Senin, 22 Februari 2016

SEMESTER VII (TUGAS MAKALAH, TOKOH PENDIDIKAN KRISTEN PRA REFORMASI PETRUS ABELARDUS)

TUGAS MAKALAH
TOKOH PENDIDIKAN KRISTEN PRA REFORMASI
PETRUS ABELARDUS



KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas kemurahan-Nya tugas makalah ini dapat penulis selesaikan dengan tepat waktu. Tugas ini penulis serahkan kepada pembina mata kuliah Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Agama Kristen, Ibu Susi Tampubolon, S.Pd.K.,M.Pd.K©, sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada seluruh mahasiswa.

Penulis memohon kepada ibu dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam tugas makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih baiknya karya tulis yang akan datang.


Batam, Nopember 2015



Hormat Saya
Roy Damanik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Petrus Abelardus merupakan salah satu pendidik besar Eropa Barat di abad kesepuluh sampai dengan sebelas masehi. Dia hidup dalam peradaban kebudayaan orang-orang kasar karena di wilayah tempat tinggalnya jumlah warga yang memilih menjadi tentara jauh lebih banyak daripada yang memilih menjadi sarjana. Masa kecil Petrus Abelardus dikenal sebagai anak yang sangat pandai dari segi intelektualnya. Oleh sebab itu, ia tidak duduk lama dibangku sekolahnya. Dalam waktu singkat ia dapat menguasai bidang dialektika, suatu pokok pelajaran yang melatih seseorang menentang salah satu ucapan atau gagasan dengan yang lainnya sehingga menghasilkan gagasan atau pikiran baru. Tetapi kecerdasan intelektual Abelardus tidak serta-merta diimbangi dengan kecerdasan emosi dan sosialnya. Dia digambarkan sebagai pribadi yang sombong, cepat mengecam orang lain dan kasar. Kekurangan dalam hubungan sosial sangat terlihat jelas dari watak dan perilaku sehari-hari Abelardus. Bahkan, karena sifat pribadi yang seperti itu, ia juga tidak puas dengan gaya mengajar dosennya sehingga setelah perkuliahan selesai ia pun berganti peran dari pelajar menjadi pengajar bagi rekan-rekannya, hampir pasti tindakannya mengakibatkan berbagai pertentangan dengan dosen-dosennya di sekolah katedral, sampai kemudian pula ia diusir karena ulahnya itu. Sebagai mahasiswa yang terkenal cerdas, banyaklah ide-ide baru yang bermunculan dari pemikiran Abelardus, walaupun ia dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah katedral dalam keputusan administratif, hal tersebut tidaklah mematahkan semangat Abelardus untuk memperkaya ilmu. Hasilnya, ia dan sejumlah kawan sekerjanya yang mengundurkan diri dari sekolah katedral bersama-sama menirikan persekutuan belajar-mengajar yang merupakan pangkal berdirinya Universitas Paris. Dari kegiatan kursus yang dibinanya itu, banyak melahirkan cendikiawan dan pemimpin-pemimpin gereja. Bahkan, buku teologi yang ditulisnya dipelajari oleh banyak mahasiswa. Sebagai pribadi yang cerdas namun kurang peka akan kehidupan sosial, tentu kehidupan Petrus Abelardus tidak lepas dari berbagai kesulitan, baik yang disebabkan oleh sifat-sifat pribadinya maupun yang berasal dari gagasan atau ide yang tidak disambut baik oleh rekan-rekannya. Dalam masa mudanya, pribadi Abelardus juga pernah mengalami kesulitan karena masalah percintaan. Ia sempat melarikan gadis yang ia cintai yang bernama, Heloise dari Paris ke tempat asalnya yaitu, Brittany. Karena ulahnya itu, Abelardus mendapatkan suatu petaka, untung saja hal tersebut tidak sampai merenggut nyawanya. Setelah peristiwa tersebut, ia mengambil keputusan untuk bertobat dan menjadi biarawan di biara Santo Denis. Keputusan serupa juga diambil Heloise dengan menjadi biarawan di Santa Agenteuil. Selama di biara, Abelardus membuat sebuah pengakuan akan kehidupan pribadinya, kisah cintanya yang mendalam dan tragis yang pernah dialaminya, demikian riwayat hidupnya yang mencakup baik kekuatan maupun kelemahan dalam dirinya di mana dalam hal tersebut ada keunikan dan kepentingan pribadi. Lantas, digambarkannya bagaimana semua sifat tersebut dimiliki dalam dirinya. Semua itu tertuang dalam buku hasil karangannya selama di biara yang berjudul, Sejarah Kemalanganku (The History of My Calamities).

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.      Bagaimana latar belakang kehidupan Petrus Abelardus?
2.      Bagaimana dasar filosogis dan teologis Petrus Abelardus?
3.      Bagaimana konsep, gagasan, karya dan strategi pendidikan menurut Abelardus?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah kurikulum PAK ini, antara lain:
1.      Memahami latar belakang kehidupan Petrus Abelardus.
2.      Memahami dasar filosogis dan teologis Petrus Abelardus.
3.      Memahami konsep, gagasan, karya dan strategi pendidikan Abelardus.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    RIWAYAT HIDUP
Petrus Abelardus adalah seorang filsuf skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan. Ia dilahirkan di le Pallet, dekat Nantes, Perancis, pada tahun 1079. Nama aslinya adalah Pierre de Palais. Ia belajar kepada seorang filsuf Nominalis yang bernama Roscellinus, dan juga kepada William dari Champeaux yang merupakan seorang filsuf Realisme. Abelardus tidak mengikuti salah satu posisi yang dianut gurunya, melainkan mengembangkan ajarannya sendiri yang dinamakan konseptualisme. Ia kemudian belajar di bawah bimbingan Anselmus dari Laon. Sama seperti sebelumnya, Abelardus memilih untuk mengembangkan ajarannya sendiri dengan memberikan kuliah kepada murid-murid Anselmus yang lain untuk menandingi gurunya itu.[1] Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang komponis. Skandal dan kisah cintanya dengan Heloise D’Argenteuil telah menjadi legenda. Chambers Biographical Dictionary menggambarkan Petrus Abelardus sebagai “pemikir paling tajam dan teolog paling berani dari abad ke-12”. Ada anggapan bahwa ia, bersama dengan Santo Anselmus dari Canterbury, adalah pendiri skolastisisme di awal abad ke-12.[2]
Petrus Abelardus awalnya dipanggil “Pierre le Pallet”, lahir tahun 1079, sekitar 16 km di sebelah timur Nantes, di Bretagne, putra tertua dari keluarga bangsawan Breton. Sebagai seorang anak laki-laki, ia belajar dengan cepat. Ayah Petrus, seorang bangsawan kaya bernama Berengar, mendorongnya untuk mempelajari seni liberal, dimana ia unggul dalam seni. Pada saat itu dialektika utamanya terdiri dari ilmu logika Aristoteles. Berbeda dengan ayahnya yang berkarir dalam militer, Petrus Abelardus memilih menjadi seorang akademisi. Selama awal kegiatan akademiknya, Abelardus berkelana ke seluruh Perancis, terlibat dalam ajang perdebatan dan pembelajaran. Pertama kali Abelardus belajar di daerah Loire dimana Roscellinus dari Compiegne, seorang nominalis yang telah dituduh sesat oleh Anselmus (Uskup Agung Canterbury), adalah gurunya dalam periode ini. Sekitar tahun 1100, Abelardus sampai di Paris. Di sekolah katedral dari Notre Dame de Paris, ia diajar selama beberapa waktu oleh William dari Champeaux, murid Anselmus dari seorang pelopor Realisme. Dalam masa inilah ia mengganti nama keluarganya menjadi “Abelardus”. Dalam kisah di otobiografinya, Abelardus menggambarkan William berubah dari yang sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan.[3]
Petrus Abelardus selanjutnya beralih ke teologi dan pada tahun 1113 pindah ke Laon untuk menghadiri pengajaran Anselmus (dari Laon) mengenai penafsiran (eksegesis) Alkitab dan doktrin Kekristenan. Tapi Abelardus tidak terkesan dengan pengajaran Anselmus, dan ia mulai menawarkan pengajaran sendiri mengenai Kitab Yehezkiel. Anselmus melarangnya untuk melanjutkan pengajarannya, dan Abelardus kembali ke Paris, sekitar tahun 1115, ia menjadi master di Notre Dame de Paris dan seorang kanon dari katedral Sens. Berikutnya Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, dalam buku Theologia Summi Boni, yang berisi tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang murid Anselmus dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu kutukan terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons tahun 1121. Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia diperintahkan untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga dikenakan hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, namun sepertinya telah ada kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera, sebab setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali ke Biara St. Denis. Petrus Abelardus menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupnya di biara St. Marcel, dekat Chalon-sur-SaƓne, dan ia meninggal pada tanggal 21 April 1142.[4]

B.     DASAR FILOSOFIS
Petrus Abelardus dianggap membuka kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya: “intelligo ut credom” (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran Abelardus yang bercorak nominalisme ditentang oleh gereja karena mengkritik kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman. Petrus Abelardus mempunyai jasa besar dalam etika dan logika. Dia memberikan pendapat yang sangat berharga menyangkut perdebatan tentang Universalia (konsep-konsep umum), antara kelompok penganut Realisme dan Nominalisme.[5]
Abelardus dikenal mempunyai pemikiran yang sangat tajam dalam melakukan pembaharuan-pembaharuan metode pemikiran serta mengemukakan persoalan-persoalan dialektis yang kontemporer pada zamannya. Petrus Abelardus juga mempunyai kepribadian yang keras, sehingga sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantic, sekaligus sebagai rasionalistik. Artinya peranan akal dapat memudahkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului akal, yang harus dipercayai adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima oleh akal. Abelardus membangun pemikirannya tentang pengertian yang umum atau universalia pada posisi antara pemikiran ultra realisme yang bermuara pada pemikiran Aristoteles dengan pemikiran nominalis.[6] Abelardus mengemukakan pemikiran yang cenderung bersifat dialektik, bahwa sesuatu yang nyata dalam arti yang sesungguhnya adalah sesuatu yang sifatnya konkrit secara individual dapat dipahami adanya. Pengertian yang bersifat umum atau universal, bukanlah sebuah benda atau kata-kata, melainkan suatu pernyataan yang memiliki isi yang ideal. Pemikiran Abelardus memiliki sisi penting dalam perkembangan pemikiran manusia terutama dalam pendekatan konseptual dan abstraksi, yang menekankan bahwa akal pikiran manusia dapat memikirkan sifat-sifat yang bermacam-macam secara konseptual yang hasilnya merupakan sebuah abstraksi dari macam-macam sifat tersebut.[7]

C.    DASAR TEOLOGIS
Pandangan Abelardus akan Allah sangatlah deterministic (menentukan atau menetapkan batas atau membatasi). Ia berpendapat bahwa Allah hanya dapat melakukan apa yang Ia kehendaki untuk Ia lakukan. Menurutnya hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan; dan bahwa dunia ini, yang mana adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang beralasan, adalah satu hal deterministik. Tapi tetap ada kebebasan (kehendak) bagi manusia di dunia ini; manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah bebas.[8]

D.    KONSEP PENDIDIKAN
Petrus Abelardus dalam salah satu pemikirannya mengemukakan bahwa peranan akal dapat menundukkan iman, iman harus mau didahulukan oleh akal. Hal ini menjadi dasar bahwa berfikir itu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri dan berada diluar iman.[9] Sebagai seorang pengajar, Abelardus mempertajam pendekatan dialektis yang berusaha menemukan kebenaran dengan jalan menentang salah satu sebutan atau pemahaman kebalikannya. Kemudian mencari cara dan mengemukakan untuk memperdamaikan kedua pendapat tersebut. Abelardus mengajarkan tentang kepentingan mengajukan pertanyaan (keraguan) sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Pengajar dan naradidik dibimbing untuk tidak menerima begitu saja suatu keadaan atau keputusan tanpa mempertanyakan alasannya terlebih dahulu. Demikian kutipan dari Abelardus: “Dengan meragukan, kita mulai bertanya dan dengan bertanya kita menangkap kebenaran.”[10]
Sebagai seorang pengajar, Abelardus mempertajam pendekatan dialektis yang berusaha menemukan kebenaran dengan jalan menentang salah satu sebutan atau pemahaman kebalikannya. Kemudian mencari cara dan mengemukakan untuk memperdamaikan kedua pendapat tersebut. Ia mengajarkan tentang kepentingan mengajukan pertanyaan (keraguan) sebagai dasar memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Siswa dididik untuk tidak menerima begitu saja suatu keadaan atau keputusan tanpa mempertanyakan alasannya terlebih dahulu.

E.     GAGASAN, TEORI DAN POKOK PIKIRAN ABELARDUS
Salah satu pemikiran Abelardus yang terkenal di bidang etika adalah tentang kemurnian batin. Disamping itu dia juga berfikir bahwa peranan akal dapat menundukan iman, iman harus mau didahului oleh akal. Berfikir itu berada diluar iman. Oleh sebab itu berfikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Petrus Abelardus memberikan status yang tinggi kepada penalaran dari pada iman.[11]
Semasa hidupnya Petrus Abelardus termasuk orang yang dikenal sebagai konseptualisme dan sarjana yang dikenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai rasionalistik. Abelardus mengemukakan sebuah metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti. Dengan demikian, dalam teologi itu iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran Trinitas juga berdasarkan pada bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan. Adapun manfaat dari teori Petrus Abelardus adalah terbebasnya pemikiran yang dahulunya cenderung terbelenggu oleh ajaran gereja menjadi bebas dalam berfikir. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat kita pelajari sekarang ini adalah tidak lain dari akibat kebebasan berfikir. Manusia bebas dalam menggunakan penalarannya dalam berfikir.[12]
Abelardus juga mengemukakan sebuah teori pendamaian klasik yang dikenal sebagai teori pengaruh moral. Dalam pemikiran Abelardus, peristiwa kematian Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh kasih. Kasih Allah kepada manusia adalah kasih tanpa syarat sehingga ia tidak menuntut apapun dari manusia bahkan sekali pun manusia telah jatuh dalam dosa. Penyaliban Kristus menjadi undangan dari Allah kepada manusia mengubah kehidupannya dari yang penuh dengan dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih. Karya Yesus melalui pelayanan-Nya selama ia hidup hingga peristiwa kematian-Nya menjadi teladan moral bagi manusia. Bagi Abelardus, dengan menyaksikan Kristus yang disalib, manusia akan membuka hati dan menerima kasih Allah.[13]

F.     KARYA PETRUS ABELARDUS
Petrus Abelardus dalam pelayanan dan masa hidupnya mengarang beberapa buku berikut:[14]

1.      Sic et non (Ya dan Tidak) yang ditulis tahun 1122.
Sic et non (ya dan tidak) adalah judul buku karangan Petrus Abelardus yang diterbitkan pada tahun 1122. Buku ini memuat kumpulan 158 pernyataan yang saling bertentangan dari Bapa Gereja tentang masalah iman, sakramen, dan cinta. Selain itu, di dalam buku ini terdapat lebih dari 1.800 kutipan. Terdapat sebuah otoritas yang berkataya”, sedangkan yang lain mengatakan “tidak”. Sulit untuk mendamaikan segala pertentangan yang ada. Abelardus mengumpulkan teks-teks yang bertentangan di dalam Alkitab untuk latihan logika bagi mahasiswanya. Daya tarik buku ini adalah Abelardus memperlihatkan kunci ilmu adalah keragu-raguan. Orang didorong untuk mengadakan penyelidikan oleh keragu-raguan dan pada gilirannya kebenaran ditemukan. Tujuan Petrus Abelardus tidaklah bermaksud untuk mendiskreditkan pihak satu dan melawan pihak yang lain. Namun, Abelardus bermaksud untuk menunjukkan, bahwa teologi tidak harus merasa puas dengan mengutip otoritas. Hal ini diperlukan untuk menemukan jalan untuk mendamaikan pihak yang bertentangan. Skolatisisme menggunakan metode ini dan menjadi ciri khas dari Skolastik, yaitu dengan mengajukan pertanyaan kemudian mengutip otoritas yang mendukung sebuah jawaban dan otoritas lainnya untuk bisa lebih menyokong sebuah jawaban. Ciri Skolastik dengan memberikan jawaban serta sebuah “solusi” menunjukkan, bahwa memungkinkan untuk semua otoritas yang dikutip sudah benar.[15]

2.      Historia Calamitatum (Sejarah Nasib Malang).
Dalam buku ini, Abelardus menggambarkan William berubah dari yang sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan; sumber lama mengatakan bahwa konseptualisme Abelardus mengalahkan teori realisme, namun, bagaimanapun pemikiran Abelardus sebenarnya nyaris serupa dengan pemikiran William dibanding kisah yang diceritakannya. Dan William beranggapan bahwa Abelardus terlalu sombong. Hal itu terjadi dalam rentang waktu dimana Abelardus juga memicu pertengkaran dengan Roscellinus, yang adalah gurunya juga. Untuk menandingi gurunya, Abelardus mendirikan sekolah sendiri, yang pertama di Melun, suatu daerah favorit keluarga kerajaan; kemudian sekitar tahun 1102-11-4, demi kompetisi langsung, ia pindah ke Corbeil-Essonnes, dekat Paris.[16]

3.      Introductio ad Theologia (Pengantar ke dalam Teologi).
Dalam buku ini Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, yang berisi tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang murid Anselmus dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu kutukan terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons tahun 1121. Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia diperintahkan untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga dikenakan hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, namun sepertinya telah ada kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera, sebab setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali ke Biara St. Denis.[17]

Selain buku diatas, Petrus Abelardus juga mengarang beberapa buku berikut ini:[18]
1.      Theologia Christiana (Teologi Kristen).
2.      Logica ingredientibus (Logic for Beginners”) completed before 1121.
3.      Petri Abaelardi Glossae in Porphyrium (The Glosses of Petrus Abailard on Porphyry).
4.      Dialectica, before 1125 (1115–1116 according to John Marenbon, The Philosophy of Petrus Abelard, Cambridge University Press 1997).
5.      Logica nostrorum petitioni sociorum (Logic in response to the request of our comrades).
6.      Tractatus de intellectibus (A treatise on understanding).
7.      Theologia Summi Boni,and Theologia scholarium”.
8.      Dialogus inter philosophum, Judaeum, et Christianum, (Dialogue of a Philosopher with a Jew and a Christian).
9.      Ethica or Scito Te Ipsum (Ethics or Know Yourself).

G.    PETRUS ABELARDUS DALAM DUNIA MUSIK
John Marenbon dalam bukunya mengisahkan tentang pandangan Abelardus mengenai dunia music. Abelardus merupakan seorang yang berpengaruh dalam dunia musik. Hal tersebut terlihat dari karya-karyanya.[19]

Abelard was also long known as an important poet and composer. He composed some celebrated love songs for HĆ©loĆÆse that are now lost, and which have not been identified in the anonymous repertoire. HĆ©loĆÆse praised these songs in a letter: The great charm and sweetness in language and music, and a soft attractiveness of the melody obliged even the unlettered”. Abelard composed a hymnbook for the religious community that HĆ©loĆÆse joined. This hymnbook, written after 1130, differed from contemporary hymnals, such as that of Bernard of Clairvaux, in that Abelard used completely new and homogeneous material. The songs were grouped by metre, which meant that comparatively few melodies could be used. Only one melody from this hymnal survives, O quanta qualia.
Abelard also wrote six biblical planctus (laments):
·         Planctus Dinae filiae Iacob; inc.: Abrahae proles Israel nata (Planctus I).
·         Planctus Iacob super filios suos; inc.: Infelices filii, patri nati misero (Planctus II).
·         Planctus virginum Israel super filia Jepte Galadite; inc.: Ad festas choreas celibes (Planctus III).
·         Planctus Israel super Samson; inc.: Abissus vere multa (Planctus IV).
·         Planctus David super Abner, filio Neronis, quem Ioab occidit; inc.: Abner fidelissime (Planctus V)
·         Planctus David super Saul et Jonatha; inc.: Dolorum solatium (Planctus VI).

In surviving manuscripts these pieces have been notated in diastematic neumes which resist reliable transcription. Only Planctus VI was fixed in square notation. Planctus as genre influenced the subsequent development of the lai, a song form that flourished in northern Europe in the 13th and 14th centuries. Melodies that have survived have been praised as “flexible, expressive melodies that show an elegance and technical adroitness that are very similar to the qualities that have been long admired in Abelard’s poetry”.


Abelard juga dikenal sebagai seorang penyair penting dan seorang komposer. Ia menulis beberapa lagu-lagu cinta yang dipersembahkan untuk Heloise. Yang sekarang dinyatakan telah hilang, dan belum teridentifikasi oleh departemen musik dunia. Heloise memuji lagu-lagu tersebut melalui sebuah surat: “Pesona besar dan manis dalam bahasa dan musik, serta melodi yang indah menyentuh hati, bahkan kepada yang buta huruf sekalipun”. Abelard menyusun sebuah buku nyanyian rohani bagi warga masyarakat dimana Heloise bergabung sebagai jemaat. Buku nyanyian rohani ini, ditulis sekitar tahun 1130, berbeda dari buku nyanyian kontemporer, seperti yang ditulis oleh Bernard dari Clairvaux, Abelard menggunakan bahan yang sama sekali berbeda dengan karya Bernard, Abelard menulis lagu denga konsep baru dan homogen. Lagu-lagu tersebut dikelompokkan berdasarkan kondisi, yang berarti bahwa relatif sedikit melodi bisa digunakan. Hanya satu melodi dari himne ini bertahan “O quanta qualia”. Abelard juga menulis enam kidung ratapan:
·         Ratapan Dinah, putri Yakub dari Yordania.
·         Ratapan tentang anak-anak Yakub.
·         Ratapan putri dara Jephtha Galaditis dari Israel.
·         Ratapan Samson dari Israel.
·         Ratapan Daud untuk Abner yang dibunuh oleh kaisar Nero.
·         Ratapan Daud, Saul dan Yonatan.

Melalui potongan-potongan manuskrip yang masih tertinggal, lagu-lagu ini telah dinotasikan di “Neumes Diastematic” oleh seorang transkripsi handal. Hanya Ratapan VI masih tetap seperti sedia kala. Kidung ratapan Abelard ini merupakan sebuah genre yang berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari berbagai genre music dan bentuk lagu yang berkembang di Eropa utara pada abad ke-13 dan ke-14.

H.    STRATEGI PENDIDIKAN
Scholastisisme merupakan sebuah metode mengajar yang dipelopori oleh Abelardus. Metode mengajar tersebut terdiri atas metode dialektik, metode ceramah, metode debat, dam metode observasi. Abelardus dalam buku Sic et Non (Ya dan Tidak), merumuskan sejumlah besar pertanyaan-pertanyaan tentang trinitas, penebusan dosa, sakramen-sakramen dan topik-topik etika. Dalam satu kelompok ia memberikan jawaban-jawaban “ya” dari pihak-pihak yang berwenang dan dalam kolom yang berlawanan tercantum jawaban-jawaban “tidak”, tanpa ada usaha mendamaikannya. Aturan-aturan untuk perdamaiannya diberikan dalam kata pengantar. Tujuan buku tersebut adalah mendorong siswa untuk menyelidiki kebenaran. Penyelidikan tersebut merupakan suatu cara mengajar. Cara menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi antara jawaban ya dan tidak tersebut merupakan metode dialektika Abelardus.[20] Metode Abelardus ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa. Metode yang dipakai bertujuan untuk membentuk kelompok pro dan kontra terhadap suatu materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan menyimpulkan jawaban itu sendiri. Metode ini biasa disebut dengan “Sic et Non” (setuju atau tidak).[21]

I.       KONTRIBUSI BAGI PENDIDIKAN MASA KINI
Adapun manfaat dari teori Petrus Abelardus adalah terbebasnya pemikiran-pemikiran yang dahulunya cenderung terbelenggu oleh ajaran gereja menjadi bebas dalam berfikir. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat kita pelajari sekarang ini adalah tidak lain merupakan akibat dari kebebasan berfikir. Manusia bebas dalam menggunakan penalarannya dalam berfikir.
Sumbangsih Abelardus juga terlihat dari usahanya untuk mengembangkan sebuah gagasan filosofis yang dikenal sebagai konseptualisme. Gagasan ini merupakan gagasan yang menengahi nominalisme dan realisme. Alam semesta sebenarnya tidak memiliki arti dan makna, melainkan jiwa yang mengonsepkan makna (dan nama benda-benda) di balik realitas sesungguhnya dengan cara mendeteksi kesamaan benda yang ada. Contohnya kucing diidentikkan dengan kaki empat, mata menyala, telinga lancip, bunyi “meow”, dan sebagainya. Perspektif ini masih digunakan sampai saat ini dalam psikologi kognitif.

BAB III
KESIMPULAN

Petrus Abelardus merupakan seorang filsuf skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan. Salah satu pemikiran Abelardus yang terkenal di bidang etika adalah tentang kemurnian sikap batin. Abelardus juga dikenal sebagai seorang penyair penting dan seorang komposer. Abelardus juga menulis beberapa syair berupa kidung ratapan. Kidung ratapan Abelardus ini merupakan sebuah genre yang berpengaruh terhadap perkembangan dari berbagai genre musik dan bentuk lagu yang berkembang di Eropa utara pada abad ke-13 dan ke-14.
Petrus Abelardus dianggap sebagai tokoh yang berjasa membuka kembali kebebasan berpikir dengan semboyannya “intelligo ut credom” (saya paham supaya saya percaya). Pemikiran Abelardus yang bercorak nominalisme ditentang oleh gereja karena mengritik kuasa rohani gereja. Dalam ajaran mengenai etika, Abelardus beranggapan bahwa ukuran etika ialah hukum kesusilaan alam. Kebajikan alam menjadikan manusia tidak perlu memiliki dosa asal. Tiap orang dapat berdosa jika menyimpang dari jalan kebajikan alam. Akal manusia sebagai pengukur dan penilai iman.



DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetya, Joas: Berdamai dengan Salib (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2010).

Boehlke, Robert R.: Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Dari Plato Sampai Ig. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

Lagerlund, Hendryk: Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, Volume 1 (Inggris: Springer Science & Business Media, 2010).

Lane, Tony: Runtut Pijar: Sejarah Pendidikan Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).

Marenbon, John: The Oxford Dictionary of the Middle Ages (Oxford, England: Oxford University Press, 2010).

Mudyaharjo, Redja: Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Tjahjadi, Simon Petrus L.: Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Wellem, F.D.: Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987).

//www.academia.edu/4622542/Filsafat_Fenomenologi_Pragmatisme_Posmoderinisme

Civic Education, Pemikiran Peter Abelard (civiceducation.blogspot.com)


https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/

http://hackz-zone.blogspot.co.id/2010/03/filsuf-abad-pertengahan.html






[1] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pendidikan Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 92.
[2] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 1-3.
[3] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 127.
[4] Ibid, 128-129.
[5] http://hackz-zone.blogspot.co.id/2010/03/filsuf-abad-pertengahan.html
[6] //www.academia.edu/4622542/Filsafat_Fenomenologi_Pragmatisme_Posmoderinisme
[7] http://tenriawali.blogspot.co.id/2012/03/universalisme.html
[8] Henrik Lagerlund, Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, Volume 1 (Inggris: Springer Science & Business Media, 2010), 934.
[9] Civic Education, Pemikiran-Pemikiran Peter Abelard (civiceducation.blogspot.com)
[10] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Dari Plato Sampai Ig. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 234.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 235.
[13] Joas Adiprasetya, Berdamai dengan Salib (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2010), 40-41.
[14] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 3.
[15] https://id.wikipedia.org/wiki/Sic_et_non
[16] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 126.
[17] https://id.wikipedia.org/wiki/Petrus_Abelardus
[18] https://en.wikipedia.org/wiki/Peter_Abelard
[19] John Marenbon, The Oxford Dictionary of the Middle Ages (Oxford, England: Oxford University Press, 2010), 2.
[20] Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 9.
[21] https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/teknologi-pendidikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar