kembali dari studi-studi alkitabiah pada abad ke-15.
Terjadi pula kebangkitan kembali studi-studi Ibrani di kalangan para sarjana
Kristen. Misalnya Luther (1483-1546) yang selalu mencari bagian manakah dalam
PL yang sentral dan mana yang tidak. Dalam diri Luther, kita sudah menemukan
antisipasi posisi-posisi kritis modern mengenai kepengarangan kitab-kitab di
dalam Alkitab. Luther berpendapat bahwa meskipun Pentateukh bersifat Musa,
tidak dengan sendirinya seluruh bagiannya pasti ditulis oleh Musa. Calvin
menerima posisi-posisi yang lebih kritis ketimbang sejumlah posisi konservatif
yang diterima pada abad ke-19 atau pun ke-20.
Pada masa setelah
Reformasi, muncullah skolatisisme Protestan. Pandangan-pandangan tentang
pengilhaman Alkitab dikukuhkan para penulis Alkitab sampai sedikit lebih tinggi
dari sekadar alat yang Allah gunakan untuk mendiktekan firmanNya. Berlawanan
dengan Gereja Purba, mereka tidak memiliki atau menaruh sedikit sekali
perhatian terhadap kritik teks. Sebelum Reformasi, orang pun sepakat bahwa
aturan iman Gereja adalah dasar bagi penafsiran Alkitab. Sementara dalam
ortodoksi Protestan Paca-Reformasi, orang juga percaya bahwa posisi doktriner
ini sepenuhnya konsisten dengan Alkitab dan pada akhirnya Alkitab saja sudah
cukup. Lebih dalam Rogerson berpendapat bahwa cukup adil bila kita mengatakan
bahwa dalam periode ini, sikap kritis terhadap PL lebih dibatasi ketimbang pada
masa-masa sebelumnya dalam sejarah Gereja.
Menjelang akhir abad
ke-17, langkah-langkah pertama yang kelak menghasilkan pendekatan kritis modern
terhadap PL diambil dari kalangan Gereja Katolik Roma (GKR) seperti Richard
Simon yang berusaha memperlihatkan kekeliruan orang Protestan dengan menyerang
dasar iman Protestan yakni, kepercayan bahwa Alkitab saja sudah cukup . Ada dua
serangannya kepada golongan Prostestan yaitu: pertama, ia menegaskan bahwa pada
kenyataannya kita tidak bisa yakin dengan mutlak akan apa yang dikandung oleh
teks Alkitab yang asli. Kedua, ia menuduh bahwa kaum Protestan telah
mengacaukan kewibaan dengan keaslian.
Gerakan penting lainnya
pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 adalah Deisme yang menerima nalar
sebagai prinsip pembimbing yang cukup. Tokoh yang terkenal dari golongan ini
adalah J.S.Semler yang menekankan pengalaman pribadi, khususnya pengalaman
pertobatan.
Ketiga, unsur baru
dalam studi kritis sejak 1750. Menurut Rogerson, unsur yang baru setelah 1750
adalah bahwa penelitian kritis mempunyai keterbukaan. Perbedaan antara situasi
sebelum 1750 dan sesudahnya adalah; sebelum 1750 keilmuan kritis pada akhirnya
adalah pembelaan terhadap tipe ortodoksi apapun yang diterima oleh seorang
ahli. Sedangkan setelah 1750, keilmuan kritis lebih siap membiarkan kelimuan
alkitabiah mereka menentang ortodoksi mereka sendiri.Keilmuan mereka lebih
merupakan usaha pencarian yang terbuka terhadap kebenaran, ketimbang pencarian
kebenaran yang dibatasi oleh penerimaan akan suatu ortodoksi.
Keempat, dari 1750
sampai sekarang. Perkembangan selanjutnya dipaparkan Rogerson adalah bahwa
studi PL itu semakin bergerak maju di berbagai negara. Di Jerman perhatian
khusus diberikan terhadap ketiga bidang studi yang bertumpang tindih yakni
sumber-sumber Pentateukh, sejarah Israel dan perkembangan agama Israel. Di
Inggris, metode kritis diimport dari Jerman pada awal abad ke-19, namum
kemajuannya agak lambat. Dan terakhir di Amerika Serikat sendiri pada awal abad
ke-19 metode kritis telah mapan dan didukung oleh berbagai terjemahan karya-karya
kritis dari Jerman.
Kelima, konservatisme
modern dan kritik biblika. Perkembangan terakhir yang disampaikan Rogerson
ialah bahwa konservatisme modern dan kritik Biblika tidak hanya dilakukan di
universitas saja melainkan bisa saja dilakukan di sekolah-sekolah tinggi
teologi atau seminari serta sekolah-sekolah Alkitab dan pendidikan misionaris.
Pada sekolah-sekolah ini PL dipelajari secara kritis yang walaupun pada umumnya
dalam batas-batas tujuan khusus sekolahnya.
BAB
2
METODE-METODE DALAM STUDI PERJANJIAN LAMA
Pada
bab 2 ini, Clines berupaya menjelaskan metode-metode dalam studi PL. Selama
lebih dari dua ratus tahun, para ahli telah menyelidiki berbagai sumber yang
mungkin dipergunakan oleh para penulis Alkitab dan cara bagaimana sumber-sumber
ini digabungkan. Namun demikian pada akhirnya dasar penafsiran kita haruslah
dialaskan pada teks seperti yang kita punyai sekarang.
Clines secara gamblang
memberikan petunjuk-petunjuk baik untuk menafsirkan sastra PL maupun untuk
menghubungkan berbagai metode sastra demi maksud di atas. Secara garis besar
ada dua metode yang ditawarkan Clines untuk memahami PL yakni pertama,
metode-metode tingkat pertama yang tujuan utamanya adalah mendapatkan pemahaman
dan kedua, metode-metode tingkat kedua, yang tidak terutama dimaksudkan untuk
menafsirkan teks Alkitab, namun sering mempunyai sumbangan yang berharga bagi
penafsiran.
A.
METODE-METODE
TINGKAT PERTAMA
Metode-metode
tingkat pertama ini akan mengulas: pertama, metode-metode tradisional dalam
keilmuan biblika. Metode ini terdiri dari: (a) Eksegese grammatika-historis,
(b) kritik teks, (c) dan kritik redaksi. Eksegese grammatika-historis, adalah
usaha untuk menafsirkan bagian manapun sesuai dengan makna kata-katanya yang
alamiah (“gramatika”) dan sesuai dengan kemungkinan maksud si pengarang pada
zamannya (“historis”). Kritik teks adalah disiplin yang berusaha mencari di
balik naskah-naskah Abad Pertengahan mengungkapan kata yang tepat dari
kitab-kitab dalam Alkitab. Dan kritik redaksi adalah pengumpulan dan penyuntingan
sumber-sumber Alkitab. Dalam pengertian yang paling sempit, studi ini adalah
studi tentang bagaimana si pengarang menggunakan sumber-sumbernya.
Kedua, Metode kritik
sastra. Metode ini terdiri dari: (a) membaca dengan cermat, (b) gagasan tentang
“karya seni sastra”, dan (c) keterlibatan. Membaca dengan cermat (close
reading) adalah penelitian yang sangat hati-hati dan terinci terhadap semua
aspek dari teks: bahasa, gaya, metafora, image, dan hubungannya satu sama lain.
Gagasan tentang “karya seni sastra”. Frasa ini memiliki dua penekanan yang
berbeda: (i) bahwa karya sastra haruslah pertama-tama dipandang sebagai suatu
keseluruhan; (ii) bahwa karya sastra harus dipelajari sesuai dengan apa yang
dikandungnya. Dan keterlibatan artinya si penafsir mempunyai keprihatinan
dengan masalah kebenaran dari teks dan rela serta bergigih untuk mencapai suatu
penilaian pribadi.
B.
METODE-METODE
TINGKAT KEDUA
Metode
ini pada prinsipnya adalah menggunakan teks Alkitab untuk maksud-maksud lain,
ketimbang untuk memahami teks. Dalam bagian ini Clines mengupas studi PL
dengan: (a) Kritik sejarah, (b) Kritik sumber, dan (c) Kritik bentuk. Kritik
sejarah adalah suatu usaha merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang ada di balik
kisah-kisah Alkitab. Kritik sumber adalah yang berusaha merekonstruksikan
sumber-sumber yang ada di balik isinya. Secara umum tujuan kritik sumber adalah
sumber itu sendiri, isinya, konteks sejarahnya, maksud-maksud dan
kesalingterkaitannya. Dan kritik bentuk merupakan usaha untuk menemukan
pemberitaan Kristen awal di mana kisah-kisah tentang ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan Yesus diceritakan dan mengambil bentuknya yang tetap.
Secara keseluruhan bab
ini tidaklah sepenuhnya bersifat deskriptif (sekedar melukiskan) tentang
metode-metode yang dipergunakan dalam studi-studi PL, melainkan juga telah
berusaha untuk pada tingkat tertentu bersifat preskriptif (memberikan anjuran).
BAB 3
SEJARAH PERJANJIAN LAMA DAN SEJARAH ISRAEL
Pada
bab 3 ini, kita akan melihat mengenai tradisi-tradisi sejarah dalam PL. Apakah
maksud tradisi-tradisi ini, bagaimanakah apabila kita membandingkannya dengan
rekonsturuksi ilmiah para ahli terhadap sejarah Israel kuno, dan apa yang
terjadi apabila sang ahli modern itu merasa perlu “memperbaiki” laporan yang
disajikan dalam PL? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang utama di sini.
Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Regerson memaparkan bahwa ada reaksi
negatif dari pihak-pihak lain yang agaknya didasarkan pada pertimbangan:
Pertama, kita barangkali merasa ingin membela PL, bukan karena alasan doktriner
tertentu apapun, melainkan karena kesetiaan kepada sebuah lembaga yang tua
hingga kita tidak ingin melihatnya diperkosa. Kedua, keberatan kita barangkali
mempunyai dasar-dasar moral atau teologis. Namun masih ada keberatan yang
mencolok bahwa keilmuan kritis pada kenyataannya menuduh Allah atau para
pengarang Alkitab yang manusiawi itu melakukan kesalahan atau tidak jujur.
Rogerson mengatakan
bahwa usaha singkat ini untuk mempertimbangkan sumber-sumber sejarah apakah
yang tersedia bagi para penulis Alkitab dan bagaimana agakya mereka
memanfaatkannya, dapat menolong kita dalam dua hal. Pertama, usaha ini dapat
menolong kita menghargai bahwa sejarah-sejarah dalam PL ditulis dalam cara yang
amat serupa seperti semua sejarah lainnya. Kedua, usaha ini menolong kita
menjembatani jurang kebudayaan yang ada di antara kita sendiri dan periode PL.
Adalah keliru bila kita
mengira bahwa semua tulisan sejarah dalam PL berhubungan erat dengan kesaksian
kenabian sebagaimana kaitan antara kejatuhan Yerusalem dengan Yeremia. Dengan
kata lain, studi historis modern PL bukanlah sebuah serangan terhadap
intergritas para penulis Alkitab. PL tidak hanya mengandung sejarah Israel
kuno. Ia juga mengandung tradisi-tradisi historis dan bentuk-bentuk seperti
cerita yang maksud utamanya adalah mengungkapkan iman para penulis PL bahwa
Allah terlibat dalam peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Israel.
BAB 4
PANDANGAN DUNIA PERJANJIAN LAMA
Pada
bab 4 ini, Rogerson melukiskan secara singkat perbedaan-perbedaan budaya antara
dunia PL dan dunia sekarang ini. Perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar
hingga akibatnya kita hanya dapat memahami PL apabila kita membacanya dengan
sebuah kaca mata budaya yang khusus. Di pihak lain, pada beberapa kesempatan
kita akan dapat lebih menghargainya apabila kita melakukan sejumlah penyesuaian
budaya terhadap pendekatan kita.
Dalam bab ini, Rogerson
membahas alam, magi, mujizat, kurban dan organisasi sosial. Pertama alam.
Pengalaman Israel tentang alam sangat dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan
tanah dan iklim yang ditemukan di dunia Israel kuno. Barangkali ketika Israel
merenungkan alam, mereka menjadi sadar akan hal yang luhur: tentang apa yang
begitu dimuliakan atau mengesankan sehingga timbullah dalam diri mereka rasa
takjub dan heran. Beberapa bagian dalam PL, misalnya Mazmur 104, tampaknya
memberikan kesan bahwa bangsa Israel melihat Allah terlibat dalam semua proses
alam.
Kedua magi. Magi sering
dianggap sebagai indikasi sebuah pandangan dunia yang primitif dan tidak
ilmiah. Magi datang ke dalam situasinya sendiri ketika batas-batas dilanggar
atau menjadi kabur. Rogerson memandang baik posisi dan kedudukan magi ini. Dia
mengatakan bahwa mereka yang ikut serta dalam upacara-upacara magis-religius
tak boleh dianggap sekedar berusaha memanipulasi kenyataan dalam sebuah cara
yang pseudo-ilmiah. Karena pada gilirannya hal ini membebaskan mereka dari rasa
cemas, dan menolong mereka lebih efektif dalam menjalankan usaha. Alasan lain
dikatakan Rogerson ialah bahwa magi tidak menunjukkan pandangan tentang dunia
yang kacau. Sebaliknya, ia berfungsi dalam tatanan yang tercipta oleh banyak
perbatasan dan hanya dapat disingkirkan oleh kehancuran total batas-batas
tersebut serta pembentukan batas-batas alternatif.
Ketiga mujizat. Menurut
Rogerson, ada dua hal yang harus dipertimbangakan dalam bagian ini. Pertama,
ialah apakah bangsa Israel kuno begitu bodoh tentang sebab-sebab ilmiah
sehingga mereka menyebut Allah sebagai penyebab dari apa yang dijelaskan dalam
pengertian-pengertian “alamiah”. Kedua, ialah apakah memang lebih mudah bagi
mereka daripada bagi kita untuk percaya bahwa peristiwa-peristiwa luar biasa
memang terjadi. Bila kontras antara kita dan bangsa Israel kuno dilukiskan
dengan tepat, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, ialah bahwa
laporan-laporan PL mengenai peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai
tindakan-tindakan khusus Allah tidak boleh kita percayai, karena mereka berasal
dari suatu bangsa yang pemahamannya tentang realitas adalah pra-ilmiah. Kedua,
ialah bahwa bangsa Israel mempunyai kelebihan dari kita bahwa mereka dapat
dengan lebih mudah ketimbang kita melihat Allah bekerja dalam berbagai
peristiwa.
Keempat kurban.
Rogerson berpendapat bahwa barangkali kita menganggap bahan-bahan yang
berkaitan dengan kurban ini tidaklah penting paling tidak karena dua alasan.
Pertama, kita percaya bahwa kematian Yesus telah menghapuskan kebutuhan akan
sistim kurban seperti dalam PL. Kedua, bahwa kurban paling tidak bukanlah
bagian utama agama PL. Kenyataannya tak ada gerakan reformasi dari dalam agama
PL yang berhasil menghapus sistim kurban dan ini disebabkan oleh alasan
sederhana bahwa kurban adalah bagian dari suatu sistim yang jauh lebih kompleks
yang menarik garis batas dan mempertahankannya di kalangan Israel kuno. Kurban
itu sendiri diakhiri oleh pergolakan-pergolakan besar dari luar. Pertama,
ketika Bait Suci dihancurkan oleh bangsa Babel pada tahun 587 sM, kurban
sementara berhenti (namun setelah Bait Suci dibangun kembali, maka kurban
dilanjutkan kembali pada tahun 516 sM). Kedua, ketika bangsa Romawi
menghancurkan biat Suci pada tahun 70M, mengakhiri untuk selamanya sistim
kurban. Kurban dalam PL adalah bentuk perilaku simbolis yang memungkinkan
seseorang melintasi perbatasan, dan yang memungkinkan perbatasan dipulihkan
setelah dilanggar. Degan demikian kurban adalah bagian dari cara Israel
menjawab dalam syukur kepada Allah atas penebusanNya yang penuh anugerah dan
pemeliharaannya yang berkelanjutan atas bangsa itu.
Dan kelima organisasi
sosial. Menurut Rogerson ada empat periode untuk melihat organisasi sosial ini
yakni: periode para Leluhur, periode para Hakim, periode kerajaan dan periode
komunitas pasca-pembuangan. Para Leluhur dilukiskan sebagai keluarga-keluarga
besar, yang beternak kambing, domba, dan kemungkinan juga unta, dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (yang disebut semi-namad).
Pada periode Hakim, Israel kuno digambarkan sebagai sebuah konfederasi suku.
Kata “suku” untuk melukiskan begitu banyak jenis organisasi kemasyarakatan
sehingga ia tidak lagi berarti atau bahkan menyesatkan. Pada periode
pembuangan, yang menyebabkan kelas orang-orang kaya dan berkuasa disingkirkan
ke Babel, tentunya mempunyai dampak yang mendalam terhadap organisasi
kemasyarakatan Israel kuno. Pada periode Pasca-Pembuangan, dari informasi dalam
kitab Ezra dan Nehemia, para anggota komunitas pasca-pembuangan menyebut diri
mereka sebagai anggota keluarga atau desa tertentu.
BAB 5
INDIVIDUAL DAN KOMUNITAS
Dalam
bagian ini, Joyce memperingatkan agar kita tidak membuat kesimpulan-kesimpulan
umum, tentang bangsa Israel kuno, khususnya tentang cara berpikir mereka.
Dengan tepat ia menunjuk pada keragaman yang ditemukan dalam PL. Di kalangan
Israel kuno kelompok sosial atau komunitas mendapat tempat yang penting. Selain
keluarga dekat atau anggota rumahtangganya, orang Israel kuno biasanya
menganggap dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga besar yaitu salah satu
suku Israel dan akhirnya salah satu dari “Anak-anak
Israel”, umat Yahweh. Yahweh
pertama-tama dan terutama sekali adalah Allah bangsa Israel; orang dapat
mengatakan bahwa Dialah satu-satunya Allah bagi seorang individu Israel sejauh
individu itu ikut serta dalam bangsa Israel.
Komunitas Israel sangat
mengandalkan ibadah kepada satu Allah, Yahweh, sebagai prinsip pemersatu utama
kehidupannya. Setelah pembuangan nampaklah bahwa ibadahlah yang menjadi ikatan
hakiki yang mempersatukan bangsa Israel. Lebih jauh Joyce mengatakan bahwa di
kalangan Israel kuno komunitas, entah itu keluarga dekat, keluarga besar, suku
atau bangsa itu sendiri, amatlah penting dan ada suatu kaitan yang erat antara
kehidupan peribabadahan Israel dan rasa komunitas yang kuat ini. Namun pendapat
lain seperti H.Wheeler Robinson, mengatakan bahwa di kalangan Israel kuno
batas-batas kepribadian seorang individu tidak ditentukan dengan jelas dan
kebanyakan bagian PL harus dipahami dalam terang kenyataan yang dikemukakan
oleh pendapat itu bahwa individu bahkan tidak dibedakan dari kelompoknya.
Kelompok, kata Robinson, dapat dianggap seolah-olah mempunyai “Kepribadian
Kelompok” misalnya kasus Akhan dalam Yosua 7 yang akhirnya kelompok Akhan
dibunuh setelah terbukti kesalahannya. Namun menurut Joyce, pendapat Robinson
tentang “Kepribadian Kelompok” ini kadang-kadang kabur dan membingungkan,
bahkan dalam tulisan Robinson sendiri.
Pemahaman lain yang
amat luas dianut tentang PL adalah pandangan yang mengatakan bahwa ada suatu
perkembangan yang teratur dan dapat ditelusuri dalam cara berpikir Israel dari
penekanan yang kuat terhadap komunitas menuju ke penekanan yang semakin kuat
terhadap individu. Namun demikian dasar pemahaman ini sama sekali tidaklah
sekuat apa yang biasanya diduga.
Jika kita meneliti
hubungan individu dengan komunitas Israel yang berkembang itu di dalam PL, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa teori perkembangan yang berkaitan dengan
gagasan-gagasan mengenai tanggung jawab di Israel haruslah ditanggapi dengan
penuh hati-hati.
Pada akhirnya, Joyce
menyimpulkan bahwa kita tidak mungkin berbicaran mengenai “Pemikiran Israel”
sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan atau dilukiskan secara persis, karena
Israel adalah suatu keberadaan yang demikian beranekaragam, yang membentang
melalui beratus-ratus tahun dan semakin menyebar di banyak negeri, serta
menghasilkan literatur keagmaan yang begitu bervariasi.
BAB 6
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
Dalam
bab ini, Barton membagi bahasannya dalam 8 bagian. Setiap bagian menekankan
beberapa hal yang berkaitan dengan teologi PL. Ulasannya cukup padat dan
jelimat tentang topik yang digumulinya.
Bagian pertama, ini
merupakan pendahuluan. Dalam pendahulua ini, Barton menjelaskan pemahaman orang
tentang Allah Israel dan bagaimana orang memulai studi-studi mengenai PL,
karena PL adalah sumber informasi langsung mengenai Allah yang harus dipercayai
oleh orang Kristen. Secara sederhana dikatakan bahwa “Teologi PL” adalah suatu
usaha menggali kebenaran-kebenaran ada di dalam PL.
Bagian kedua, ini
Barton menjelaskan bahwa bila dikaji secara kritis ada satu kemungkinan untuk
kemungkinan mempersatukan kembali PL dengan teologi Kristen. Hal ini terlihat
dari penyusunan sylabus studi-studi Alkitab dengan sebuah pendekatan “pencarian yang berliku”. Selanjutnya yang
sering terjadi juga adalah "pencarian religius" terhadap Israel kuno
disajikan sebagai suatu perkembangan bertahap menuju kebenaran. Menurut Barton,
ada sejumlah keberatan yang dapat diajukan pada pendekatan ini, bahkan pula
pada tingkat historis murni. Bahkan pada pandangan "pencarian yang berliku
"ini ada banyak jalan pintas dalam iman dan praktek PL sehingga kita sulit
memperdebatkannya sebagai prakondisi-prakondisi yang perlu bagi Yudaisme dan
Kekristenan yang muncul kemudian.
Bagian ketiga, Barton
mengupas secara tajam “Teologi Perjanjian Lama” itu dengan mengatakan bahwa
teologi PL harus dibedakan secara tajam dari bentuk “sejarah pemikiran
keagamaan Israel” karena: pertama-tama, jangan mengabaikan kesamaan keluarga
yang membentuk PL. Kesamaan itu tidak harus memiliki koherensi (keutuhan) dari
satu koleksi tulisan oleh seorang pengarang. Kedua, harus ada asumsi bersama,
yang barangkali lebih mudah ditemukan oleh para pembaca yang asing dengan agama
Israel ketimbang mereka yang tenggelam di dalam penelitiannya.
Bagian keempat, Barton
menampilkan pendapat dua teolog PL yang terkenal yakni: Walter Eichrodt
(Theology of the Old Testament) dan Gerhard von Rad (Old Testament Theology) .
Kedua teolog ini memiliki kemiripan dalam konsentrasi pada kesamaan keluarga
dari teks-teks PL. Mereka sama-sama berusaha menyajikan iman Israel , kelompok
keyakinan yang dipegang teguh oleh semua yang mengaku sebagai umat Allah dalam
PL. Bahkan lebih jauh Barton mengatakan, bahwa studi tentang
pernyataan-pernyataan sesungguhnya yang dibuat PL tentang Allah, dan tentang
kesamaan keluarga antara semuanya, tampaknya telah mencapai batas
kemungkinan-kemungkinannya dalam karya besar kedua ahli ini.
Bagian kelima ini,
Barton menjelaskan perkembangan studi teologi PL itu dengan munculnya babakan
baru bagi “Gerakan Teologi Bibilika”. Gerakan ini mencoba memahami PL dan
kemustahakannya bagi pembaca Kristen yang melihat apa yang ada di belakang teks
dan berusaha menangkap gagasan-gagasan dasar dan kategori-kategori yang
dipergunakan bangsa Israel. Artinya orang Kristen diajak belajar bagaimana
“berpikir secara Ibrani”. Gerakan ini sendiri pada umumnya sudah mati, tetapi
pengaruhnya hidup terus dalam segala cara yang tersembunyi.
Bagian keenam, Barton
mencoba mengembangkan “teologi biblika”. Menurutnya salah satu ciri yang
memberikan sastra PL adalah kesan bahwa ia merupakan bagian dari sebuah tradisi
tunggal. Dengan demikian “teologi biblika” cenderung menunjukkan bahwa
asumsi-asumsi itu terletak pada tingkat yang amat dalam, dan lebih kurang tidak
disadari. Hanya dalam pengertian yang amat luas dapat dikatakan bahwa kita
“belajar tentang” keberadaan Allah dengan jalan membuka PL. Tak ada bagian
dalam PL yang menegaskan, sebagai sepotong informasi baru, bahwa Allah itu ada. Bahkan lebih tajam
dikatakan bahwa amatlah sulit apabila kita ingin menemukan bagian-bagian dalam
PL yang dimaksudkan untuk menyampaikan informasi bahwa Allah itu adalah
Pencipta dunia. Dengan demikian menurut Barton, adalah merupakan tugas teologi
PL untuk menemukan suatu cara untuk menjembatani jurang antara keinginan para
ahli akan informasi mengenai apa yang dipercayai Israel, dan keinginan orang
percaya modern akan informasi seperti apakah Allah itu sebenarnya.
Bagian ketujuh, Barton
memasuki tahapan yang lebih menjelaskan tujuan teologi PL itu sendiri. Tujuan
teologi PL adalah usaha untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang akan
menolong kita dalam membaca dan menggunakan PL dengan pemahaman yang lebih
mendalam. Peranan teologi PL adalah menolong kita mengerti kumpulan karya
sastra yang khusus dengan menjelaskan berbagai konsep yang digunakannya.
Bagian kedelapan ini,
Barton menjelaskan lebih mendalam lagi tujuan yang dapat dilayani sebuah buku
“Teologi Perjanjian Lama”. Pertama, adalah memberikan kita segala jenis
informasi latar belakang yang akan menolong kita memahami tradisi religius yang
termasuk di dalamnya tulisan-tulisan PL. Kedua, dapat kita gunakan untuk
menghampiri masalah dan berusaha menganalisis pernyataan-pernyataan teologis
yang sesungguhnya yang dibuat dalam berbagai kitab PL dan mencari cara-cara
untuk menggambarkan suasanan teologisnya atau implikasinya dan bahkan
menyampaikan “pengajaran”.
BAB 7
BERBAGAI PENDEKATAN ETIKA DALAM PERJANJIAN LAMA
Ternyata PL juga
memiliki nilai-nilai etika yang luar biasa. Itulah yang akan dicoba dikupas
Barton dalam bab ini dalam empat bagian bahasannya. Terasa sulit memang jika
berbicara mengenai etika ini karena selalu berkata antara ‘ya’ dan ‘tidak’.
Namun bagaimanakah konsep etika dalam PL? Mari kita melihat dari berbagai
pendekatan yang berikut ini.
Bagian pertama, Barton
mencoba mengutip 1Samuel 15:32-33 sebagai salah satu contoh kasus dalam PL yang
merepresentasikan pendekatan etika dalam PL. Salah satu maksud bab ini memang
memberikan kesan bahwa PL menyimpan titik pandang etika yang begitu beraneka
dan bahwa ada banyak “etika
Perjanjian Lama”.
Bagian kedua ini,
Barton mengemukakan bahwa “Etika
Perjanjian Lama”
bisa mengacu pada dua hal. Pertama, kadang-kadang “etika PL” berarti studi tentang
perkembangan historis ide-ide tentang moralitas, atau tentang perilaku moral
yang sesungguhnya, di kalangan Israel kuno. Studi semacam ini tidak harus
historis “melulu”, namum demikian harus
bersifat historis, karena harus merekonstruksikan bukti-bukti yang diberikan
oleh teks PL. Kedua, adalah dengan menganggap PL secara hakiki sebagai kitab
yang merupakan bagian dari Kitab Suci orang Kristen.
Bagian ketiga, Barton
membicarakan etika di Israel kuno. Etika di Israel kuno ini akan diuji dalam
tiga hal yang memuat indikasi-indikasi bahwa ada banyak pandangan dan tradisi
yang berbeda di Israel. Pertama, norma-norma moral. Norma-norma perilaku yang
diterima di kalangan Israel kuno sangat bervariasi. Hal ini disebabkan dua
faktor variabel yaitu: (a) waktu; dan (b) kelompok sosial. Kedua, dasar etika.
Menurut Barton, orang Israel tidak memiliki dasar etika yang pasti dan baku.
Israel kuno tak memiliki sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “filsafat
moral”, tak ada usaha untuk menyusun secara sistematis dasar etika, dan
memperjelas mengapa kewajiban-kewajiban atau norma-norma mempunyai sifat
mengikat. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa semua dasar etika Israel tidak
sama, karena moralitas dapat bersifat religius dalam lebih dari satu cara.
Keempat, motif dan dorongan
bagi perilaku moral. Secara kasar dapat digolongkan dorongan bagi perilaku
moral dalam PL adalah: (a) sebagian memandang ke masa depan, (b) sebagian
memandang ke masa lampau, dan (c) sebagian memandang ke masa kini.
Bagian terakhir, dalam
ulasan Barton ini adalah mengenai etika PL. Etika PL ini mencoba melihat
keberadaan norma-norma moral dan dasar moralitas dari sudut PL. Oleh karena itu
kita akan melihat etika PL dari dua pandangan yaitu: pertama, norma-norma
moral. Dari berbagai kasus-kasus yang ditemukan di dalam PL, maka dapat
dikatakan bahwa prinsip-prinsip moral yang disepakati kitab-kitab PL mempunyai
tingkat generalitas yang cukup tinggi. Dalam banyak hal prinsip-prinsip itu
juga ditemukan di antara sistem-sistem keagamaan Semit di masa dahulu maupun
modern. Kedua, dasar etika. Kategori dasar etika dalam PL adalah “hukum”.[20]
Cara terbaik untuk menghampiri sistem etika PL sebagai “Torah” adalah mengingat
bahwa maksud PL yang terutama ialah untuk memberikan bahan-bahan yang akan
memberikan kesan tentang pola atau bentuk cara kehidupan yang dijalankan di
hadapan Allah. Jadi, untuk bentuk akhir PL, perilaku moral praktis berkaitan
erat dengan “spiritualitas”: masalah gaya hidup.
BAB 8
PERJANJIAN LAMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERJANJIAN
BARU
Menurut
Joyce, hubungan PL dan PB memiliki hubungan yang sangat erat, namum di dalamnya
ada banyak masalah yang timbul yang harus disikapi oleh orang Kristen. Baik PL
maupun PB sama-sama berakar dalam sejarah – inilah bagian dari kekuatan mereka.
Masing-masing dihasilkan dalam seluruh rentangan latar belakang budaya,
membahas masalah-masalah dari latar belakang itu, dipengaruhi oleh atau
bereaksi terhadap ide-ide dari masa itu. Akan ada bagian-bagian PL maupun PB
yang kita rasakan tidak membangun atau relevan. Misalnya bagian penutup Mazmur
137 yang penuh dendam, atau barangkali, sebagian pernyataan Paulus tentang
perempuan atau budak. Harus kita aku bahwa kedua perjanjian itu memiliki
kebhinekaan, tak bisa lagi ada dikotomi hitam dan putih antara PL dan PB. PL,
seperti halnya PB, dihargai dan dihormati karena kekayaan yang dikandungnya.
Kemudian Joyce mengatakan pemahaman bahwa peristiwa-peristiwa dalam PB
menggenapi kata-kata PL lebih tersirat ketimbang tersurat.
Dalam ulasannya ini,
Joyce mengungkapkan hubungan antara PL dan PB dalam cara yang positif. Yang
terbaik hubungannya dapat dibayangkan pada dasarnya ada dalam kelanjutan besar
tradisi keagamaan. Dengan demikian, umumnya PL yang memberikan kosakata
teologis yang dipakai oleh para penulis PB untuk mengungkapkan pemahaman mereka
tentang kegiatan Allah di dalam Yesus.
BAB 9
EPILOG: MENGGUNAKAN PERJANJIAN LAMA
Menurut
Rogerson, bahwa banyak orang yang mempelajari PL tidak mau merasa puas dengan
mengetahuinya dari sudut pandangan sastra dan kritik sejarah saja namun mereka
ingin sekali menggunakannya dalam hidup mereka sehari-hari. Namun bagaimanakah penggunaan
PL dalam kehidupan sehari-hari? Rogerson memberikan beberapa cara
menggunakannya misalnya: pertama, penggunaan PL di Gereja. Dalam
kebaktian-kebaktian Gereja PL biasanya diberikan peranan sekunder setelah PB.
Akhirnya PL tidak begitu dikenal di kalangan jemaat. Karena kebhinekaan ada
dalam PL, maka inilah yang menjadi titik tolak bagi penggunaan PL di Gereja.
Namun kenyataannya, PL pemakaian PL di Gereja harus menjalani proses yang
panjang sekali. Secara ringkas Rogerson menjelaskan penggunaan PL dalam Gereja
menuntut hal-hal berikut: (a) pengetahuan mengenai keseluruhan isinya; (b)
pengakuan akan kebhinekaannya; (c) kesiapan untuk menghindari rumusan-rumusan
yang terlalu sederhana seperti rumusan murka Allah; (d) kerelaan untuk
melihatnya sebagai kesaksian bagi iman suatu bangsa yang hidup; (e) kesiapan
untuk mempelajari segala sesuatu yang mungkin dari pendekatan keilmuan akademis
dan kritis.
Kedua, menggunakan PL
dalam persoalan-persoalan sosial dan moral. Setelah memaparkan beberapa
kasus-kasus sosial dan moral di dalam PL, maka Rogerson menarik sebuah
kesimpulan bahwa kita dapat mengatakan bahwa penggunaan PL dalam soal-soal
sosial dan moral bukanlah sekedar persoalan mengutip teks dan menerapkannya
terhadap situasi-situasi modern. PL tidaklah dimaksudkan untuk menjadi buku
tentang aturan-aturan yang diterapkan dalam situasi manapun juga. PL adalah
catatan tentang kepekaan yang meningkat terhadap tuntutan-tuntutan sosial dan
moral yang tersirat dalam penebusan Allah yang penuh belas kasih.
TANGGAPAN BUKU
Memang
benarlah apa yang dikatakan Rogerson dalam kata pengantarnya, bahwa
tulisan-tulisan dalam buku ini bukan dimaksudkan sebagai pengantar kepada isi
PL, melainkan lebih merupakan pembimbing tentang bagaimana menghampiri studi PL
seara ilmiah. Dan harus diakui agak jarang buku-buku yang diterbitkan yang
bersifat seperti ini dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti tidak ada. Berkaitan
dengan ini, buku lain yang bisa membantu para pemula dalam studi PL ini
misalnya: Teologi Perjanjian Lama
dan Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama.
Metode penafsiran dalam
studi PL yang dipaparkan David J.A.Clines secara umum untuk bagi pemula studi
PL memang sudah cukup lumayan. Namun untuk studi lanjutan tentang topik ini,
John H.Hayes dan Carl R.Holladay
lebih
mendalam menjelajahi dunia PL. Disamping yang disampaikan Clines masih ada lagi
pendekatan yang lebih tajam diuraikan mereka misalnya mengenai: penyatuan semua
langkah studi PL itu, mulai dari kritik sejarah hingga kepada kritik bentuk dan
pemanfaatan hasil-hasil penafsiran Alkitab.
Hubungan PL dan PB yang
diuraikan oleh Joyce, memang benar masih banyak kesulitan-kesulitannya sama
seperti pemahaman Hasel.
Menurut
Hasel, Rudolf Bultmanlah yang berjasa mencari kaitan antara kedua Perjanjian
itu dalam kurun sejarah faktual Israel. Bultman mengatakan PL merupakan
prakiraan tentang PB tidak lebih tidak kurang. Dia menyokong pendapat tentang
tidak adanya hubungan teologis samasekali antara PL dan PB. Hubungan antara
kedua Perjanjian “samasekali tidak relevan secara teologis”. Sementara Klaus
Schwarzwaller berpendapat bahwa PL berkaitan dengan PB dipandang dari segi
rumusan tentang “rangkaian bukti dan hasil”. PL hanya dapat dipahami dari
Kristus karena PL menunjukkan ke depan kepada Dia. “Peristiwa Kristus mencakup
sejarah perjanjian lama dan menunjuk kembali kepada kesaksian-kesaksiannya”
Kupasan Rogerson
tentang bagaimana menggunakan PL, masih bersifat umum. Namun yang lebih penting
sebenarnya adalah bagaimana menggunakan PL ini secara dalam kehidupan dan budaya
kita masing-masing. Misalnya, Peran PL dalam perjuangan untuk menegakkan
keadilan sosial, peran PL dalam proses interaksi antara teologi Kristen dan
teologi Islam, pentingnya PL dalam dialog Kristen-Muslim. Demikian juga Longman
III, dia mencoba mengupas bagaimana orang Kristen mengaplikasikan PL dalam
kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar