TUGAS PRESENTASI
KONSEP ALLAH
MENURUT PERJANJIAN LAMA
Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah :
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA - 1
Yang
Dibina Oleh :
Gomgom Purba, M.Th
Nama Kelompok :
Frida
Juliati Sitanggang
Roy
Damanik
Yariawati
Laia
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG
Berbicara tentang Allah dan siapa
itu Allah merupakan hal yang sudah sering kita dengarkan, bahkan menjadi hal yang
biasa dalam kehidupan kita. Namun dalam hal ini, muncul satu pertanyaan, apakah
kita sudah benar-benar mengerti tentang Allah?. Berbicara tentang mengerti
berarti memahami. Dari hal ini, muncul kembali pertanyaan kedua, apakah kita
mampu mengerti dan memahami Allah?. Tentu sekali kita tidak akan mampu memahami
Allah, karena akal budi kita terlalu kecil, pengetahuan kita terlampau
terbatas, diri kita terlalu terbatas untuk dapat mengerti Allah yang tidak
terbatas. Namun, kita hanya bisa membuat pendekatan-pendekatan untuk bisa
mengerti maksud Allah dalam hidup kita.
Dalam makalah ini, kelompok kami akan membahas pendekatan tentang pengertian Allah,
sifat Allah, atribusi Allah, serta hal lainnya berhubungan dengan konsep Allah
dalam Perjanjian Lama. Sehingga kami berharap melalui pemaparan dalam makalah
ini, kita dapat memiliki pemahaman yang benar tentang konsep Allah yang
sesungguhnya.
- RUMUSAN
MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dari penulisan makalah ini, adalah :
- Apa
pengertian Allah secara umum, serta dalam berbagai zaman?
- Apa
pengertian Allah berdasarkan nama Allah dalam Alkitab?
- Apa
saja sifat dan atribusi Allah?
- Apakah
konsep Allah Tritunggal ada dalam Perjanjian Lama?
- TUJUAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan
makalah ini, adalah :
- Memahami dengan baik pengertian Allah secara umum,
serta dalam berbagai zaman.
- Memahami dengan baik pengertian Allah berdasarkan
nama Allah dalam Alkitab.
- Memahami
dengan baik tentang sifat dan atribusi Allah.
- Memahami dengan baik konsep Allah Tritunggal dalam
Perjanjian Lama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TENTANG ALLAH
1. SECARA UMUM
Allah (Bahasa Inggris :
God) adalah nama zat yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha
Penyayang, yang berhak disembah oleh seluruh manusia. Tanggapan mengenai Allah
berbeda-beda pada tiap-tiap agama, seperti dalam agama Kristen, Yahudi, Islam,
dan agama politeis. Tetapi walaupun demikian, Allah merupakan satu konsep yang
dapat dijumpai secara universial pada setiap bangsa dan agama.[1]
2. DALAM BERBAGAI ZAMAN
Kejadian
1-11 berasumsi bahwa manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, dan
mereka mempunyai kesadaran akan Allah. Dalam pasal-pasal itu Allah dinamakan
YHWH . Menurut pengertian yang lazim tentang Keluaran 6, nama itu bukanlah nama
Allah yang dipakai oleh manusia pada masa prasejarah, melainkan merupakan
tafsiran teologis oleh penyunting pada kemudian hari. Penyunting tersebut
berpendapat bahwa sekalipun manusia belum mengenal nama YHWH, namun mereka
sungguh-sungguh menyembah Dia. Manusia itu mengenal Allah sebagai pencipta
dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung. Mereka memberi respon pada Dia
dalam bentuk persembahan, permohonan dan pemberitaan. Kejadian 1-11 secara
tidak langsung memperlihatkan adanya kesadaran keagamaan pada semua manusia.
Hal itu sejajar dengan pengertian bahwa semua manusia mempunyai kesadaran
akhlak, seperti yang dinyatakan dalam Amos 1-2. Kejadian 1-11 juga menunjukkan
bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan campur tangan dalam
perkara-perkaranya, sesuai dengan pandangan Amos 9:7.
Kejadian
12-50 juga berbicara tentang Allah yang kemudian hari disembah Israel sebagai
YHWH. Namun Allah itu juga disebut dengan nama lain, yaitu ‘El, yang sering
digabungkan dengan ungkapan lain. Dalam bahasa-bahasa Semit terdapat kata yang
seakar dengan ‘El, yaitu ‘Il. Sama seperti kata ‘Il tersebut, kata ‘El dalam
bahasa Ibrani dapat berfungsi sebagai kata benda yang berarti “ilah” (sama
seperti ‘Elohim, Keluaran 15:2; 20:5) atau menjadi nama pribadi untuk ilah itu.
Karena itu kata ‘El kadang-kadang disalin saja sebagai ‘El (nama),
kadang-kadang diterjemahkan “Allah” atau “ilah”.
Dalam
agama Kanaan, “El dianggap sebagai kepala dewa. Kejadian 14 menceritakan
tentang Abraham dan Melkisedek, imam dan raja kota Salem yang memberkati
Abraham demi nama Allah-nya, “Allah yang Mahatinggi (‘El Elyon), Pencipta
langit dan bumi” (ayat 19). Abraham juga bersumpah demi “Tuhan Allah Yang
Mahatinggi (El Elyon), Pencipta langit dan bumi” (ayat 22). Peristiwa ini memberi
kesan bahwa Abraham (dan penulis Kitab Kejadian) mengakui bahwa Melkisedek (dan
mungkin juga orang-orang Kanaan lain yang memuja El) melayani Allah yang benar,
namun tidak mengetahui segala sesuatu tentang Dia. Pada kemudian hari Israel
menduduki Salem, kota Melkisedek itu, dan menamakannya Yerusalem (juga Sion).
Mereka menjadikannya tempat utama untuk pemujaan YHWH, sebagaimana dinyanyikan
oleh nabi dan pernazmur: “Tuhan mengaum dari Sion” (Amos 1:2); “Dari Sion,
puncak keindahan, Allah tampil bersinar” (Mazmur 50:2).
Kejadian
21:33 memberi kesan yang sama. Dalam ayat itu dikatakan bahwa Abraham memanggil
nama Tuhan, ‘El Olam, Allah yang kekal. Nama tersebut dipakai untuk YHWH hanya
dalam ayat ini, namun dalam naskah-naskah dari Kanaan ditemukan nama yang mirip
untuk menyebut dewa orang Kanaan. Naskah-naskah itu juga menyebut ‘El sebagai
yang memberkati, yang memberi keturunan, yang menyembuhkan dan yang memimpin
dalam perang.
Ezra,
Nehemia dan Daniel menyebut Allah sebagai “Tuhan, Allah semesta langit”, suatu
gelar yang dapat diberikan kepada dewa utama bangsa-bangsa lain dalam kerajaan
Persia (lihat Ezra 1:2; 5:11-12; 6:9-10; 7:12,21,23; Neh. 1:4-5; 2:4,20; Daniel
2:18-19, 37,44; 5:23 (“Yang berkuasa di sorga”). Daniel, Ezra dan Nehemia
melayani raja Persia dan seperti Yusuf dahulu, Daniel dengan teman-temannya
mendapat nama-nama asing yang mempunyai makna keagamaan. Namun demikian, Ezra
dan Nehernia sama-sama menegaskan bahwa umat YHWH harus dipisahkan dari bangsa
dan agama sekitarnya. Dan Daniel menghimbau supaya orang Yahudi tetap setia
kepada YHWH serta hidup dengan suci (Daniel 1), dan supaya mereka
mempertahankan ibadat (Daniel 3) dan kesalehan mereka (Daniel 6).
4)
Zaman
Yunani[5]
Pandangan
pada zaman Yunani, yaitu zaman terakhir yang tulisannya termuat dalam
Perjanjian Lama, hampir sama dengan pandangan pada zaman Babel dan Persia.
Seperti Daniel (Daniel 5:23), raja Babel berpandangan bahwa YHWH sama dengan
“Yang Berkuasa di sorga”, dewa tertinggi Siria. Pada zaman tertentu dan dalam
arti tertentu orang Yahudi mungkin dapat menerima pandangan itu, namun ternyata
penglihatan dalam Kitab Daniel menunjukkan bahwa keduanya tidak saling sesuai.
Mengikuti perintah-perintah raja dalam bidang agama berarti tidak setia kepada
Allah Israel. Sekali lagi, Perjanjian Lama memberi kesan bahwa “keterbukaan
terhadap agama-agama lain terkadang dapat diterima, tetapi ada kalanya
keterbukaan itu membahayakan agama dan bangsa Israel, sehingga harus ditolak”.
3. BERDASARKAN NAMA ALLAH DALAM
ALKITAB[6]
1) El, Elohim dan Elyon
Nama
yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama adalah
nama “El”. Dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris di pakai kata God atau god
(Allah atau Dewa). Kata padanan ini mempunyai bentuk yang sama asalnya dari
bahasa-bahasa Semitis lainnya, yang berarti suatu allah atau dewa dalam
pengertian yang luas. Karena sifatnya yang umum itu, maka kata tersebut sering
dihubungkan dengan kata sifat (ajektif) dan sebutan (predikat) tertentu.
Misalnya Ulangan 5:9 mencatat “Aku, Tuhan (Yahweh), Allah-mu (Elohim), adalah
Allah (El) yang cemburu”. El adalah kata benda nama diri, nama dari “Allah”
orang Kanaan yang anaknya adalah Ba’al. Bentuk jamak dari El adalah Elohim dan
bila dipakai sebagai jamak, diterjemahkan “dewa-dewa”.
Nama
Elohim, adalah kata benda jamak maskulin bermakna Allah (Mazmur 86:12),
ilah-ilah (1 Samuel 5:7), dewa (1 Raja-raja 18:24), hakim-hakim (Keluaran
22:8), dan malaikat-malaikat (Mazmur 8:6). Kata ini muncul lebih dari 2.600
kali dalam Tanakh Ibrani (Perjanjian Lama), bentuk tunggalnya adalah “Eloah”
yang berarti “dilingkupi ketakutan” dan ini menunjuk kepada Allah sebagai Dia
yang kuat dan berkuasa, atau merupakan objek dari rasa takut. Nama Elohim
jarang sekali muncul dalam bentuk tunggal, kecuali dalam puisi. Meskipun bentuk
kata אלהים – ‘Elohim
adalah jamak, kata itu (terutama jika merujuk kepada Tuhan Allah) berarti
tunggal.
Nama
Elyon berarti: “ke atas, ditinggikan” dan menunjuk Allah sebagai Dia yang
tinggi dan dimuliakan (Kejadian 14:19-20, Bilangan 24:16, Yesaya 14:14). Nama
ini sering ditemukan dalam bentuk puisi. Nama itu juga dipakai untuk menunjuk
kepada berhala (Mazmur 95:3, 96:5), untuk menunjuk manusia (Kejadian 33:10,
Keluaran 7:1), dan tentang penguasa (Hakim-hakim 5:8, Keluaran 21:6, 22:8-10,
Mazmur 82:1). Elyon yang juga berarti Allah Yang Mahatinggi adalah gelar Allah
seperti yang disembah oleh Melkisedek. Elyon terdapat dalam Bilangan 24:16,
dalam Mazmur 7:17 sebutan ini dirangkaikan dengan Yahweh.
2) Adonai
Nama
Adonai ini sangat erat hubungannya
dengan nama El, Elohim, atau Elyon. Kata Adonai diturunkan dari kata “dun”
(din), atau “adan” yang keduanya berarti menghakimi, memerintah dan dengan
demikian menunjuk kepada Allah sebagai Penguasa yang kuat, dan kepadaNya
manusia adalah hamba. Pada jaman dulu Adonai adalah nama yang biasa dipakai
bangsa Israel untuk menyebut Allah. Tetapi kemudian diganti dengan nama Yehova
atau Yahweh. Semua nama yang disebut itu menunjuk kepada Allah sebagai Dia yang
tinggi dan dimuliakan.
3) Shaddai dan El-Shaddai
Nama
Shaddai diturunkan dari kata “Shadad” yang artinya penuh kuasa, dan menunjuk
kepada Allah sebagai pemilik kuasa di surga dan di bumi. Akan tetapi ada juga
orang lain yang berpendapat bahwa nama ini berasal dari kata “shad” yang
artinya “tuan”. Nama ini berbeda dengan Elohim, Allah dari ciptaan dan alam
semesta, dalam arti bahwa nama shaddai menunjuk kepada Allah sebagai subjek
dari semua kekuatan di alam dan memakai segala sesuatu yang ada di alam sebagai
alat atau sarana bagi karya anugerah ilahi.
Walaupun
menekankan kebesaran Allah, nama ini tidak mewakili Allah sebagai objek rasa
takut atau kegentaran, tetapi sebagai sumber berkat dan kedamaian. Dengan nama
inilah Allah datang kepada Abraham, bapa segala orang beriman. Keluaran 6:2
mengatakan: “Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai
Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku Tuhan Aku belum menyatakan diri.”
4) Yahweh dan Yahweh Tsebhaoth
Kata
Ibrani Yahweh kadang-kadang diterjemahkan Yehova. Naskah asli bahasa Ibrani
tidak membubuhkan tanda-tanda huruf
hidup pada kurun waktu “tetragrammaton” (4 huruf), YHWH dianggap teramat
suci untuk diucapkan, jadi “adonay” (Tuhan-ku) dipakai sebagai penggantinya
bila membacakannya, dan huruf-huruf hidup dari perkataan ini digabungkan dengan
huruf-huruf mati YHWH sehingga terbentuklah “Yehova” suatu bentuk yang pertama
kalinya diperkenalkan pada permulaan abad 12 M.
Nama
Yahweh juga berarti Allah menyatakan diriNya sebagai Allah anugerah. Nama ini
dianggap nama yang paling sakral dan paling diagungkan di antara nama-nama yang
lain, sebagai Allah yang tidak mungkin berubah. Orang Yahudi mempunyai rasa
takut tersendiri untuk menyebut nama ini, karena mereka selalu ingat kepada
Imamat 24:16 yang berbunyi : “Siapa yang
menghujat nama Tuhan pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh
seluruh jemaat itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat
nama Tuhan haruslah dihukum mati.”
Karena
rasa takut itu maka dalam membaca Kitab Suci, orang Yahudi menggantinya dengan
“Adonai” atau “Elohim”. Keluaran 3:14 mengatakan: “Aku adalah Aku” atau bisa
juga berarti : “Aku akan menjadi apa yang Aku akan menjadi”. Jika ditafsir
dengan pengertian seperti itu, maka nama itu menunjuk kepada keadaan Tuhan yang
tidak berubah. Namun demikian, yang menjadi pokok persoalan bukanlah Allah
tidak berubah dalam keberadaan esensiNya, seperti Dia tidak berubah dalam kaitan
hubunganNya dengan umatNya melainkan nama itu mengandung jaminan bahwa Allah
akan menjadi milik bagi umat Israel pada jaman Musa, sama seperti Allah menjadi
Allah bagi Bapa leluhur mereka Abraham, Ishak dan Yakub.
Nama
itu menekankan kesetiaan perjanjian Allah (Keluaran 15:3 “Tuhan itu pahlawan
perang; Tuhan, itulah nama-Nya”, Mazmur 83:19, Hosea 12:6, Yesaya 42:8, “Aku
ini Tuhan, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang
lain atau kemasyuran-Ku kepada patung”), dan dengan demikian nama itu tidak
dipakai untuk siapapun, kecuali untuk nama Allah orang Israel. Sifat ekslusif
dari nama itu muncul dari kenyataan bahwa nama itu tidak pernah muncul dalam
bentuk jamak atau dengan awalan.
Nama
Yahweh Tsebhaoth, “Tuhan semesta alam” adalah gelar Allah, nama ini tidak
terdapat dalam Kitab-kitab Pentateukh pertama kali muncul dalam 1 Samuel 1:3
sebagai gelar yang dengannya Allah disembah di Silo. Nama ini dipakai oleh Daud
waktu ia menghadapi Goliat orang Filistin (1 Samuel 17:45) dan Daud
menggunakannya lagi sebagai klimaks dari nyanyian kemenangan yang
gilang-gemilang (Mazmur 24:10). Nama ini biasa dipakai dalam Kitab Nabi-nabi
(88 kali dalam Yeremia), dan dipakai untuk menunjukkan bahwa Tuhan setiap saat
adalah Penyelamat dan Pelindung bagi umat-Nya (Mazmur 46:7,11). Arti harfiah
Tsebhaoth ialah tentara, (Band. 1 Samuel 17:45 “Tetapi Daud berkata kepada
orang Filistin itu: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan
lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah
segala barisan Israel yang kautantang itu”). Tetapi segera diperluas menjadi
seluruh tentara langit, siap sedia untuk melaksanakan perintah Allah.
B.
SIFAT-SIFAT
ALLAH
Karena bahasa
dan pengertian manusia terbatas, maka tidak mungkin manusia mampu menentukan
defenisi sifat Allah dengan satu kata atau satu kalimat untuk menjelaskan sifat
Allah seluruhnya. Namun melalui Pengakuan Iman Westminster (29 April 1647).
Disimpulkan beberapa defenisi sifat Allah, sebagai berikut[7] :
1)
Allah tunggal adanya (Ul. 6:4).
2)
Hidup dan benar (Yer. 10:10).
3)
Sempurna dan tidak terbatas (Ayub
11:7-9).
4)
Tidak berbadan (Ul. 4:15-16).
5)
Tidak berubah (Mal. 3:6).
6)
Tidak terbatas dalam kuantitas (1 Raj.
8:27; Yer. 23:23-24).
7)
Kekal adanya (Maz. 90:2).
8)
Tidak dapat diperkirakan atau diukur
(Maz. 145:3).
9)
Yang Mahakuasa (Kej. 17:1).
10)
Mahasuci (Yes. 6:3).
11)
Mahabebas; bebas dalam menentukan segala
sesuatu (Maz. 115:3).
12)
Dia adalah Aku ada dan Yang Aku ada
(Kel. 3:14).
13)
Dia beroleh kemuliaan bagi diriNya
sendiri (Ams. 16:4).
14)
Mengampuni dosa (Kel. 34:6-7).
15)
Menghakimi dengan adil dan tepat (Neh.
9:32-33).
16)
Benci dengan dosa (Maz. 5:5-6).
C.
ATRIBUSI
ALLAH
Atribusi merupakan
beberapa ciri khas sifat Allah. Ciri khas sifat Allah merupakan konsep dasar
untuk menyatakan keberadaan diriNya kepada makhluk ciptaanNya. Atribusi
menunjukkan hal-hal yang dasar dari sifat Allah, hal-hal yang tidak berubah
dari Allah, dan kualitas atau karakter Allah yang nyata dari Allah. Adapun atribusi
Allah, antara lain[8]
:
1) Allah
itu Esa
2) Allah
itu Penyayang
3) Allah
itu Kekal
4) Allah
itu Setia dan Dapat Dipercaya
5) Allah
itu Baik
6) Allah
itu Pengasih
7) Allah
itu Kudus
8) Allah
itu Tidak Memihak
9) Allah
itu Adil
10) Allah
itu Kasih
11) Allah
itu Murah Hati
12) Allah
itu Mahakuasa
13) Allah
itu Mahahadir
14) Allah
itu Mahatahu
15) Allah
itu Panjang Sabar
16) Allah
itu Mahabenar
17) Allah
itu Mahaada
18) Allah
itu Kebenaran
19) Allah
Tidak Pernah Berubah
20) Allah
Memiliki Kebebasan (Berdaulat)
21) Allah
Memperlihatkan Kasih Setia
Perjanjian Lama
mengajarkan bahwa Allah itu Esa. “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah
kita, Tuhan itu esa!” (Ulangan 6:4). Kata “Tuhan” berasal dari kata “YHWH”,
kata “Allah” berasal dari kata “Elohim”, kata “esa” berasal dari kata “Echad”
yang artinya adalah “Satu”. Maksud satu disini adalah Unified One, sama dengan
kata “satu” dari dua menjadi “satu” daging di dalam Kejadian 2:24. Kata “satu”
disini mengandung arti satu kesatuan (compound unity). Keesaan dari Allah
dinyatakan sebagai esensi-Nya atau keberadaan-Nya (YHWH yang Esa), sedangkan
keragaman-Nya diekspresikan dalam gelar Elohim (yang merupakan bentuk kata
Jamak).
Di dalam
Perjanjian Lama, ayat yang pertama kali menyiratkan mengenai ketritunggalan
adalah Kejadian 1:26: “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.” Selain itu, terdapat juga dalam Kejadian
3:22 dan Kejadian 11:7. Kata “Kita” merupakan bentuk jamak. Terlihat jelas
bahwa sejak awal penciptaan ketiga pribadi Allah telah bekerja sama untuk
menciptakan alam semesta ini. Kejadian 1:2 bahkan menegaskan peran Roh Allah
dalam penciptaan bumi.
Untuk dapat
memahami ayat-ayat dari Perjanjian Lama, memerlukan pengetahuan, pemahaman dan
analisa bahasa Ibrani. Dalam Kejadian 1:1, Kata yang digunakan untuk “Allah”,
ditranslasikan dari bahasa Ibrani “Elohim”. Kata ini adalah bentuk jamak.
Bentuk tunggalnya adalah El (contohnya El Shaddai, El Roi, dan lain-lain).
Dalam bahasa
Inggris hanya ada dua bentuk kata, single (tunggal) dan plural (jamak). Dalam
Bahasa Ibrani ada tiga macam bentuk kata : tunggal, dual dan jamak. Dalam Bahasa
Ibrani, bentuk dual digunakan untuk hal-hal yang berpasangan, seperti mata,
telinga dan tangan. Kata “Elohim” dan kata ganti “kita” adalah dalam bentuk
jamak, jelas lebih dari dua. Artinya, orang Ibrani memahami dengan tepat, bahwa
YHWH yang Echad itu adalah Elohim (yang jamak, Ul. 6:4). Pemahaman mereka
mengenai Allah tersebut mempunyai makna bahwa mereka tahu persis bahwa Elohim yang
mereka sembah terdiri lebih dari satu pribadi. Itulah sebabnya, ketika membaca
kitab Kejadian 1:26; 3:22; 11:7, mereka tidak heran dengan penggunaan kata
“Kita” oleh Allah. Sebab mereka tahu, bahwa Allah atau Elohim yang Esa itu
terdiri lebih dari dua.
Hanya saja, pada
masa Perjanjian Lama, Allah belum menyingkapkan ketiga pribadi tritunggal
(Bapa, Putera dan Roh Kudus) kepada bangsa Israel. Barulah ketika Tuhan Yesus
menyatakannya dalam Matius 28:19 (..baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak
dan Roh Kudus), kita mengetahui dengan pasti bahwa Elohim yang jamak itu
ternyata terdiri dari tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus)
dan Allah Roh Kudus.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah memaparkan tentang konsep Allah dalam Perjanjian Lama. Dapat disimpulkan bahwa Allah adalah Dia yang maha kuasa, yang tidak dapat dipahami dengan
pemahaman manusia, bahkan tidak dapat dipahami hanya dengan satu kalimat atau
satu kata saja. Dia adalah pribadi yang tidak terbatas, tidak berawal dan tidak
berakhir, namun nyata adanya. Meskipun banyak para ilmuwan dan theolog yang
berusaha menolak keberadaannya melalui berbagai teori, namun hal tersebut tidak
pernah berhasil menolak keberadaan Allah.
Tentu
dalam hal iman, akal pikiran kita akan menjadi lawan kita untuk memahami keberadaan Allah. Namun, kita perlu pahami, walaupun pikiran
kita yang terbatas tidak dapat memahami hal-hal yang tidak terbatas yakni Allah,
namun kita mempunyai cukup informasi untuk mengetahui Ke-Allahan yang berusaha
menyelamatkan kita dari dosa dan menjamin suatu tempat bagi kita dalam kerajaan
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar