Senin, 22 Februari 2016

SEMESTER VI (TUGAS MAKALAH RESPON DAN TANTANGAN MASA KINI MENURUT MISSIO DEI, MISSIO HOMINUM, MISSIONES ECCLESIARUM DAN MISSIO POLITICA OECUMENICA)

TUGAS MAKALAH
RESPON DAN TANTANGAN MASA KINI
MENURUT MISSIO DEI, MISSIO HOMINUM,
MISSIONES ECCLESIARUM DAN
MISSIO POLITICA OECUMENICA


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas kemurahan-Nya tugas makalah ini dapat penulis selesaikan dengan tepat waktu. Tugas ini penulis serahkan kepada pembina mata kuliah Teologi Misi, Ibu Debora Y.S. Kim, M.Th., sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada seluruh mahasiswa.

Penulis memohon kepada ibu dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam tugas makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih baiknya karya tulis yang akan datang.


Batam, 22 Mei 2015



Hormat Saya
Roy Damanik

BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan etimologi, Teologi berasal dari bahasa yunani yang berarti ilmu (logia) tentang Allah (Theos). Secara sempit Teologi diartikan sebagai ajaran tentang Allah. Sedangkan misi secara etimologi berasal dari bahasa latin “Mito” yang memiliki arti mengutus, dalam PB dijabarkan dalam kata “evangelion” yaitu kabar baik, juga “evangelos” yang berarti memberitakan kabar baik, dan “evangeliso” yaitu pemberita Injil. Dari hal tersebut, Misi didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memberitakan kabar baik. Alkitab mengatakan supaya kita menjadi saksi Tuhan Yesus di Yerusalem yaitu kota di mana kita tinggal, di Yudea dan Samaria yaitu di propinsi-propinsi tetangga, dan ke ujung-ujung bumi.[1]
Jadi dapat kita simpulkan bahwa Teologi Misi adalah suatu usaha untuk mengenal Allah beserta misi-Nya untuk menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus. Teologi Misi tidak terlepas dari pengutusan, misi tidak akan dapat berjalan apabila tidak ada pengutusan. Dalam pembahasan makalah ini, penulis akan membahas tentang pengutusan oleh Allah sendiri (Missio Dei), Gereja (Missiones Ecclesiarum), Manusia (Missio Hominum) dan Peradaban Bangsa-Bangsa, Budaya dan Politik (Missio Politica Oecumenica). 

BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN TEOLOGI MISI
Teologi merupakan “deum docet, Deo docetur dan Deum Ducet”. Defenisi ini menegaskan mengenai mission Dei, bahwa Allah adalah Inisiator, Eksekutor dan Dinamisator misi. Defenisi ini mengandung dua sisi, yaitu: sisi pertama bahwa teologi mengajarkan tentang Allah (sisi theologia) dan sisi kedua ialah theologia memimpin orang kepada Allah. Teologi Misi merupakan kombinasi yang harmonis antara teori dan praktek, antara word dan deed, antara teologia dan berteologia dalam misi, seperti yang dikemukakan oleh Gort bahwa misi adalah termasuk word dan deed. Misi adalah kata yang menjelaskan secara komperehensif mengenai tugas umat Allah. Teologi Misi memiliki peran yang esensial dalam misiologi, baik pemahaman maupun pelaksanaan.[2]
Bosch membedakan pengertian kata “misi” dalam bentuk tunggal dan kata “misi” dalam bentuk jamak. Kata “misi” (bentuk tunggal) mengacu pada Missio Dei (misi Allah), artinya penyataan diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia, keterlibatan Allah di dalam dan dengan dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang merangkul Gereja dan dunia serta di mana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa untuk ikut serta. Missio Dei memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah untuk manusia. Sedangkan kata “misi” dalam bentuk jamak, mengacu pada bentuk-bentuk khusus, yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kebutuhan tertentu dari partisipasi di dalam Missio Dei.[3]

B.   MISSIO DEI
Missio Dei merupakan pengutusan oleh Allah, dimana Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek segala pengutusan, terutama pengutusan Anak-Nya. Dialah pengutus agung. Pengutusan ini berhubungan erat dengan keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia, pemilihan Israel, pengutusan para nabi kepada bangsa Israel dan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya, pengutusan Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia, pengutusan rasul-rasul dan pekabar-pekabar Injil kepada bangsa-bangsa. Misi berasal dari Allah dan berakhir pada Allah. Allah adalah Allah yang mengutus, yang keluar menuju dunia. Ia yang mengutus Putra dan Roh-Nya.[4]
Di dalam Missio Dei, karya misi pertama-tama dilihat sebagai karya Allah, yakni Allah yang mengutus diri-Nya kepada dunia. Allah hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dan memanggilnya untuk menerima tawaran rahmat-Nya. Dampak dari karya rahmat yang mengkristal dan mengendap di dalam kehidupan manusia menjadi saksi hubungan yang telah terjalin antara Allah dengan manusia sepanjang zaman. Manusia yang telah menerima rahmat keselamatan diutus (secara implisit dan eksplisit) untuk menjadi sakramen keselamatan, yakni saksi persatuan antara Allah dengan manusia. Baik panggilan maupun pengutusan berorientasi pada rencana Allah untuk menyelamatkan dunia, di mana Allah sendiri “meraja” atas dunia dan menjadi segalanya dalam segalanya (1 Kor. 15: 28).[5]
Gagasan tentang missio Dei, menurut Bosch, mula-mula muncul pada konferensi IMC di Wilingen pada tahun 1952. Para utusan mengukuhkan bahwa misi berasal dari hakikat Allah sendiri. Artinya misi dipahami berasal dari hakikat Allah sendiri, bukanlah pertama-tama aktivitas gereja, melainkan suatu ciri Allah di mana Allah adalah Allah yang missioner. Jadi di sini misi dilihat sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia, dan gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut. Gereja ada karena ada misi yang mengutus. Oleh karena itu, misi ada karena Allah mengasihi dunia/manusia. Pertemuan IMC itu juga memikirkan kembali kewajiban missioner gereja. Kewajiban missioner gereja berasal dari kasih Allah dalam hubungannya yang aktif dengan umat manusia. Oleh karena Allah mengirimkan Anak-Nya, Yesus Kristus, untuk mencari dan mengumpulkan, serta mengubah semua orang yang terasingkan karena dosa dari Allah dan sesamanya. Inilah yang merupakan kehendak Allah dan itu terwujud di dalam Kristus dan akan disempurnakan di dalam Kristus. Karena Allah juga mengutus Roh Kudus, melalui Roh Kudus, gereja, yang mengalami kasih Allah yang aktif, diyakinkan bahwa Allah akan menyempurnakan apa yang telah dimulainya dengan pengutusan anak-Nya itu. Bagi Missio Dei, Allah Alkitab adalah Allah yang missioner, Allah yang mengutus. Melalui Firman dan Roh-Nya, Ia menciptakan laki-laki dan perempuan di dalam gambar-Nya sendiri dan mengutus mereka untuk menguasai alam di bawah kehendak-Nya yang adil dan penuh kasih. Lebih jauh, Allah yang missioner ini telah memilih untuk bertindak didalam sejarah. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal”, kata Yohanes, meskipun ia melanjutkan dengan mengatakan betapa dunia ini memusuhi Allah dan kehendak-Nya. Tetapi kasih Allah bagi dunia ini dinyatakan di dalam maksud-Nya untuk mentransformasi dunia, suatu transformasi yang diperlihatkan di dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Maksud ini mencakup tindakan Allah di dalam penciptaan dan penebusan dengan mitra manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab dan ikut serta di dalam kedudukannya sebagai Tuhan atas ciptaan di dalam keadilan dan perdamaian. Di dalam Kristus, manusia yang baru ini telah tercipta, dan dari tujuan misi ini adalah bahwa semuanya ikut serta di dalamnya. Missio Dei juga menegaskan gagasan bahwa misi adalah milik Allah yang mempertajam fokus kita kepada Injil sebagai kabar baik dari manusia yang diperbaharui di dalam Kristus. Alkitab mengungkapkan realitas yang sama dari manusia yang baru ini di dalam kata syalom, perdamaian. Tujuan yang dimaksudkan Allah di dalam pekerjaan-Nya, tujuan akhir dari misi-Nya, adalah mendirikan syalom. Ini meliputi perwujudan realisasi potensi-potensi sepenuhnya dari seluruh ciptaan dan pendamaian akhir dan kesatuan di dalam Kristus.[6]

C.   MISSIO HOMINUM
Misi merupakan misio Dei atau misi Allah. misi terjadi diantara umat manusia dan menggunakan perantaraan manusia (missio Hominum). Missio Dei memiliki motivasi yang murni, dimana sarana, dan tujuannya berasal dari sifat Allah. Sedangkan Missio Hominum berkaitan dengan manusia yang jatuh kedalam dosa. Itu sebabnya manusia harus diselamatkan melalui Missio Hominum.[7]
Missio Hominum merupakan ide Allah untuk menyelamatkan manusia. Hal tersebut terbukti dalam Amanat Agung, beberapa alas an Missio Hominum, antara lain:[8]
1)    Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1 Tim. 2:3-4).
2)    Kasih kepada Kristus dan sesama (2 Kor. 5:14, 18-2).
3)    Ketaatan sebagai bukti kasih (Yohannes 14:21-23).
4)    Kerelaan. (Yesaya 6:18)

Missio Hominum akan sangat berhasil bila dilaksanakan dengan menggunakan metode misi yang tepat dan akurat. Karena berbicara tentang metode berarti menentukan dengan benar cara-cara yang tepat, yang akan digunakan dalam menyampaikan berita Injil. Menurut Eka Darmaputra, metode misi yang pertama dan utama adalah “dari  pribadi ke pribadi”. Metode misi yang dilakukan dengan cara membina  hubungan  antara  pribadi dengan pribadi. Berkaitan dengan metode ini, Carl Henry mengatakan bahwa “inisiatif pendekatan orang per orang bagi setiap orang percaya masih merupakan cara yang sangat menjanjikan dalam misi di dunia pada abad ini”.  Ada beberapa orang yang mempertanyakan keabsahan dari misi dengan cara orang per orang, mungkin yang menjadi pertanyaan adalah adanya tekanan dalam pendekatan ini, “lone ranger” (memaksakan/kasar) mungkin juga penyebabnya. “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku agar dunia tahu bahwa Engkau yang mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh. 17:23).[9]
Tubuh orang percaya disatukan lewat latar belakang etnis dan ekonomi yang berbeda, jika itu disatukan, setiap kepribadian dan daya tarik masing-masing akan seperti lampu pijar yang menerangi seluruh dunia. Kesatuan yang indah dalam perbedaan dalam tubuh Kristus bisa meyakinkan orang lain yang tidak percaya bahwa Yesus Kristus memang diutus oleh Allah. Ada kelompok Kristen yang “vocal” yang melakukan misi yang dinamis, mereka menyatakan bahwa individu-individu dalam kelompok kadang tidak menyatakan Injil, sehingga hasilnya misi yang lemah. Dalam Alkitab (scripture) dapat ditemui gaya pengabaran Injil secara orang per orang. Yesus sendiri secara konstan berbagi dengan orang-orang yang mengikuti-Nya. Ia memberikan mereka makna hidup bagi kehidupan mereka setiap hari. Kristus berjanji bagi para murid atau pengikutNya bahwa Ia akan menjadikan mereka penjala manusia dan mengutus mereka untuk menyebarkan berita sukacita (Mar. 6:7-13; Luk. 10:1-24).[10]
Pada gereja mula-mula para rasul dilibatkan dalam penyebaran Injil. Bahkan, seorang pemimpin gereja, Filipus diperintahkan Allah untuk meninggalkan pelayanannya yang berhasil untuk berbicara dengan seseorang yang mencari Allah (Sida-sida Etiopia, Kis. 8:26-40).[11]

D.   MISSIONES ECCLESIARUM
Missiones Ecclesiarum adalah pengutusan gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasul untuk memberitakan Injil keselamatan kepada segala bangsa. Gereja hadir untuk melaksanakan misi Allah (Missio Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah dunia. Dalam surat Paulus (Ef. 4:13-14), disebutkan gereja harus sampai pada kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Gereja harus berkarya dalam Kristus serta hidup dan berjalan di dalam Kristus sebagai misi-Nya. Dalam hal ini jelaslah bahwa gereja dan misi tidak dapat terpisahkan, sebab misi gereja melanjutkan pengutusan Allah, yang berawal dari Allah Bapa (Yoh. 17:18; 20; 21). Jadi misi berawal dari Allah Bapa yang melalui pengutusan Yesus Kristus ke dalam gereja.[12]
Missiones Ecclesiarum yaitu mewartakan bahwa Yesus adalah Juruselamat bagi manusia, di dalamnya berbicara mengenai pewartaan Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya yang terbuka bagi semua orang. Gereja mempunyai keharusan untuk mewartakan Injil, baik kepada perorangan maupun kelompok yang dimengerti oleh Roh Kudus untuk memahami kondisi manusia dan membawa manusia kepada pembebasan dosa dan kematian karena perintah Kristus di dalam mengabarkan kabar gembira Allah bahwa Dia mewahyukan dan memberikan diri-Nya sendiri di dalam Kristus untuk Injil harus diwartakan yang menjadi  Missiones Ecclesiarum. Kita tidak boleh meletakkan misi di bawah gereja , ataupun gereja di bawah misi. Sebaliknya, keduanya harus diangkat ke dalam missio Dei. Missio Dei menciptakan mission ecclesiae. Gereja berubah dari pengutus menjadi yang diutus. Ekklesiologi tidak mendahului misiologi.[13]

E.   MISSIO POLITICA OECUMENICA
Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model, melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauh mana kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya. Menurut H. Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa dan Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus dan kebudayaan,  sebagai berikut  :[14]
1)    Christ against Culture. Dalam sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi kehidupan kekristenan dan kehidupan gereja.
2)    Christ of Culture. Sikap ini berkeyakinan bahwa yang memiliki kebudayaan adalah Kristus. Oleh karena itu orang beriman harus berusaha toleran (menyesuaikan diri) dengan kebudayaan.
3)    Christ above Culture. Dalam pemahaman seperti ini, Kristus dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
4)    Christ and Culture in paradox. Sikap ini berkeyakinan bahwa orang Kristen hidup dalam dua “dunia” yang berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang Kristen hidup dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
5)    Christ transforming Culture. Sikap ini berkeyakinan bahwa orang Kristen harus dapat menyatu sebagai misionaris melalui biaya.

Apa yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini) masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan, walaupun untuk kepentingan masakini harus dikritisi dengan bijak sebab konteks telah berubah dan perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi dan berkembang.

BAB III
KESIMPULAN

Missio Dei merupakan pengutusan oleh Allah, dimana Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek segala pengutusan, terutama pengutusan Anak-Nya. Misi merupakan misio Dei atau misi Allah, misi terjadi diantara umat manusia dan menggunakan perantaraan manusia (missio Hominum). Missio Hominum berkaitan dengan manusia yang jatuh kedalam dosa. Itu sebabnya manusia harus diselamatkan melalui Missio Hominum. Missio Hominum merupakan ide Allah untuk menyelamatkan manusia. Melalui Missio Hominum muncul Missiones Ecclesiarum. Missiones Ecclesiarum merupakan pengutusan gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasul untuk memberitakan Injil keselamatan kepada segala bangsa. Gereja hadir untuk melaksanakan misi Allah (Missio Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah dunia. Selain melalui Hominum dan Ecclesiae, misi juga berkembang melalui Politica Oecumenica (budaya). Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model, melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauh mana kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.


DAFTAR PUSTAKA

Bosh, David J : Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
Hadiwijono, Harun : Teologi Reformatoris Abad ke-20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
Lumintang, Stevri I : Misiologia Kontemporer Menuju Rekonstruksi Theologia Misi Yang Sebenarnya (Batu: Literatur PPII, 2006).
Venema, Henk : Injil Untuk Semua Orang Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997).
Woga, Edmund : Dasar- Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
“Charles Van Engen, Mission on the Way; Issues in Mission Theology. Introduction: What is Mission Theology? (Michigan: Grand Rapids, 1996) “http://www.urbanleaders.org/”

http://missikekristenan.blogspot.com/2013/04/penginjilan-pribadi.html
http://roimanson.blogspot.com/2014/04/missio-ecclesiae-dan-misio-dei-misi.html



[1] http://www.dci.org.uk/
[2] Stevri I. Lumintang, Misiologia Kontemporer: Menuju Rekonstruksi Theologia Misi Yang Sebenarnya (Batu: Literatur PPII, 2006) hal. 126-128.
[3] David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hal. 15.
[4] Henk Venema, Injil Untuk Semua Orang Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997) hal. 48-49
[5] Edmund Woga, Dasar- Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal. 57.
[6]http://wahyusirait.blogspot.com/2013/10/missio-ecclesiae-dan-misio-deimisi.html
[7] http://www.urbanleaders.org/ “Charles Van Engen, Mission on the Way; Issues in Mission Theology. Introduction: What is Mission Theology? (Michigan: Grand Rapids, 1996) hal. 17-31.
[8] http://jameswidodo-heart.blogspot.com/2009/11/pengertian-penginjilan-lintas-budaya.html
[9] http://missikekristenan.blogspot.com/2013/04/penginjilan-pribadi.html
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]http://roimanson.blogspot.com/2014/04/missio-ecclesiae-dan-misio-dei-misi.html
[13] David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hal. 568.
[14] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) hal. 52-154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar